Minggu, Mei 25, 2008

Tohpati dan Indonesia

SAAT media massa mengangkat tema Seabad Kebangkitan Nasional, ada baiknya mendengarkan album Tohpati: It’s Time (2008). Di sini tidak ada cemoohan, hujatan, apalagi tudingan. Tidak ada analisis yang mencari biang tak kunjung bangkitnya kita setelah seratus tahun waktu berlalu. Yang ada hanyalah kepedulian dalam “bahasa yang lain”. Indah dan santun.

Apalah arti nasionalisme kalau kita tak pernah merasa menjadi bagian dari saudara kita yang berbudaya lain? Tohpati menghadirkan Indonesia. Ada bunyi melankolis dalam komposisi Song for Aceh. Ia mengingatkan kita (kembali) pada gamelan, suling , dan suara latar tari Kecak melalui Dewata. Aroma Bali yang dinamis. Aransemen Cenderawasih seolah mengumandangkan suara peri dari surga hutan tropis Papua. Permata hijau yang sebentar lagi tinggal cerita.

Lebih dari satu dekade silam, ada kelompok Karimata dengan album bertajuk Jezz (1991). Semangat back to ethnic yang menggema dalam setiap komposisi mereka. Karimata menyuguhkan Jawa Barat dalam komposisi Paddy Field. Ada giring-giring khas Kalimantan dalam Apokayan. Koor penari Kecak Bali dalam Seng Ken Ken. Sedangkan aransemen Take off to Padang menghadirkan bunyi kendang dan talempong (gitar tradisional Sumatera Barat).

Suara-suara itu bagai mantra leluhur yang datang dari jauh menuju kekinian. Sama seperti lagu daerah yang dulu masih dapat kita dengarkan di ruang publik. Membangunkan dan menunjukkan jati diri kita yang sesungguhnya. Meski tidak dapat merepresentasikan Indonesia, setidaknya itu semua telah mewakili semangat rupa budaya nusantara. Menjadi pengingat kepada siapa yang lupa. Menyampaikan pesan kepada generasi yang baru.

Kita butuh “bahasa lain” untuk terus mengingatkan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang satu. Musik yang membawa kesadaran identitas kita sebagai bangsa adalah satu dari sekian “bahasa lain” itu. Karena setelah (sepuluh tahun) rezim berganti, kita begitu cepat bergerak menjadi bangsa yang low context. Mengabaikan sopan santun. Dengan terbuka, leluasa menyalahkan atau menghujat orang lain.

Angin kebebasan berpendapat lahir dari rahim budaya Barat yang sekuler. Saat ingin meniru, kita gagap dan kelimpungan. Apalagi berharap akan memetik hasil dalam waktu satu dekade. Karena darah Timur yang menaruh hormat kepada sopan santun (high context) masih kental dalam diri kita. Secara kimiawi, emosional kita sebagai bangsa mudah tersulut oleh kelancangan orang lain.

Hentikan debat dan hujat yang tak bermartabat. Itu hanya membuat kita menjadi bangsa yang tidak kompak. Terus saling menyalahkan dan lalai untuk memperbaiki. Sekarang waktunya untuk berbenah. Mungkin itu yang dimaksud Tohpati dalam komposisi It’s Time.

Dari belakang, bunyi perkusi Adji Rao mengikuti ritme gitar Tohpati yang lincah dan memimpin aransemen ini. Seolah dia berkata, “Untuk melakukan perubahan tidak boleh sendiri.” Harus ada pemimpin yang memberi inspirasi sekaligus anutan. Juga harus ada pengikut yang seirama mendukung dari belakang.

Selain It’s Time, ada kesan yang tak terbahasakan dalam komposisi My Dream dan Untuk Diingat. Andai boleh, saya ingin mengubah judul komposisi Untuk Diingat menjadi Untuk Dikenang. Mungkin karena kata “dikenang” lebih puitis. Tapi sudahlah, apalah arti sebuah nama? Bukankah setiap aransemen memiliki daya magis tersendiri? Dan terlepas dari itu semua, Indonesia (harus) bangga memiliki gitaris sekelas Tohpati. Luar biasa!***

Minggu, Mei 04, 2008

Beragama dan Kebebasan (Tak) Berbatas

JAMAAH Ahmadiyah menjadi sorotan. Ada pro kontra. Mereka yang mendukung menilai, setiap orang berhak untuk beragama. Dan hak ini dijamin oleh Konstitusi (UUD ’45). Karena dilindungi, maka setiap orang, bahkan Negara sekalipun, harus menghormatinya. Khususnya dalam Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat, Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28E ayat (1). Kemudian hak ini diulang kembali dalam pasal 29.

PERSPEKTIF

Mereka yang menolak Ahmadiyah juga merujukkan diri pada konstitusi. Pasal 28J ayat (2) menyebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada sejumlah pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Termasuk di dalamnya mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan nilai-nilai agama.

Bagi mereka persoalannya bukan pada melarang Ahmadiyah untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya. Lebih pada “perubahan” (sebagian orang menyebutnya “penistaan”) yang dilakukannya atas ajaran Islam. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dengan konteks tersebut, konstitusi tidak tepat digunakan sebagai dasar melihat masalah tersebut.

Akhir April 2008 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ahmad Moshadeq dengan empat tahun penjara. Nasib sama dialami Dedi Priadi dan Gerry Lufhti Yudistira. Kedua aktivis “al-Qiadah al-Ismaiyah” Sumatera Barat ini dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Padang. Mereka didakwa melanggar pasal penistaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa waktu sebelumnya, pimpinan aliran “Salamullah” Lia Aminuddin, juga didakwa dengan tuduhan yang sama.

Kalau konstitusi dapat dipakai sebagai payung hukum, mengapa kedua pemimpin aliran dan anggotanya ini diadili? Kalau “al-Qiadah al-Ismaiyah” dan “Salamullah” tidak dapat dilindungi konstitusi, bagaimana dengan Ahmadiyah? Tampak terdapat perbedaan perspektif. Ada yang melihat Ahmadiyah “tidak bersalah” karena mereka berhak untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya. Ada pula yang melihat Ahmadiyah “bersalah” karena telah melakukan penistaan agama (Islam). Wallahu a’lam.

KEBEBASAN

Dengan dalih “kebebasan” beragama, penafsiran konstitusi seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan setiap orang boleh “membuat” (aliran) agama baru. Tidak peduli sejauh apa pun agama baru itu berbeda dengan agama induknya. Agama seolah menjadi ladang tanpa batas yang dapat dikembangkan dan diklaim ke arah yang paling muskil sekalipun. Tidak ada pagar. Tanpa rambu.

Dalam Islam, memang ada beberapa wilayah yang dapat menimbulkan banyak interpretasi hukum (fiqih). Seorang dapat memilih interpretasi hukum mana yang sesuai dengan keyakinannya. Kodifikasi interpretasi tersebut disebut mahzab. Namun semuanya itu terjadi dalam “pagar” keyakinan (aqidah) Islam yang terjaga. Yang patronnya (blue print) tetap sama dengan apa yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sabahat yang diridhai Allah.

Bila menilik ke belakang, MUI melarang Ahmadiyah sejak tahun 1980. Ajarannya dinilai bertentangan dengan Islam. Sementara enam tahun sebelumnya (1974), pertemuan ulama dari 124 negara di Mekkah telah lebih dulu menyuarakan hal tersebut. Pertemuan yang disponsori oleh Rabithah al-Alam al-Islami (semacam liga dunia Islam) itu menyatakan pemimpin Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya telah keluar dari Islam (murtad).

Namun dalam pembelaannya, Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai sosok Imam Mahdi. Bukan sebagai nabi yang selama ini “dituduhkan” kepada mereka. Keberadaannya tidak mengurangi kemuliaan Muhammad SAW. Nabi anutan satu-satunya Ahmadiyah tetap Muhammad. Mirza Ghulam Ahmad tak membawa syariat baru, hanya mengajak umat kembali ke syariat Rasulullah (Gatra: 6 Desember 2003). Wallahu a’lam.

YURISPRUDENSI

Sekitar abad ke-15, Raden Fatah berkuasa di Kerajaan Demak Bintara sekitar pantai utara Jawa Tengah. Ketika itu, Wali Songo memegang otoritas dalam memberikan pendapat hukum (Islam). Mereka dikisahkan memvonis mati Syekh Siti Jenar karena ia berpendapat Tuhan telah bersemayam dalam dirinya. Saat hamba (kawula) dan Tuhan (gusti) telah menyatu, seseorang tidak perlu lagi shalat.

Ada yang menyebutkan Syekh Siti Jenar sebenarnya telah mencapai puncak perjalanan spiritualnya hingga ia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan dalam dirinya. Kesalahannya hanya terletak pada penyebarluasan ajarannya karena dapat menyesatkan orang awam. Ada pula yang menganalisis, eksekusi atas Siti Jenar berlatar politik. Alasannya, Ki Ageng Pengging, seorang murid Siti Jenar. Ia dan pengikutnya tidak mau tunduk pada kekuasaan Raden Fatah. Pengging adalah keturunan terakhir raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Wallahu a’lam.

Dalam sejarah Islam, ada nama Musailamah ibn Habib dari Bani Hanifah. Setelah Rasulullah wafat, ia mengaku sebagai nabi. Musailamah menyebarluaskan syair-syair (menirukan Al Qur’an) yang diklaimnya sebagai wahyu dari Tuhan. Pengikutnya banyak dan membangun berbasis kekuatan di Yamamah. Karena kesalahan aqidah ini hingga Khalifah Abu Bakar (ra.) memerangi mereka. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah Islam sebagai Perang Yamamah.

Tiga divisi pasukan yang diturunkan. Pertama, yang dipimpin Ikrimah ibn Abu Jahal. Kedua, yang dipimpin Syurahbil ibn Hasanah. Baik Ikrimah maupun Syurahbil, gagal menaklukkan Musailamah. Pasukan ketiga di bawah pimpinan Khalid ibn Walid yang pada akhirnya dapat memenangkan Perang Yamamah. Musailamah terbunuh. Sebagian besar pengikutnya juga ikut tewas.

Kita mungkin tidak menduga, untuk mendukung pasukan Khalid, Abu Bakar (ra.) akhirnya menyertakan kelompok masyarakat yang sangat ia sayangi: para penghafal Al Qur’an dan pasukan Perang Badar. Bila seorang nabi palsu dan ajarannya tidaklah dianggap berbahaya, mengapa Khalifah Abu Bakar (ra.) menurunkan pasukan khusus dan menyatakan perang dengan mereka? Wallahu a’lam.***