Minggu, Desember 15, 2013

Sukarno vs The Beatles




SORE itu saya lagi jatuh cinta sama buku kumpulan lagu The Beatles. Hampir tiap ke Gramedia, raknya saya lewati. Lirik sebentar, lalu pergi. Entah, hari itu daya tariknya lebih dari biasanya. Mungkin benar, kadang cinta butuh waktu yang tepat. Hehehe.. Setelah mengambil buku The Beatles tadi, seperti biasa, saya selalu menyempatkan diri menengok kumpulan buku biografi dan sejarah. Ada satu buku tentang Bung Karno yang terpajang sendiri. Begitu coba melihat beberapa bagian isinya, saya terkejut: Bung Karno membenci The Beatles?!

Bukan Bung Karno saja, tapi Imelda Marcos (mantan ibu negara Philipina) juga membenci Beatles. Meski dengan alasan yang berbeda. Kisahnya berawal dari konser The Beatles di Manila atas undangan Imelda Marcos. Karena ingin penampilan khusus, Imelda mengundang The Beatles untuk bernyanyi di Istana sebelum konser resmi berlangsung. Permintaan ini serta merta ditolak oleh Beatles sebab tidak dijadwalkan sebelumnya. Imelda murka. Sejak itu cintanya pada Beatles berakhir benci. Tetapi bagaimana dengan Bung Karno? Mengapa ia juga membenci dan melabeli lagu The Beatles dengan sebutan “ngak ngik ngok”?

Buku yang ditulis Walentina Wuluyanti De Jonge itu lebih menggarisbawahi alasan ideologi daripada sentimen pribadi Bung Karno atas Beatles. Masih ingat slogannya: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis?” Nah itu yang mendasari antipati atas Beatles. Hemat saya, kelompok musik asal Inggris ini dinilai turut membawa budaya Barat. Virus tersebut yang dikhawatirkan merasuki anak muda kala itu. Dalam pidato-pidato resminya tidak jarang Presiden Sukarno memerintahkan polisi untuk merazia anak muda yang berpenampilan ala Beatles.



Setelah mendapati remaja yang “melanggar”, praktis polisi menjadi tukang cukur dan tukang permak celana dadakan. Iya, tukang cukur. Karena tidak boleh ada anak muda yang model rambutnya mirip personil The Beatles. Mereka juga tidak diizinkan mengenakan celana ketat. Ukurannya botol bir. Jika botol tersebut tidak dapat masuk lewat kaki celana, polisi berhak menggunting celana sisi celana tersebut sampai ke paha. Mengapa Bung Karno separanoid itu? Walentina Wuluyanti De Jonge tidak detali mengulas latarnya. Tetapi setalah membaca tulisan Wasisto Raharjo Jati (Soekarno dan “Third-Worldism”, Kebangkitan Politik Dunia Ketiga Pasca-Dekolonialisasi), menurut saya, sikap Sukarno ini ada hubungannya apa yang sering ia sebut sebagai “neo-kolonialisme”.

Pasca Perang Dunia II, Sukarno telah membaca bahwa tatanan dunia berangsur berubah. Tidak akan ada lagi model penjajahan seperti yang sebelumnya dipraktikkan (kolonial). Sudah bukan masanya lagi sebuah negara menduduki sebuah negara lain (yang lebih lemah) dengan kekuatan militer. Negara-negara Barat yang kuat akan mempraktikkan model penjajahan baru melalui budaya dan ekonomi. Ini yang ia maksud sebagai “neo-kolonialisme” (biasa disingkat “nekolim”). Negara yang baru merdeka dan kebanyakan masih dalam keadaan miskin, butuh bantuan ekonomi. Di titik itu negara kaya masuk dengan memberi pinjaman jangka panjang yang berbunga tinggi. Dengan jerat utang ini, Negara Dunia Ketiga menjadi sapi perahaan yang bisa dicocok hidungnya. Negara-negara yang baru merdeka juga ikut dilucuti identitas budayanya dengan invasi musik dan film. Meski secara umum itu semua mereka sebut sebagai hiburan.

Kembali ke cerita tentang lagu The Beatles, saya bisa pahami jika label “ngak ngik ngok” diberikan untuk lagu-lagu mereka yang bising seperti A Hard Day Night atau Ob-La-Di, Ob-La-Da. Tetapi bagaimana dengan lagu mereka yang lembut? Sebut saja seperti Here, There and Everywhere; In My Life; I Will; atau Till There Was You. Mengapa Bung Karno tidak melarang model jambul ala Elvis Presley? Elvis kan asal Amereika. Jika menggunakan alasan ideologi, mengapa film Hollywood boleh diputar di Indonesia pada masa ia menjadi presiden? Ah, Sukarno memang selalu menyisakan kontroversi. Dan itu pula yang membuatnya tetap menarik untuk dikenang.***



Tidak ada komentar: