Selasa, Juli 02, 2013

Hutan Adat Pasca Putusan MK



PADA 16 Mei 2013 Mahkama Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemohon yang berasal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kasepuhan Cisitu, menguji Pasal 1 Ayat 6, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), serta Pasal 67 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU kehutanan atas UUD 1945. Dalam Putusan tersebut, MK mengharuskan pengaturan berbeda antara hutan negara dan hutan adat.

Terhadap hutan negara, negara memilik kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum di wilayah hutan negara. Sementara hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, hutan terbagi menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Untuk hutan, hak dibedakan menjadi dua yaitu hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan atau badan hukum. Pembagian itu untuk mencegah tumpang tindihnya kepemilikan suatu hutan, atau tidak dimungkinkan hutan negara berada di wilayah hutan hak dan begitu juga sebaliknya.

Wimar Witoelar (Konsultan Komunikasi Ekologi Hijau) menyebut ini sebagai “kejutan positif”. Sebagai respon dari putusan tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendeklarasikan petisi untuk ditandatangani masyarakat Indonesia. Tiga titik berat petisi tersebut. Pertama, mendesak Pemerintah Indonesia untuk segara melaksanakan putusan MK, termasuk penyelesaian konflik hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah milik masyarakat adat. Kedua, mendesak Presiden memberikan amnesti kepada masyarakat adat yang terlibat proses hukum atau diputuskan bersalam menurut UU No 41/1999 mengenai Hutan. Ketiga, mendesak ditertibkannya undang-undang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat (Kompas, 7 Juni 2013).

Jika putusan MK ini diindahkan, AMAN memperkirakan terdapat 40 juta masyarakat adat akan kembali menjadi pemilik sah atas hutan-hutan adat mereka. Sangat diharapkan pemerintah daerah juga memberikan perhatian serius atas putusan MK ini, khususnya terkait dengan petisi di butir pertama dan ketiga. Konflik hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah milik masyarakat adat dapat didudukkan kembali dan dicari solusi hukum yang adil. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dan sangat mendesak saat ini adalah pengakuan hukum atas masyarakat dan wilayah adat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Ini sejalan dengan item ketiga dari petisi yang diajukan AMAN.

Petisi AMAN tadi, khususnya terkait dengan penegakan hukum, cukup beralasan merujuk pada kebijakan yang sebelumnya diambil oleh pemerintah. Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia menilai Presiden tidak pernah mengawasi kebijakan menteri yang menghacurkan hutan. Pada tahun 2011 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Setahun setelah itu (2012) Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 458 alih fungsi 800 ribu hektar hutan di Papua dengan dalih revisi tata ruang (Kompas, 19 April 2013). SK Menteri Kehutanan ini dikeluarkan masih dalam rentang waktu moratorium (yang menurut Inpres akan berakhir pada 20 Mei 2013). Jika regulasi dalam bentuk Inpres saja masih dapat dilanggar, bagaimana pula jika aturan itu tidak ada.***

Tidak ada komentar: