Senin, November 16, 2009

Ketika Sidang Tayang Langsung

TOPIK pembatasan siaran langsung di televisi, khususnya saat meliput persidangan, kembali mengemuka. Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas keberatan dengan ide ini. Dalam pernyataan yang dipublikasikan banyak media, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara meminta agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) cukup menindak media penyiaran yang melakukan kesalahan. Jangan membatasi siaran langsungnya secara keseluruhan. Seperti ingin membunuh tikus di lumbung dengan cara membakar lumbung padinya.


Senada dengan Dewan Pers, rilis AJI yang dikeluarkan ketuanya Nezar Patria, juga menilai hal tersebut bertentangan dengan kebebasan pers dan kebebasan informasi. Memang, berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI diberi kewenangan mengatur isi siaran, namun ketentuan tersebut, hanya berlaku untuk program siaran selain program jurnalistik. Untuk program siaran jurnalistik, tetap berlaku UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (Vivanews: 13/11/2009).

Khas

Pool (1983) menggolongkankan regulasi media ke dalam tiga kelompok: cetak, siaran, dan telekomunikasi. Dengan mempertimbangkan aspek teknis, normatif, termasuk dampaknya, Pool menilai untuk media cetak, tidak perlu dilakukan pengetatan regulasi untuk infrastruktur dan isinya. Berbeda dengan media telekomunikasi, pengetatannya dikhususkan pada aspek infrastrukturnya saja. Tidak untuk isi (content) yang dibawanya. Sementara pada media siaran, baik infrastruktur maupun isinya, perlu dilakukan pembatasan.

Selain karena televisi dan radio menggunakan ranah publik (spektrum frekuensi), pengaturan khusus untuk media penyiaran disebabkan karena sifatnya yang mudah merembes (pervasiveness) dan dampak kuat yang secara potensial dapat ditimbulkannya. Karena sifatnya yang khas tersebut, televisi perlu mendapat perlakuan khusus. Di negara yang liberal seperti Amerika Serika, Inggris, Prancis, atau Australia, ranah penyiaran diatur lebih ketat daripada media cetak.

Konsep Pool ini dapat ditemukan dalam regulasi media. Kita juga memiliki UU Pers, UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999, dan UU Penyiaran. Jika ditilik, UU Pers kita sangat sederhana dan hanya berisi 21 pasal. Berbeda dengan UU Penyiaran yang memuat 64 pasal. Ia terasa begitu detail karena antara lain mengatur masalah perizinan (sesuatu yang tidak ditemukan dalam UU Pers). Sementara UU Telekomunikasi, substansi dan derajat pengetatan aturannya lebih terfokus pada infrastruktur.

Pagar

Dengan perspektif regulasi media tadi, kegiatan jurnalisme secara umum dapat dianggap cukup diatur oleh UU Pers. Namun ketika informasi tersebut disebarluaskan melalui ranah penyiaran, maka ia harus patuh pada aturan yang lebih khusus (UU Penyiaran). Meski demikian, perlu ada kriteria yang jelas tentang apa saja yang tidak dan dapat disiarkan secara langsung. Bahkan untuk informasi publik sekalipun. Perlu ada pertimbangan-pertimbangan tentang dampak yang mungkin akan ditimbulkan oleh informasi tadi.

Pengadilan jalanan atau pengadilan rakyat dapat saja terjadi karena publik sulit untuk mengikuti seluruh persidangan secara keseluruhan. Dari awal sampai akhir. Publik juga tidak memiliki pengatahuan yang cukup dalam menyikapi informasi yang mengemuka di ruang sidang. Tuntutan, kesaksian, dan pembelaan adalah penggalan-penggalan “fakta” yang perlu dirangkai secara utuh dan diuji kembali kebenarannya.

Kecenderungan media untuk memilih sesi tertentu dari segenap rangkaian persidangan, dapat menjadi bias. Belum lagi komentar atau simpulan dari sumber-sumber tertentu yang diwawancarai setelah persidangan. Pada akhirnya, televisi berpeluang membuka ruang “persidangan” baru di luar pengadilan. Media penyiaran mungkin saja akan berperan sebagai penuntut, pembela, dan hakim sekaligus. Pengaturan dibutuhkan bukan untuk membakar, tetapi memagar lumbung kebebasan pers.***

[versi lengkap]

Selasa, April 21, 2009

Sang Alkemis

“Padang gurun ini mengambil kaum pria kami, dan mereka tidak selalu kembali lagi,” kata Fatima. “Kami sudah tahu itu dan kami sudah terbiasa. Mereka yang tidak kembali, menjadi bagian dari awan-awan, binatang-binatang yang bersembunyi di jurang-jurang, dan air yang memancar dari dalam bumi. Mereka menjadi bagian dari segala sesuatu...” (h.126)

NOVEL ini bercerita tentang Santiago yang menempuh jalan untuk menemukan mimpinya. Melewati gurun dari Maroko menuju Mesir. Mengikuti mimpinya. Mimpi yang selalu hadir dengan rupa yang sama saat dia mengembalakan domba di padang rumput Andalusia (Spanyol). Mimpi ini yang memaksanya meninggalkan apa yang pernah dimilikinya. Termasuk cinta seorang wanita gurun.

