Minggu, Agustus 05, 2007

Great Man is ...?

HARI itu, saya punya janji dengan seorang mahasiswa pukul 10 pagi. Kami akan mendiskusikan teori yang digunakannya dalam penelitian. Namun via sms saya memajukannya ke jam 9. Alasannya (mungkin) sepele. Jam 10 saya harus menjemput Si Sulung pulang sekolah. Mahasiswa itu pun sepakat jadwal pertemuan dimajukan. Karena dia juga berpendapat kalau “keluarga adalah segalanya”. Oleh karenanya harus didahulukan. Lebih dari itu, dia berhasil mengusik kesadaran saya tentang definisi “ayah yang baik”.

“…family is everything…great man is a great dad.” Begitu penggalan sms yang ia kirim menyertai persetujuannya memajukan jadwal diskusi. Bagi dia, mungkin rangkaian kata itu hanyalah semacam “alasan persetujuan”. Namun tidak bagi saya. Penggalan sms itu seolah menjadi sendok. Ia mengaduk kembali cairan konsep “ayah yang baik” yang tersimpan dalam gelas kepala. Apa sesungguhnya “ayah yang baik” itu? Bagaimana menjadi ayah yang baik? Apakah saya termasuk ayah yang baik? (Ah, rasanya pertanyaan yang terakhir ini bukan hak saya untuk menjawabnya.)

Mungkin kita bisa berkata: Ayah yang baik adalah ayah yang memenuhi kebutuhan lahir dan batin anak-anaknya. Memenuhi kebutuhan materil. Memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual. Tapi rasanya itu terlalu ideal. Saya jadi pesimis para ayah sanggup memenuhinya. Beberapa ayah berhasil memenuhi keinginan materil anaknya saja. Mencukupi kebutuhan. Membiayai sekolah hingga ke perguruan tinggi. Tapi hasilnya nihil. Ia justru menjadi “sapi perahan” si anak. Apakah dia contoh ayah yang baik?

Di jalan dekat rumah jabatan gubernur, saya pernah melihat pemulung. Si anak duduk di dalam gerobak. Ayahnya mengayuh gerobak yang telah diubah menjadi gerobak-becak. Mereka bersama mencari plastik, botol, kaleng, dan sampah yang dapat ditukar dengan recehan rupiah. Mengajak anak usia bermain untuk mengais rezeki apakah ciri ayah yang baik? Bisa jadi, iya. Di sinilah si anak dididik untuk menghadapi realitas hidup.

Dalam Al Qur’an, Lukman dan Nabi Ibrahim kerap menjadi rujukan sosok “ayah yang baik”. Tidak ketiggalan pula Nabi Ya’qub yang dikisahkan memiliki duabelas orang anak yang kelak menjadi cikal bakal Bani Israil. Nabi Yaqub adalah anak Nabi Ishak (putra Ibrahim) dan ayah dari Nabi Yusuf. Mereka menjadi contoh “ayah yang baik” antara lain karena pengajaran yang mereka berikan tentang ketuhanan, kesabaran, dan akhlak yang mulia.

Namun bagaimana bisa seseorang dapat mengajarkan sesuatu kalau ia tidak memiliki sesuatu yang baik untuk diajarkan. Artinya, kita baru dapat mengajari anak, setelah kita telah berhasil mengajari dan mengisi diri kita sendiri. Nah, ini yang tidak mudah. Karena seorang ayah harus bertarung melawan dan menaklukan egonya. Itu pun bukan jaminan. Faktor penerimaan anak itu sendiri juga turut menentukan apakah seseorang dapat sukses menjadi “ayah yang baik”. Karena anak Nabi Nuh sendiri membangkang pada ajaran dari sang ayah yang paripurna ilmunya. Jadi, beruntunglah lelaki yang berhasil menjadi “ayah yang baik”. Karena mereka telah menjadi lelaki yang luar biasa sepanjang hidupnya. Great dad is a great man!***