TIDAK sedikit siaran radio yang digagas berawal dari hobi. Atau keisengan yang mengasyikkan. Alhasil, riset pun dianggap sebagai suatu hal yang “mewah”. Terlalu mengawang-awang jika ingin diperbincangkan. Apalagi untuk dijalankan. Padahal, sejatinya inilah yang menjadi rujukan yang tepat dalam pengambilan segala keputusan strategis di radio. Mulai dari bidang teknis, manajemen, keuangan dan marketing, hingga programming. Koq bisa?
Di tingkat teknis, riset dibutuhkan untuk mengenal geografi dan topografi wilayah yang menjadi target gelombang radio (coverage area). Data riset akan digunakan untuk menentukan jenis gelombang (FM atau AM) yang tepat untuk menjangkau target audiens. Termasuk mengantisipasi kemungkinan area blank spot yang tidak dapat (atau tidak perlu) dilayani. Menentukan tinggi antena, arahan, serta daya pancar proporsional yang dibutuhkan.
Untuk menentukan visi, misi, serta tujuan radio sebagai sebuah perusahaan dibutuhkan data penunjang yang diperoleh dari riset. Gunanya agar ketiga hal tersebut mungkin untuk dijadikan acuan. Karena manajemen merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan. Manajemen selalu berawal dari perencanaan. Perencanaan akan kacau balau bila didukung oleh data yang tidak valid. Mengada-ngada. Antara ada dan tiada. Atau hanya berdasar pada khayal semata.
Riset juga penting untuk perencanaan keuangan dan marketing. Data riset akan membantu kita dalam memperkirakan potensi pasar. Pasar pendengar. Pasar iklan. Pasar program: musik dan informasi. Musik jenis apa yang diminati. Informasi seperti apa yang dibutuhkan. Radio akan terpandu untuk membuat program yang dapat menyedot pendengar. Makin banyak pendengar yang dapat diraih, makin mudah pula ia meyakinkan dan menarik donatur. Temasuk pemasang iklan.
Bukan itu saja, riset juga akan membawa radio pada penemuan peluang-peluang emas yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan pendapatan tambahan di luar iklan. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan off air. Dengan dapat terprediksinya uang yang masuk (dan uang yang keluar) sangat membantu dalam menetapkan dua hal penting. Pertama, titik keseimbangan nominal antara pengeluaran dan pemasukan (break event point). Kedua, periode kembalinya biaya investasi (pay back period).
Melihat hasil “dahsyat” yang dapat diperoleh melalui riset, mungkin kita berpikir biaya risetnya pasti “dahsyat” juga! Bisa iya, bisa tidak. Bergantung pada besar investasi yang dipertaruhkan. Makin besar investasi, sebaiknya budget riset juga dialokasikan secara khusus. Tapi bagi radio lokal yang modalnya cekak, entah itu swasta atau komunitas, riset dapat dilakukan juga dengan sederhana. Intinya, kita berupaya memperoleh data secara faktual. Data yang kita kumpulkan obyektif, apa adanya. Tidak boleh dicemari oleh rencana, dugaan, apalagi mimpi kita.
Riset berangkat dari kejujuran. Jangan kecewa bila mungkin apa yang kita dapatkan berbeda dengan yang kita sangka sebelumnya. Kita harus memperlakukan data dengan hormat. Data itu yang akan menjadi pandu bagi radio yang akan arung. Lebih baik terlambat (on air) dari pada terlanjur. Adalah sebuah kerepotan yang fatal bila kita melaras pesawat saat mengangkasa. Bukankah akan lebih aman dan nyaman bila itu dilakukan ketika masih di hanggar? Mungkin saya salah, tapi itulah pendapat saya.***
(Inspired by Djoko W. Tjahjo & Harley Prayudha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar