Rabu, Maret 04, 2009

Kursi Panas Demi Latika


APA yang mendorong seseorang untuk mengikuti kuis Who Wants To Be A Millionaire? Ingin terkenal. Mau menguji pengetahuan. Atau mengadu keberuntungan mendapatkan jutaan uang tunai. Alasan-alasan tadi mungkin benar. Tapi tidak untuk Jamal Malik (diperankan Dev Patel). Ia tampil di kuis itu hanya untuk seorang wanita: Latika (Freida Pinto). Ia yakin, Latika pasti menontonnya.

Kisah Slumdog Millionaire mungkin boleh dibilang klise. Jamal, seorang anak miskin dari perkampungan kumuh di Mumbai (India), memenangkan hadiah utama kuis Who Wants To Be A Millionaire. Bukan karena cerdas. Jawaban dari setiap pertanyaan ia peroleh dari trauma demi trauma yang ia alami. Detail kejadian (sekaligus jawaban pertanyaan kuis) itu muncul kembali seperti mimpi buruk saat ia duduk di ‘kursi panas’ kuis itu. Kisah hidupnya yang sesekali berjalan mundur (flash back) membuat film ini mampu memberi ketegangan di setiap bagiannya. Tidak klise dan tidak mudah untuk ditebak.

Saat tinggal selangkah lagi mendapat hadiah utama, Jamal diciduk polisi. Presenter kuis, Prem Kumar (Anil Kapoor) mencurigai Jamal berbuat curang. Polisi pun berpikiran yang sama. Berbagai penyiksaan ia jalani di kantor polisi. Alur flash back pun terjadi di sini. Jamal berkali-kali meyakinkan mereka. Untuk dapat menjawab kuis dengan benar, sebenarnya tidak dibutuhkan kecerdasan. Tapi keberuntungan.

Dari potongan kisah itu kita jadi tahu mengapa Jamal begitu mencintai Latika. “Aku akan menunggumu di stasiun kereta pukul lima sore. Setiap hari. Sampai engkau datang menemuiku.” Begitu janjinya pada Latika. Dari alur mundur itu, kita menjadi lebih mengenal Latika, Jamal, dan kakaknya Salam. Mereka menjadi yatim piatu setelah orangtua mereka yang muslim mati dibantai sekelompok orang. Rumah dan kampung mereka dibumihanguskan. Mereka hidup di jalan. Mencuri di atas kereta. Tidur di tumpukan sampah. Terlunta-lunta.

Slumdog Millionaire berhasil menampilkan India dengan problematika sosialnya. Ada land mark India: Taj Mahal. Sungai yang berubah menjadi selokan besar. Stasiun kereta api. Jalan raya yang sesak. Matahari yang terik. Malam yang kelam. Manusia yang berjejalan di kereta barang. Pedagang asongan. Peminta-minta dan pemulung. Perkampungan miskin yang sempit. Pelacur dan kompleks prostitusi. Mafia kelas atas hingga pencuri kelas teri juga dimunculkan. Cerita berseliweran di situ. Begitu apa adanya dan manusiawi.

Komposisi dan sudut pengambilan gambarnya menawan. Gerak dan motif kameranya seolah seirama. Rangkaian gambar yang bertutur sepenggal-sepenggal membuat kita betah untuk terus menebak apa yang akan terjadi di akhir cerita. Ini yang menjadi ‘mesin’ film. Selain sebagai film terbaik, pantas pula bila film Slumdog Millionaire juga diganjar Oscar untuk penyutradaraan, editing, dan sinematografi terbaik tahun 2009. Total delapan piala Oscar yang diboyongnya.

Cerita film ini sebenarnya diangkat dari sebuah novel yang ditulis Vikas Swarup: Q and A. Simon Beaufoy yang berhasil menerjemahkannya ke dalam screenplay (skenario) yang memikat. Potongan kisah sodomi dalam novel yang dialami anak-anak jalanan tidak diterjemahkan ke dalam film. Mungkin sisi kelam anak jalanan sudah cukup miris ditampilkan dengan adegan seorang anak yang diangkat bola matanya. Harga mereka tinggi bila cacat. Saat mereka meminta-minta, orang lebih iba. Juga agar mereka tidak berdaya untuk melepaskan diri dari mafia yang mengeksploitasi mereka.

Yang terbiasa menonton film India di televisi bersiaplah kecewa saat menonton film ini. Slumdog Millionaire tidak diinterupsi oleh tari atau nyanyian. Ia seperti film Hollywood yang dimainkan oleh aktor/aktris India dan (sekali lagi) dengan setting India. Kisah Jamal dalam Slumdog Millionaire mungkin serupa dengan atau mengingatkan kita pada Forrest Gump. Kebaikan, ketulusan, dan cinta kanak-kanak yang polos akan menemukan buahnya sendiri.***