Minggu, Oktober 20, 2013

Nabi dan Anaknya



LEBARAN Idul Adha kali ini mengingatkan saya pada kisah beberapa nabi dan anaknya. Di setiap khutbah Jum’at jelang Idul Adha atau pada saat lebaran, Ibrahim a.s. (keselamatan atasnya) dan anaknya Ismail a.s. selalu menjadi topik. Tidak terkecuali Sitti Hajar, istri nabi Ibrahim. Biarlah para khatib yang mengisahkan itu. Saya ingin melihat sisi yang sederhana saja: keluarga para nabi. Hubungan mereka dengan anak-anak mereka. Meski menjadi manusia pilihan, para nabi tetaplah manusia. Saat membaca Al Qur'an, kita dapat merasakan rasa cinta yang mendalam. Suka cita. Kekhawatiran. Ketidakberdayaan. Semua sisi manusiawi mereka.

Izinkan saya memulai dengan bapak manusia: Adam a.s. Kisah Habil dan Qabil begitu simbolik menggambarkan dengki yang yang berujung pada pertumpahan darah. Al Qur’an tidak secara detail menjelaskan ke mana Qabil pergi setelah membunuh saudaranya (Habil). Yang pasti kita melihat cara Adam sebagai orang tua mereka, memberi jalan tengah yang arif sebelum memutuskan sebuah sengketa. Kepada keduanya, cinta diberikan oleh Adam. Merekalah yang memilih cara membalas kasih sang ayah. Masih dalam kerangka dengki, kita akan melihat kisah seorang nabi lain beserta anak-anaknya. Ini menjadi lebih rumit karena jumlah mereka lebih banyak.

Senin, Oktober 14, 2013

Akrobatik Gadget



TIDAK ada maksud untuk mempromosikan gadget. Tiba-tiba saja saya ingin menulis tentang piranti ini setelah banyak pengalaman datang bersamanya. Perangkat yang awalnya dirancang untuk mendekatkan yang jauh, tapi ironisnya dapat menjauhkan yang dekat. Dalam sebuah pertemuan yang direncanakan, bukannya saling menyapa, tidak jarang kita justru seperti mati gaya. Kikuk karena berada di tengah sekumpulan orang yang asyik memainkan touch screen atau tombol QWERTY dengan ibu jari mereka, sementara kita melongo dan tidak tahu harus berbuat apa. (Masih musim kan ngetik teks dengan jempol, bukan kelingking?)

Tidak semua orang yang memainkan gadget sebenarnya ingin berkomunikasi dengan orang di seberangnya. Gadget yang disentuh atau ditekan pada dasarnya, secara tidak langsung, juga mengirim pesan pada orang di sekelilingnya. Saat gadget dimainkan, bisa saja seseorang ingin menyampaikan banyak hal. Misalnya ekspresi ini: “Membosankan, kapan pembicaraan ini berakhir?”. Atau “Wah senang sekali rasanya,” sambil memajang foto di media sosial, dia membatin: ”dunia harus tahu aku sedang bahagia”. Jangan lupa, gadget itu juga obat gengsi, pendongkrak harga diri. Makin mewah sebuah gadget (yang dipelihatkan), makin tinggi status sosial orang tersebut. Seolah gadget menjadi cermin karakter juga kasta sosial penggunanya. Harga telah menyulap nilai guna sebuah barang, menjadi prestise. Lalu masalahnya di mana? Ini nih!

Minggu, Oktober 06, 2013

(Belajar) Berenang di Kolam Jurnalisme



EMPAT Oktober sekitar lima belasaan orang berkumpul di ruang berukuran 4x4 meter. Sejuk, seperti masuk di belantara hutan tropis saat di luar udara membawa hawa gurun. Tampaknya sebelum pukul 2 siang mereka sudah hadir. Agak risih juga rasanya terlambat hampir 15 menit. Saya menghibur diri dengan mengatakan pada diri sendiri: “Di mana-mana, inspektur upacara itu datang belakangan”. He3.. ini bukan stand up comedy. Tapi beberapa trik dari monolog seperti itu boleh dipakai saat kepepet dan ingin berdamai dengan rasa bersalah. Berbeda dengan kampus tempat saya biasa mendongeng, ini kelas khusus. Pesertanya dari beberapa latar belakang ilmu yang berbeda. Ada yang sudah sarjana, ada pula yang masih kuliah. Tapi tujuan mereka sama: ingin belajar berenang di kolam jurnalisme.

Mengapa berenang? Nanti saya kisahkan. Intinya, untuk dongeng kali ini saya mesti cari cara agar dapat terasa menarik. Maklumlah, dari judulnya saja, sudah terkesan kalau materi dongeng ini akan membosankan: Manajemen Media Massa. Sementara ekspektasi kelas jurnalisme adalah cara menjadi reporter, bukan manajer. Eh tapi saya yakin, kalau mereka ditawai jadi manajer pasti tidak nolak. Hehehe... Di kampus tema ini jadi satu matakuliah yang diajarkan dalam 16 kali pertemuan. Untuk memangkasnya menjadi paparan yang berarti, dalam konteks menjadi jurnalis pemula, ada dua hal yang menjadi inti. Pertama, cara beradaptasi dengan media tempat mereka nanti bekerja. Kedua, memperkenalkan hal-hal apa saja di luar manajemen media yang mungkin mengganggu daya adaptasi mereka.

Kamis, Oktober 03, 2013

Adele Magic





ADELE. For the first time, as a singer, I think she can’t impress me. It’s OK, she has a nice voice but I feel it is customary. Of course as a singer, not as an ordinary people like me. As we know, in everywhere a singer must be sounded well. That’s what I mean. She ever made a little tremble in my mind when she sang Skyfall, the opening song of James Bond movie. But that’s what I said before; it was ordinary way how a singer should sing a song. Finally, all my opinion was change when Adele sang “Chasing Pavements”.

Maybe different from other, I’m usually not too much give an attention for many songs that people know. Such like Adele’s solo “Someone Like You” or “Don’t You Remember”. I’m a type of someone who searching other amusing songs that people rare know. It’s just like an extraordinary challenge if I can find them. Perhaps that’s fate what make me be met with “Chasing Pavements”. I make an underline: be met. Sorry if it sounds insist because this song came to my ear unintentionally when I played Jango application in my tab. Its acoustic version makes me much in love. (Check out the YouTube link below)