“Jangan pikirkan yang tertinggal di belakang,” kata sang alkemis yang menemani perjalanan anak laki-laki itu.“Kalau emas yang kamu temukan itu terbuat dari unsur yang murni, maka dia tidak akan rusak. Dan kau bisa selalu kembali. Tapi kalau emas yang kau temukan itu hanya sepuhan belaka, seperti kilasan bintang jatuh, kau tidak akan menemukan apa-apa saat kau pulang nanti” (h.159). Sang alkemis berbicara dalam bahasa alkimia. Tetapi Santiago tahu yang dimaksudnya adalah Fatima.

Apakah Santiago pada akhirnya berhasil memperoleh harta karun di kaki pyramid yang selalu muncul dalam mimpinya? Paulo Coelho menjadikan itu sebagai magnet yang terus memaksa pembaca untuk mengikuti cerita hingga di akhir kisah. Namun bagi saya, dan mungkin yang lainnya, daya tarik novel Sang Alkemis (The Alchemist) ini sesungguhnya terletak pada dialog-dialog yang terjadi di antara para tokoh di dalamnya.

Coelho tidak menjadikan Santiago sebagai tokoh yang serba tahu. Atau serba tidak tahu. Kearifan kadang dimunculkan dari si anak laki-laki ini. Kadang pula dihadirkan dari orang-orang yang bertemu dengannya di sepanjang cerita. Mengikuti perjalanan si anak, seolah mengikuti sebuah perjalan spritual. Tanpa detail deskripsi suasana atau karakter setiap tokoh. Coelho mengajarkan filsafat dengan bertutur yang ringan. Tentang hidup, kematian, takdir, cinta, dunia, kesabaran dan perjuangan dalam mencapai sesuatu yang diimpikan.

Mereka yang pernah membaca literatur sufistik Islam tentu telah terbiasa dengan ide yang mendasari dalam novel ini. Ide tentang kemanunggalan penciptaan. Kesatuan antara makro kosmos dan mikro kosmos. “...Di dalam diriku ada angin, padang pasir, samudra, bintang-bintang, dan segala ciptaan lainnya di alam semesta. Kita semua diciptakan oleh tangan yang sama, dan kita memiliki jiwa yang sama” (h.188).

Meski terasa akrab dengan tradisi Islam, sedikitnya, ada dua kekeliruan yang dibuat Coelho saat menggambarkan ritual shalat dan kitab Al Quran. Ketika Santiago berada di Tangier (Maroko), terkesan orang-orang di pasar langsung bersujud (ke tanah) begitu mendengarkan suara azan, panggilan untuk shalat (h.51). Begitu pula saat menyebut Nabi (Muhammad) yang telah menurunkan Al Quran kepada umatnya (h.70). Dia seperti mengulangi kembali bias cara pandang Barat atas Islam.

Terlepas dari bias tersebut, Coelho berhasil membuat dunia terkesan dengan novel Sang Alkemis yang dibuatnya tahun 1988 ini. Sang Alkemis sampai-sampai disebut sebagai fenomena sastra yang sangat penting di abad-20. Ia menduduki posisi best seller di 74 negara dan telah dicetak sebanyak 35 juta kopi. Tahun 2008 Guiness World Record mencatatnya sebagai buku yang paling banyak dialihbahasakan hingga ke 67 bahasa dunia. Penghargaan seperti “Best Fiction Corine International” (Jerman tahun 2002) dan “Nielsen Gold Book Award” (Inggris tahun 2004) juga diraihnya.

Novel ini berhasil mengingatkan kita kembali pada potensi spritual manusia yang terabaikan yaitu hati. Suara hati yang membimbing. Ia tidak bisa dibungkam meski kita berusaha untuk tidak mau mendengarkannya. Dan bila ingin menyederhanakan, mungkin ada satu kalimat yang dapat menggambarkan semangat Santiago yang ingin ditunjukkan novel ini. “Kalau kau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagad raya pasti akan bersatu padu untuk membantumu”.***

Rabu, Maret 04, 2009

Kursi Panas Demi Latika


APA yang mendorong seseorang untuk mengikuti kuis Who Wants To Be A Millionaire? Ingin terkenal. Mau menguji pengetahuan. Atau mengadu keberuntungan mendapatkan jutaan uang tunai. Alasan-alasan tadi mungkin benar. Tapi tidak untuk Jamal Malik (diperankan Dev Patel). Ia tampil di kuis itu hanya untuk seorang wanita: Latika (Freida Pinto). Ia yakin, Latika pasti menontonnya.

