Kamis, April 04, 2013

Bermimpi, Lalu Bangunlah



RABU sore 3 April, saya diundang sebagai tamu di sebuah program acara talk show radio. Programa 2 RRI Kendari, "Respect Your Life" nama acaranya. Ini pengalaman pertama saya jadi narasumber untuk acara bertema motivasi. Selama ini saya lebih sering didaulat untuk berbicara sebagai pengamat. Berat. Tapi tidak untuk sore itu. Saya sangat rileks. Posting ini ingin berbagi cerita tentang Dare to Dream (Berani Bermimpi), tema yang kami perbincangkan. Boleh dibilang itu percakapan yang serius tapi santai. Atau mungkin santai tapi serius. (Hmmm... beda ya?)

Core Desire. Agar tidak bias ke mana, narasumber tetap acara ini, ibu Titiek terlebih dahulu membatasi apa yang kita sebut sebagai “mimpi”. Kalau dialihbahasakan serupa dengan core desire: keinginan terdalam. Ciri-cirinya yang paling mudah didetaksi adalah ketika keinginan tersebut melibatkan emosi terdalam seseorang dan orang tersebut rela melakukan apa saja untuk mencapainya. Apa bedanya dengan obsesi? (Nah itu dia yang tidak sempat saya tanyakan. Beberapa istilah memang kadang membingungkan). Saya memahami core desire sebagai cita-cita kuat dalam diri seseorang yang ingin diwujudkannya.

Kalau begitu, berapa banyak mimpi yang boleh kita miliki? Ibu Titiek menjawab sebaiknya lebih dari satu. Sepakat, karena setelah satu mimpi kita terwujud, kita tidak berhenti tetapi berpindah untuk mewujudkan mimpi yang lain. Agar tidak membingungkan, saran saya, tetapkan skala prioritas. Mulailah dengan mimpi yang paling mendesak dan realistis untuk diwujudkan dengan keadaan dan apa yang kita miliki saat ini. Intinya, mimpi itu baik, produktif, dan bermanfaat (agar Tuhan mendukung).

Antusiasme. Untuk dapat mewujudkan mimpi tadi, kita harus memiliki antusiasme. Pengalaman saya selama membimbing sejumlah mahasiswa, mereka yang memiliki antusiasme yang tinggi yang biasanya dapat dengan segera mencapai apa yang diimpikannya. Saya pikir ini 'rumus' standar. Antusiasme yang menjadi mesin pendorong kita untuk tahap demi tahap menempuh langkah-langkah yang mendekatkan pada hal yang ingin dicapai. Mereka yang hanya bermimpi tapi tidak miliki antusiasme, seperti Superman atau Superwoman yang sedang tidur. Mau ngapain coba?!

Keluar dari Zona Nyaman. Antusiasme itu tidak gratis. Dia harus ditukar dengan sejumlah pengorbanan. Maksudnya, untuk dapatkan apa yang kita inginkan, harus ada yang dikorbankan: No Pain No Gain. Seseorang harus mengabaikan hal lain yang tidak berhubungan langsung dengan mimpi yang ingin diwujudkannya. Pengabaian itu yang tidak gratis karena tidak jarang mengharuskan seseorang untuk keluar dari zona nyaman yang dijalaninya selama ini. Misalnya, mahasiswa yang ingin sarjana, harus mengorbankan waktu bersantai untuk menyelesaikan penelitian dan skripsinya. Itu yang dimaksud dengan “keluar dari zona nyaman”.

Beberapa orang mungkin sulit untuk bisa keluar dari zona ini. Istilah sang anchor Mba Lala: “stag” (disingkat dari bahasa Inggris “stagnant” yang berarti “mandek”). Di satu sisi mereka punya mimpi. Di sisi lain mereka tidak berdaya untuk keluar dari rutinitas sehari-hari, misalnya sebagai ibu rumah tangga. Semuanya serba terpola, mulai dari bangun pagi sampai tidur di malam hari. Rutin. Monoton. Dan sudah dapat ditebak: Membosankan! Tetapi hemat saya, selalu ada cara untuk keluar dari zona seperti ini yaitu bernegosiasi. Bernegosiasi dengan apa atau siapa saja yang membuat seseorang terjebak dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk mewujudkan mimpinya.

Bernegosiasi dalam arti melakukan apa saja yang memungkinkan ia keluar dari rutinitas yang menjauhkan dirinya dari mimpi-mimpinya. Bisa jadi mencari celah, mengatur jadwal, membuat keputusan atau pendelegasian beberapa pekerjaan kepada orang lain. Tetapi jika negosiasi tidak dapat tercapai, pilihannya memang hanya satu: harus ada yang dikorbankan.  Jika tidak ada yang berani untuk dikorbankan, rasanya mimpi itu memang tidak layak untuk diperjuangkan. Ia belum menjadi core desire.

Atmosfir. Tidak ada mimpi yang dapat terwujud hanya dalam sehari. Semuanya butuh proses. Untuk tetap merawat antusiasme, ibu Titiek merekomendasikan agar setiap momentum dijaga. Jangan sampai berlalu begitu saja dan tidak memberi kontribusi berarti pada pencapaian mimpi kita. Jika boleh menambahkan, bergaulah dengan mereka yang berpikiran positif. Emosi atau suasana alam pikiran itu seperti virus: menular. Setiap pikiran positif dari teman atau orang sekitar kita, sedikit banyaknya akan memberi pengaruh pada kita. Ini yang saya sebuat dengan istilah atmosfir: suasana hati, mood. Karena siapapun tidak dapat mencapai sesuatu yang positif jika ia hidup dengan sikap yang negatif.

Tidak terasa waktu satu setengah jam berlalu, studio siar Pro 2 RRI Kendari seperti kapsul waktu yang telah membawa saya ke masa saat masih jadi penyiar. Hampir 13 tahun lalu di Radio Mercurius TOP FM Makassar. Mengenakan headset. Berhadapan dengan microphone dan dapat mendengarkan beberapa komposisi lagu pilihan. Saya harus berterima kasih pada ibu Titiek pengasuh acara yang mengundang untuk jadi narasumber. Juga pada Mba' Lala yang memoderasi diskusi yang sangat produktif itu dengan todongan beberapa pertanyaan yang kadang membuat saya speechless. (Eh suaranya mirip Yessi Marisa, teman seangkatan penyiar dulu).

Pukul 5:30 sore. Di luar studio, langit mendung seperti bergegas menjadi malam. It seems like a prelude to dream.***

Tidak ada komentar: