Selasa, Februari 15, 2011

Manusia Unggul



TIAP agama punya konsep manusia unggul. Islam menyematkan itu pada sang Nabi, Muhammad SAW. Nabi adalah rujukan nyata siapa manusia unggul. Dengan kata lain, untuk menjadi manusia unggul, muslim harus menduplikasi nilai dan perilaku Nabi. Itu salah satu tujuan diperingatinya maulid Nabi. Tujuan yang sama juga terdapat dibalik pembacaan barzanji (kisah hidup Nabi) yang kerap dilakukan di budaya tertentu ketika syukuran (aqiah) kelahiran putra/putri mereka. Terlepas dari adanya kelompok tertentu yang menginterprestasikan dua hal tadi sebagai bid’ah, semangat agar kaum muslimin menjadi manusia unggul sangat jelas melandasinya.

Apa yang paling utama yang wajib ditiru dari Nabi? Satu yang tampak tidak diragukan lagi adalah akhlak beliau. Ini yang tetap aktual dari tahun ke tahun. Dalam sebuah hadist yang terkenal, Nabi pun pernah menyebutkan misinya untuk menyempurnakan akhlak. Budi pekerti manusia bahkan kepada alam. Kita mungkin masih ingat bagaimana Nabi melarang muslim untuk boros menggunakan air, meski kala ia sedang berwudhu di tepi sungai. Atau hadist yang melarang muslim untuk buang air kecil di lubang jika dikhawatirkan ada hewan seperti semut di dalamnya. Bahkan di saat perang pun, tentara muslim dilarang menebang atau membakar pohon.

Secara khusus Imam Tirmidzi mengabadikan sosok Nabi dalam kumpulan hadistnya: Syamail Muhammad. Dari kitab itu saya mengutip satu hadist yang berasal dari Al-Hasan bin Ali r.a. (cucu Nabi). Dia bertanya kepada ayahnya (Ali r.a.) tentang sikap Rasul. Kata sang ayah: “Rasulullah SAW ... berakhlak sederhana, bersikap lemah lembut, ... tidak pula kasar,...tidak suka berbuat gaduh, tidak berlebihan dalam ucapan, ... tidak suka mencela, serta tidak kikir. Jika menginginkan sesuatu, Beliau akan dengan mudah melupakannya dan tidak pernah membuat orang lain berputus asa atau terbebani untuk memperolehnya. Beliau menjaga diri dari tiga hal: berdebat, menyombongkan diri, dan melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat...”

Akhak yang kelihatan kecil itu begitu penting dalam Islam. Shalat yang menjadi parameter ibadah dalam Islam didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar (QS.29:45). Bahkan ada ancaman khusus bagi mereka yang shalat tapi lalai, riya’ (membanggakan diri) dan enggan memberi pertolongan (QS.107:4-7). Di dalam Quran pun, ketaatan pada Allah digandengkan dengan akhlak pada orang tua. Shalat dipasangkan dengan zakat. Dalam suatu kesempatan, saat ditanya tentang apa itu agama, Nabi bersabda: agama adalah akhlak yang baik. Atau di kesempatan lain Beliau mendefinisikan muslim yang terbaik adalah mereka yang paling baik akhlaknya.***

Nietzsche dan Superman



SEDIKIT sekali filosof Barat yang memberi penekanan pada lahirnya manusia ideal. Sebagain besar lebih tertarik pada ide tentang Tuhan, kebenaran, kebaikan, keadilan, atau cara berpikir radikal lainnya. Tokoh yang paling dikenal dengan ide manusia unggul adalah Friedrich Nietzsche. Pemikirannya tentang manusia unggul terkait dengan konteks aktualisasi diri dan eksistensi manusia. Dia menggunakan istilah “ubermensch” untuk mendeskripsikan konsep pemikirannya. Dalam bahasa Inggris, istilah dari bahasa Jerman ini kerap diterjemahkan menjadi “superman”.

Sekiranya dilakukan sebuah jajak pendapat di kalangan filosof sebelum Perang Dunia II, maka konsensus umum yang diperoleh, setidaknya di negara-negara berbahasa Inggris, mungkin akan menyimpulkan Friedrich Nietzsche adalah filosof yang brilian (Aiken: 2009). Saat berumur 25 tahun, ia sudah menjadi guru besar di Basel, Swiss. Pemikiran yang paling mengguncang jagad filsafat di masa tersebut adalah idenya tentang “matinya Tuhan, dan lahirnya manusia unggul (superman/ubermensch)”. Menurutnya, manusia-manusia unggul bisa lahir jika (ide/keyakinan tentang) Tuhan itu dihilangkan. Dimatikan!

Ide atau keyakinan akan adanya Tuhan, kata Nietzsche, merupakan musuh bagi eksistensi manusia. Semakin manusia kurang percaya pada Tuhan, semakin terbuka jalan menuju energinya. Jika (ide/keyakinan tentang) Tuhan mati, manusia sendirilah yang akan memiliki kekuatan seperti tuhan. Menjadi manusia unggul. Ini adalah bagian dari syarat naluriah manusia yang ingin terus mempertahankan (eksistensi) hidupnya. Dengan kata lain, jika manusia ingin bertahan hidup, dia harus dapat mejadi “superman”. Dan untuk menjadi “superman”, ia harus membunuh (ide/keyakinan tentang) Tuhan.

Lalu siapakah manusia unggul atau “superman” itu? Sampai akhir hayatnya 1900, Nietzsche tidak pernah dapat merumuskan dengan jelas konsep tersebut. Atau menunjuk satu nama yang dapat menjadi rujukan. Tokoh yang hidup di zamannya atau yang pernah hidup sebelumnya. Meski pemikirannya atheis, dari sejumlah karyanya tampak bahwa yang ia maksud sebagai manusia unggul itu lebih menyerupai konsep nabi keagamaan. Bukan tokoh politik atau penguasa. Walaupun pemikiran Nietzsche sering dikaitkan dengan lahirnya penguasa-penguasa tiran seperti Hitler (di Jerman) atau Mussolini (di Italia).

Terlepas dari itu semua, satu hal yang menarik dari Nietzsche adalah kerinduannya pada manusia unggul. Hal yang secara khusus jarang menjadi fokus perhatian oleh filosof sebelum atau sesudahnya. Sangat praktis. Tapi itulah kelebihan Nietzsche dibandingkan dengan filosof lain. Sebut saja Hegel, filosif yang sekebangsaan dengannya: Jerman. Hegel menulis dengan gaya yang berat dan kaku. Kerap menggunakan banyak istilah pelik yang tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa yang dimaksudkannya. Berbeda dengan Nietzsche yang (menurut Aiken: 2009) menulis dengan menggunakan bahasa sehari-hari, informal, dengan kiasan yang memikat. Jadi dapat dimengerti jika ia pun mempersoalkan hal-hal yang dekat dengan keseharian manusia: kerinduan pada “superman”! ***