Kisah Slumdog Millionaire mungkin boleh dibilang klise. Jamal, seorang anak miskin dari perkampungan kumuh di Mumbai (India), memenangkan hadiah utama kuis Who Wants To Be A Millionaire. Bukan karena cerdas. Jawaban dari setiap pertanyaan ia peroleh dari trauma demi trauma yang ia alami. Detail kejadian (sekaligus jawaban pertanyaan kuis) itu muncul kembali seperti mimpi buruk saat ia duduk di ‘kursi panas’ kuis itu. Kisah hidupnya yang sesekali berjalan mundur (flash back) membuat film ini mampu memberi ketegangan di setiap bagiannya. Tidak klise dan tidak mudah untuk ditebak.

Saat tinggal selangkah lagi mendapat hadiah utama, Jamal diciduk polisi. Presenter kuis, Prem Kumar (Anil Kapoor) mencurigai Jamal berbuat curang. Polisi pun berpikiran yang sama. Berbagai penyiksaan ia jalani di kantor polisi. Alur flash back pun terjadi di sini. Jamal berkali-kali meyakinkan mereka. Untuk dapat menjawab kuis dengan benar, sebenarnya tidak dibutuhkan kecerdasan. Tapi keberuntungan.

Dari potongan kisah itu kita jadi tahu mengapa Jamal begitu mencintai Latika. “Aku akan menunggumu di stasiun kereta pukul lima sore. Setiap hari. Sampai engkau datang menemuiku.” Begitu janjinya pada Latika. Dari alur mundur itu, kita menjadi lebih mengenal Latika, Jamal, dan kakaknya Salam. Mereka menjadi yatim piatu setelah orangtua mereka yang muslim mati dibantai sekelompok orang. Rumah dan kampung mereka dibumihanguskan. Mereka hidup di jalan. Mencuri di atas kereta. Tidur di tumpukan sampah. Terlunta-lunta.

Slumdog Millionaire berhasil menampilkan India dengan problematika sosialnya. Ada land mark India: Taj Mahal. Sungai yang berubah menjadi selokan besar. Stasiun kereta api. Jalan raya yang sesak. Matahari yang terik. Malam yang kelam. Manusia yang berjejalan di kereta barang. Pedagang asongan. Peminta-minta dan pemulung. Perkampungan miskin yang sempit. Pelacur dan kompleks prostitusi. Mafia kelas atas hingga pencuri kelas teri juga dimunculkan. Cerita berseliweran di situ. Begitu apa adanya dan manusiawi.

Komposisi dan sudut pengambilan gambarnya menawan. Gerak dan motif kameranya seolah seirama. Rangkaian gambar yang bertutur sepenggal-sepenggal membuat kita betah untuk terus menebak apa yang akan terjadi di akhir cerita. Ini yang menjadi ‘mesin’ film. Selain sebagai film terbaik, pantas pula bila film Slumdog Millionaire juga diganjar Oscar untuk penyutradaraan, editing, dan sinematografi terbaik tahun 2009. Total delapan piala Oscar yang diboyongnya.

Cerita film ini sebenarnya diangkat dari sebuah novel yang ditulis Vikas Swarup: Q and A. Simon Beaufoy yang berhasil menerjemahkannya ke dalam screenplay (skenario) yang memikat. Potongan kisah sodomi dalam novel yang dialami anak-anak jalanan tidak diterjemahkan ke dalam film. Mungkin sisi kelam anak jalanan sudah cukup miris ditampilkan dengan adegan seorang anak yang diangkat bola matanya. Harga mereka tinggi bila cacat. Saat mereka meminta-minta, orang lebih iba. Juga agar mereka tidak berdaya untuk melepaskan diri dari mafia yang mengeksploitasi mereka.

Yang terbiasa menonton film India di televisi bersiaplah kecewa saat menonton film ini. Slumdog Millionaire tidak diinterupsi oleh tari atau nyanyian. Ia seperti film Hollywood yang dimainkan oleh aktor/aktris India dan (sekali lagi) dengan setting India. Kisah Jamal dalam Slumdog Millionaire mungkin serupa dengan atau mengingatkan kita pada Forrest Gump. Kebaikan, ketulusan, dan cinta kanak-kanak yang polos akan menemukan buahnya sendiri.***

Kamis, Februari 19, 2009

Menjinakkan Bola Api Demonstrasi


MUNGKIN kita pernah mengalaminya. Meski tidak setiap hari. Terjebak dalam kemacetan dan mesti mengubah jalur perjalanan karena terhadang sebuah demonstrasi. Mengapa demonstrasi kerap mengganggu kenyamanan publik? Atau bahkan merusak hingga menyebabkan cedera hingga kematian. Haruskan setiap aspirasi atau kepentingan disuarakan melalui demonstrasi? Mengapa ia begitu difavoritkan?

Tiga Alasan

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa demostrasi begitu difavoritkan untuk menjadi sarana komunikasi politik. Pertama, efek publikasi. Hampir setiap demonstrasi selalu menarik perhatian media massa, cetak maupun elektronik. Banyak sudut pemberitaan (news angle) yang dapat dimunculkan. Mulai dari isu yang diangkat oleh demonstrasi hingga keluarbiasaan dampak yang ditimbulkannya.

Kedua, setelah efek publikasi, demonstrasi juga dipilih menjadi sarana komunikasi politik karena tekanan yang ditimbulkannya. Mereka yang kontra atas sebuah isu, akan merasa lebih tertekan secara fisik juga psikis. Mereka yang belum memiliki sikap didesak untuk segera mendukung. Sedangkan mereka telah mendukung, akan semakin memiliki ‘legitimasi’ untuk memuluskan kepentingan mereka.

Ketiga, demonstasi difavoritkan bisa jadi karena penyelenggaraannya yang lebih mudah dan efektif. Mudah karena hanya dengan pembiayaan yang tidak terlalu mahal, beberapa orang sudah bisa terkumpul, membentangkan spanduk, dengan sedikit orasi. Efektif dalam arti dapat terpublikasi (gratis) dan memberi efek tekanan yang cukup signifikan.

Tiga Alternatif

Tulisan ini tidak ingin mengklaim bahwa demonstrasi itu buruk. Meski masih ada beberapa yang mengganggu kenyamanan publik, tetap ada demonstrasi damai yang berwajah permai. Yang mungkin patut untuk diketahui publik bahwa untuk menyampaikan aspirasi, demonstrasi bukanlah satu-satunya sarana. Masih banyak sarana komunikasi politik yang mungkin untuk digunakan. Misalnya melalui partai politik, kelompok penekan dan media massa.

Satu dari sekian fungsi partai politik adalah melakukan agregasi kepentingan. Demonstrasi pada dasarnya salah satu bentuk untuk mengekspresikan sebuah kepentingan. Partai politik, baik yang berada di dalam maupun di luar parlemen dapat mengambil inisiatif untuk menjembatani kepentingan itu. Bentuknya bisa dalam bentuk lobi-lobi politik. Di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Kelompok penekan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, atau Organisasi Masyarakat (Ormas) dapat pula digunakan untuk menjadi saluran komunikasi politik masyarakat. Dengan data dan argumentasi yang mereka miliki, aspirasi dan kepentingan dapat difasilitasi dengan lebih rasional.

Selain melakukan lobi ke legislatif dan eksekutif, kelompok penekan biasanya akan menggandeng media. Melalui media massa, aspirasi dan kepentingan itu diwacanakan. Mereka yang pro dan kontra akan dipertemukan. Tujuannya untuk membuka wawasan publik karena aspirasi tersebut dilihat dari berbagai sudut kepentingan. Publiklah yang akan menilai, seberapa pantas sebuah aspirasi diakomodasi dalam bentuk produk-produk keputusan politis.

Ketika partai politik melepas begitu saja kepentingan yang seharusnya diperjuangkannya. Ketika kelompok kepentingan memperjuangkan aspirasi dengan mengedepankan prasangka dan emosi. Ketika media berlaku ‘partisan’. Ketika itu sebagian besar saluran-saluran komunikasi politik sedang ditutup. Tidak mustahil, demonstrasi kembali akan menjelma menjadi bola api yang siap menghanguskan apa saja yang dilewatinya.

Kita berharap demonstrasi akan menjadi pilihan terakhir. Kalaupun dipilih, ia dijalankan dengan damai. Alangkah indahnya bila kepentingan terlebih dahulu digelindingkan melalui lobi. Diwacanakan melalui dialog dengan rasionalitas yang tinggi. Model ini yang akan mendewasakan demokrasi kita. Masyarakat dididik dan dicerahkan dengan patron yang elegan dan bermartabat.***

[versi lengkap]