Jumat, September 07, 2007

Televisi & Potret Nasionalisme

TELEVISI merupakan media massa yang penetrasinya begitu luas di tanah air. Iamemiliki kekuatan untuk mengarahkan perhatian dan membentuk persepsi publik. Ironisnya, isi program televisi tidak menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai yang menjadi filosofi bangsa. Itulah sebab mengapa televisi memiliki andil dan bertanggung jawab atas redupnya sikap nasionalisme kita saat ini.

Seorang ilmuwan pernah berseloroh: “Untuk mengatahui nasionalisme sebuah bangsa, lihat saja siaran televisinya.” Bila menyimak televisi, akan ditemukan ideologi liberal dalam berita, talk show, hingga infotainment. Ada hedonisme, sadisme, dan peneguhan stereotype negatif dalam sinetron. Pun akan tersibak konsumerisme dan kapitalisme dalam iklan. Inilah nilai yang mendominasi televisi Indonesia.

Menurut catatan resmi, hingga Amerika Serikat (AS) angkat kaki dari Vietnam tahun 1975, Washington telah mengirim total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, sekitar 57.000 orang tewas, 300.000 cedera/cacat, sekitar 700 ditawan, dan lebih kurang 5.000 orang hilang. Fakta ini tidak diketahui oleh semua orang di dunia. Karena ketika perang Vietnam berkecamuk, media Barat bias dan pro pada kepentingan AS.

AS adalah contoh negara yang pandai memanfaatkan audio visual (televisi dan film) sebagai medium untuk membangkitkan nasionalisme publik dalam negeri. Juga membentuk mimpi Amerika (American Dream) publik dunia. Banyak liputan berita dan film yang dengan sengaja didanai atau disponsori oleh negara untuk tujuan propaganda. Sebut saja film “Top Gun“, “Star Wars“, “Broken Arrow“, “Black Hawk Down“, atau “Pearl Harbor“.

Kita juga mungkin masih ingat kontroversi film “300″ beberapa bulan lalu. Film ini berkisah tentang 300 tentara Sparta Yunani mengalahkan ratusan ribu tentara Persia. Persia adalah induk budaya Iran, negara yang sekarang sedang menjadi sasaran tembak baru AS di Timur Tengah. Sebelum AS benar-benar menghajar Iran, Hollywood diutus untuk menggambarkan Persia sebagai peradaban barbar yang layak jika kemudian dimusnahkan. Dan itu terlukis dengan apik dalam film “300″.

Sebelum menyerang Afghanistan dan Irak, media AS terlebih dahulu memberi cap “bandit” pada Osama bin Laden dan Saddam Husein. Bush pun kemudian mendapat angin untuk meluluhlantakkan kedua negara tersebut. Meski dengan tindakan sebrutal itu, CNN dan sejumlah televisi AS tidak pernah member label “Penjahat Perang” kepada Bush karena telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan di Afganistan dan Irak.

Bercermin dari itu semua, tampak bahwa Indonesia belum memiliki strategi audio visual sebagai sebuah bangsa. Video clip lagu “Bendera” (dari group Coklat), dapat menjadi awal yang baik untuk menularkan kecintaan pada bangsa ke generasi muda. Semangat patriotik sangat terasa dalam lagu ini. Sayangnya, ia hanya muncul sehari di televisi ketika 17 Agustus lalu.

Kita membutuhkan program televisi yang mengawal nasionalisme secara utuh. Bukan nasionalisme dadakan yang surut ketika pemicunya reda. Seperti hanya ketika Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew melecehkan Indonesia. Atau ketika Ketua Tim Wasit Karate Indonesia dikeroyok oleh oknum Polisi Malaysia. Televisi harus mengambil peran dalam menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dan kuat. Bangsa yang bermartabat dan disegani.

Terkadang saya ingin melihat di televisi Indonesia, tampil pemimpin yang memukau seperti Bung Karno. Yang membangkitkan nyali kita sebagai bangsa yang besar. Pemimpin yang dengan tegas menolak bantuan luar negeri demi harga diri bangsa. Yang dengan gagah berani melawan dominasi AS dan keluar dari PBB. Yang dengan lantang pernah berkata: “Ganyang Malaysia!”***