Senin, Juli 09, 2012

Melawan (Korupsi) dengan Film




TAHUN 2011 Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia 3,0. Makin kecil nilai indeksnya, makin besar tingkat korupsi di negara itu. Sekedar membandingkannya dengan CPI negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura (9,2); Brunei (5,2); Malaysia (4,3); dan Thailand (3,4). Indeks Indonesia masih lebih baik daripada Vietnam (2,9); Philipina (2,6); Laos (2,2); Kamboja (2,1); dan Myanmar (1,5).

Dengan keadaan ini, naif jika kita menganggap pemberantas korupsi itu tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jaksa, polisi, atau para hakim. Keliru kalau kita selalu berpikir untuk melawan harus dengan turun ke jalan. Meneriakkan yel-yel anti-korupsi atau ganyang para koruptor. Siapapun kita, sebenarnya dapat menjadi pahlawan anti-korupsi. Setidaknya untuk keluarga kita. Untuk hidup kita sendiri.

Omnibus

PADA 29 dan 30 Juni lalu, film “Kita versus Korupsi” tayang di Kendari. Kendari adalah kota ke-10 dari 17 kota yang menjadi tujuan road show kampanye film anti-korupsi ini. “Kita versus Korupsi” adalah film omnibus yang berisi gabungan empat film pendek. Meski bukan dokumenter, film fiksi ini terasa seperti potret keseharian kita. Bertutur lugas tanpa menggurui.

Meski berjudul bertajuk “korupsi”, film ini tidak melulu bercerita secara gamblang tentang praktik mencuri uang (yang secara halus kita sebut dengan nama korupsi). Kisah pertama dibuka dengan “Rumah Perkara” (± 20 menit). Seorang tokoh lurah yang ditekan membebaskan lahan warga untuk pembangunan sebuah real estate dan lapangan golf. Berikutnya film “Aku Padamu” (± 16 menit). Sepasang kekasih yang sangat bergelora ingin segera menikah tapi menolak jika harus menyogok petugas Kantor Urusan Agama (KUA).

Di film ketiga, “Selamat Siang Rissa” (± 18 menit), ada kisah seorang wanita yang tidak mau disuap. Pengalaman masa kecil yang membuatnya berani melakukan itu. Pada film terakhir “Psttt… Jangan bilang siapa-siapa!” (± 12 menit), remaja yang menjadi obyek ceritanya. Korupsi ternyata bisa dipraktikkan sejak di bangku sekolah.

Saya tidak ingin melanjutkan cerita di setiap film. Karena sebaik-baik penutur yang berkisah tentang sebuah film, tetap akan lebih baik jika Anda menikmatinya sendiri. Meski begitu, sepenggal dialog dalam film “Kita versus Korupsi” rasanya patut untuk digarisbawahi: Jika ingin memperoleh sesuatu yang baik, lakukanlah dengan cara yang baik, … (karena) … kebaikan lahir dari kebaikan sebelumnya.

Film

MUNGKIN banyak yang meragukan kekuatan film sebagai alat untuk melawan korupsi. Berapa koruptor yang dapat ditangkap dengan sebuah film? Tetapi intinya bukan di situ. Sebagai medium komunikasi massa, film memiliki kekuatan potensial untuk mempengaruhi cara publik berpikir, bersikap, dan berperilaku atas isu tertentu. Film dapat bersinergi dengan televisi, radio, atau suratkabar yang secara frontal terbiasa menunjuk hidung para koruptor.
Dengan berita aktualnya, media massa non-film menginformasikan pada publik hampir setiap kasus korupsi. Mengawal perkembangannya atau bahkan ikut melupakannya (seperti kasus Bank Century). Media massa non-film cenderung lebih menstimuli sisi kognitif publik. Pengetahuan kita. Ingatan kolektif publik.

Sebaliknya, film lebih membidik sisi manusiawi kita. Perasaan kita. Tidak mesti dengan fakta seperti yang dikabarkan dalam berita. Tapi cukup dengan cerita sehari-hari, karena korupsi itu nyata. Pendekatan berita mungkin sudah membosankan bahkan membuat publik frustasi. Kasus korupsi tidak kunjung berkurang. Koruptor tetap tidak jera dan seperti tidak punya rasa malu lagi.

Film menghadirkan pendekatan baru dalam kampanye anti-korupsi. Dengan kemasannya yang estetis, kita coba disadarkan bahwa korupsi ada di sekitar kita. Bukan di kantor pemerintah saja. Di perusahaan. Di jalan atau di sekolah. Bahkan di rumah kita sendiri. Pelakunya bukan orang lain. Kita pun berpeluang untuk melakukannya dengan peran kita masing-masing dalam masyarakat. Dengan daya kreatifnya, film sanggup menghadirkan banyak ragam wajah praktik korupsi di masyarakat yang karena kelazimannya mungkin sudah dianggap hal yang wajar atau bahkan harus untuk dilakukan.

Berbeda dengan pesan yang tersebar melalui televisi, suratkabar, atau radio, kekuatan film ada pada daya repetitifnya. Pesannya dapat diulang untuk ditonton kembali. Kapan saja tanpa kehilangan nilai aktualitas pesan di dalamnya. Bisa digandakan. Bisa disebarluaskan dengan mudah. Film mungkin seperti foto. Kaya makna dan nilainya abadi.

Tapi film kan mahal? Tidak juga. Memang film “Kita verus Korupsi” menghabiskan dana Rp 1,2 miliar (jika dibagi empat, masing-masing film menghabiskan Rp 300 juta). Dana sebesar ini bersumber dari bantuan sejumlah lembaga donor. Namun jika melihat hasil dan dampak yang mungkin diciptakannya, nilai miliaran rupiah itu rasional. Solusi pendanaan film ke depan bisa dimulai dengan membangun kerjasama antarlembaga untuk gerakan anti-korupsi.

Di tingkat lokal, para pembuat film kita dapat berkontribusi dalam gerakan anti-korupsi. Tentu tidak perlu dengan biaya mahal. Film-film indie dapat dibuat dan disebarluaskan sendiri oleh mereka. Teknologi produksi film saaat ini dan distribusi mendunia via internet sangat memungkinkan untuk itu. Hanya dibutuhkan sedikit keinginan, keterampilan dan daya kreasi untuk bertutur dalam bahasa visual yang menarik.***

Tidak ada komentar: