Kamis, Juni 13, 2013

Menjala Simpati




SETIAP orang dari kita ingin diterima oleh orang lain dalam lingkungan di mana mereka berada. Karena itu, menarik simpati orang lain menjadi hal yang penting. Apalagi jika kita memang berkeinginan untuk melakukan sebuah perubahan. Misalnya ingin memperbaiki keadaan sebuah komunitas atau ingin memasarkan ide yang kita yakini akan memberi manfaat yang besar pada orang lain. Tidak terkecuali dalam konteks yang lebih kecil, simpati orang lain kita butuhkan untuk mendukung hal-hal baik yang ingin atau sedang kita lakukan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana melakukaknnya?

Obrolan Rabu sore (12/6) kemarin mengangkat tema itu dalam program Respect Your Life yang disiarkan langsung melalui Pro 2 RRI Kendari. Ini kali kedua saya menjadi narasumber (baca: Bermimpi, Lalu Bangunlah). Lagi-lagi saya harus berterima kasih pada Titiek Puspitawaty yang mengundang sebagai narasumber dan Lala (Asnar Syarifuddin) yang bela-belain bertugas dan berperan sebagai moderator. Saya bersyukur tidak batuk selama live. Batuk adalah sebentuk alaram di tenggorokan saya yang akan menyala jika kikuk, mati gaya. Apalagi dikelilingi perempuan-perempuan cerdas dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Senin, Juni 03, 2013

Denpasar: Lessons and Blessings




SAYA ingin berguru pada orang yang perjalanannya sama seperti yang ia bayangkan, yang ia rencanakan. Lala (teman yang beken karena keahlian MC-nya) yang tahu rencana saya ke Bali justru membayangkan saya akan berselancar dengan banana boat. Iya sih, itu suka-suka dia. Kalau saya, sederhana saja: bisa berenang di pantai dan menonton pagelaran tari. Tapi apa lacur, perjalanan ke Denpasar akhir Mei lalu tidak seperti yang saya bayangkan. Enam hari yang porak-poranda. Jadi mohon maaf jika tulisan ini mungkin akan berisi beberapa keluhan. Boleh kan?!

Jadi begini, sebelum tinggalkan bandara Haluoleo Kendari, pesawat yang harusnya menerbangkan kami ke Makassar sudah delay sejam. Di Makassar, pesawat yang akan membawa kami ke Denpasar juga terlambat dengan waktu yang lebih fantastis: nyaris dua jam. Note #1: persiapkan diri (lahir-batin, materil-spiritual) untuk penerbangan yang tertunda. Setiba di Denpasar, saya tidak tega lihat wajah Pak Agus yang tampak berusaha untuk tetap ramah meski menunggu lama di bandara Ngurah Rai. Saat itu, bandara sedang dalam renovasi. Waktu pertama kali ke Bali 6 tahun lalu, bandara itu menurutku sangat kecil dan (maaf) kumuh untuk ukuran sebuah bandara internasional.

Sabtu, Juni 01, 2013

Langit: Kearifan untuk Tidak Memiliki




APA yang Anda rasakan saat pagi hari duduk di beranda dan melihat langit yang biru dengan dandanan awan-awan putih yang imut? Atau melalui jendela kamar, menatap rinai hujan yang menetes dari langit abu-abu? Rasanya tidak mudah menggambarkan beberapa perasaan dalam bahasa yang lugas dan sekaligus mewakili perasaan kita. Mingkin sama sulitnya saat kita diminta untuk menggambarkan indahnya bulan purnama, bintang yang berkedip, matahari pagi yang terbit, atau hamparan laut yang berujung di ujung cakrawala. Langit seperti menjajikan kebahagiaan tetapi di saat yang bersamaan juga menyimpan hal yang sebaliknya, seperti yang baru saja saya alami.

Sebelum akhir Mei lalu, saya lupa kapan terakhir kali bepergian dengan pesawat. Mungkin karena tidak menyenangkan, jadi tidak penting untuk diingat. Hehehe..tapi benar, setiap penerbangan selalu memberi ruang ketakutan dalam diri saya. Ruang itu tertutup begitu pesawat mendarat dan akan terbuka secara otomatis lagi pada saat pesawat mengangkasa. Saya tidak dapat bayangkan perasaan mereka yang menghabiskan (mungkin) separuh waktu hidupnya dalam sehari di angkasa, seperti pilot dan pramugari. Mati rasa, tidak peduli, pasrah, berani atau nekat?! Entah.