Sabtu, Januari 19, 2008

Tertutup

Gerbang Rujab Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra). Menurut jadwal, tanggal 18 Januari 2008 gubernur terpilih akan dilantik. Namun karena hasil pilkada diperkarakan ke Mahkama Agung oleh Ali Mazi (gubernur periode sebelumnya yang juga ikut pilkada), Mendagri menunjuk Sekda Provinsi Sultra sebagai Pelaksana Tugas Gubernur. Tampaknya, gerbang ini masih tertutup (sementara) bagi Nuralam yang dinyatakan menang oleh KPUD Sultra.***

Minggu, Januari 13, 2008

Gelang Oranye & Pak Harto

JIKA sedikit jeli, Anda pasti pernah melihat di televisi, Thaksin Shinawatra memakai gelang karet berwarna oranye. Saat mengunjungi Bangkok beberapa waktu lalu, saya juga kerap bertemu dengan orang yang mengenakan gelang oranye. Apa hubungannya gelang oranye dengan Pak Harto?

Pada mulanya saya berpikir, mengenakan gelang karet oranye adalah semacam mode di Thailand. Sampai-sampai seorang sekelas (mantan) perdana menteri seperti Thaksin pun memakainya. Saya pun mencoba mencarinya kesana-kemari. (Maksudnya supaya tidak terlihat ketinggalan mode, he..he..he…). Tapi hasilnya nihil.

Logika saya, benda yang tampaknya sederhana tapi menarik bak souvenir itu harusnya dapat ditemukan bebas. Apalagi untuk ukuran kota pariwisata sekelas Bangkok. Sampai pada akhirnya saya mengetahui ternyata gelang karet oranye bagi orang Thailand merupakan simbol kesetiaan pada raja. (Hmm…pantas tidak diobral sampai ke kaki lima.)

Bhumibol Adulyadej. Raja Thailand yang bergelar Rama IX ini lahir tahun 1927. Hampir di setiap jalan yang dilewati di kota Bangkok terpampang potret besarnya. Seukuran billboard. Sama dengan teks doa agar raja panjang umur. Ukuran jumbo yang sudah dapat terlihat dari saat kita mendarat di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Jika raja sakit, seluruh rakyat mendoakan kesembuhannya.

Waktu mengunjungi Bangkok, Thailand sedang berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan di gedung-gedung pemerintah dan swasta. Saudari raja baru saja mangkat. Hampir di setiap tempat umum ada tempat berdoa. Kayu dupa Cina diletakkan di atas meja di depan potret saudari raja yang seukuran poster. Setiap orang yang melintas, dapat langsung berdoa. Begitu besar kecintaan rakyat Thailand kepada raja dan keluarganya.

Bagaimana dengan “raja” Indonesia? Pada saat Pak Harto sedang bertarung menghadang maut, siaran langsung televisi digelar dari kompleks pemakaman Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Seolah mendoakan kematiannya. Catatan medis yang seharusnya menjadi rahasia Pak Harto (sebagai pasien), diumbar ke ruang publik. Infotainment televisi yang sehari-hari menampilkan kehidupan aktor dan aktris, bahkan menjadikan Pak Harto sebagai obyek gosip!

Betul, Pak Harto pernah besalah. Tetapi bukan berarti media dapat melakukan apa saja. Tetap ada batas etika. Tampaknya ketokohan dan ketenaran beliau telah membuat segala hal dari diri Pak Harto seolah mendapat legitimasi untuk diumbar ke publik. Media berdalih, publik punya hak untuk tahu. Padahal tidak semua hal dari seorang ternama harus diketahui publik. Tetap ada yang namanya batas privacy.

Bukan pengkultusan. Tapi penghormatan yang sepantasnya. Sebagai (mantan) pemimpin, Pak Harto pasti punya jasa. Sama seperi Bung Karno. Tidak ada pemimpin yang tangannya bersih dari lumuran darah dan lumpur nista. Tapi mereka juga punya karya. Biarlah Tuhan yang mengganjar mereka dengan adil. Dan kalau kita memiliki kemauan, hukum kita pun dapat mengadili setiap kesalahan yang mereka lakukan. (Yang menjadi masalah, kita kan tidak pernah memiliki kemauan untuk itu.)

Lalu lahirlah drama seperti ini. Drama dimana sikap “kurang ajar” dianggap sebagai sesuatu yang “wajar”. Tidak ada pemimpin yang menjadi panutan. Mantan “raja” saja bisa diperlakukan seperti itu. Presiden dan wakilnya, menteri, gubernur, walikota dan bupati, camat dan lurah, begitu mudah dicaci-maki. Apalagi hanya pemimpin sekelas wasit di tengah lapangan bola. Ia dapat dikeroyok seperti maling ayam. Ah sudahlah, mungkin karena di Indonesia tidak ada gelang oranye! ***

Rabu, Januari 02, 2008

E-Waste

SAYA baru saja membaca laporan majalah National Geographic edisi Januari 2008 tentang sampah teknologi. Majalah itu menyebutnya: “e-waste”. Ternyata, perangkat elektronik seperti televisi, monitor, serta jeroan komputer menyimpan racun mematikan. Khususnya saat telah menjadi sampah. Apa yang harus kita lakukan untuk itu?

Televisi atau kotak monitor komputer CRT mengandung hingga empat kilogram timah. Dalam kadar rendah, timah dapat merusak perkembangan mental anak. Untuk kadar yang lebih tinggi, timah adalah racun saraf yang juga membahayakan ginjal dan sistem reproduksi. Monitor juga mengandung barium yang dalam paparan di atas ambang normal menyebabkan gangguan lambung dan usus, kesulitan bernapas, dan fluktuasi tekanan darah.

Layar monitor yang tipis (LCD), sebagai pengganti tabung monitor, memang sudah kurang beracun secara keseluruhan. Namun ia masih mengandung merkuri pada lampu yang menerangi layar dari bagian belakang. Merkuri berpotensi merusak otak dan ginjal, berbahaya bagi perkembangan janin, dan dapat berpindah kepada bayi melalui air susu ibu.

Dalam kotak CPU, motherboard dan konektor dalam kotak CPU mengandung berilium. Zat penyebab kanker (karsinogenik). Debunya dapat menyebabkan penyakit paru-paru. Kebel dan kawat dalam jeroan komputer mengandung sedikitnya tiga zat mematikan. Pertama, PVC yang jika dibakar menjadi abu yang menghasilkan dioksin yang sangat beracun. Kedua, zat penahan api yang diberi bromin merupakan kelompok senyawa penyebab kerusakan kelenjar gondok (tiroid) dan dapat membahayakan perkembangan janin. Ketiga, zat kadmium yang dalam jangka panjang karsinogenik ini merusak ginjal dan tulang. Kadmim juga terdapat dalam baterai laptop.

Anehnya, meski dapat membunuh, e-waste tetap menjadi incaran. Sampah mematikan ini menjadi berharga karena ternyata mengandung sejumlah besar perak, emas, dan logam-logam berharga lainnya yang merupakan penghantar listrik yang sangat efisien. Ini yang menyebabkan negara-negara miskin mau saja menjadi tempat pembuangan e-waste. Warga miskin di pinggiran New Delhi (India) bahkan mengolah papan sirkuit komputer dengan cara yang sederhana untuk mendapatkan timah. Padahal selain timah, zat mematikan sepeti bromin dan merkuri juga ada dalam papan sirkuit.

Kita baru membedah satu dari begitu banyak hasil teknologi buatan manusia. Bagaimana dengan perangkat yang berbahan dasar kaca, karet, plastik, besi, baja, nikel, atau aluminium? Dapatkah kita hidup sehat berdampingan dengan sampah-sampah itu? Kita tidak dapat berlepas tangan dan membiarkan bumi untuk mengurainya. Manusialah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Sebelum terlambat, sudah harus dipikirkan dan diambil langkah untuk itu. Mulai dari membuat dan menegakkan regulasi yang mengikat para pihak yang terkait, hingga melakukan proses daur ulang. Tiga faktor yang setidaknya menjadi penentu langka tersebut. Pertama, keinginan politik para pemegang kebijakan. Kedua, dukungan atau tekanan dari publik, LSM, atau media. Ketiga, kondisi pasar karena industri harus memproduksi barang yang ramah lingkungan. Selain itu, proses daur ulang dapat menjadi sebuah industri tersendiri.

Jika ini tidak dapat (atau mungkin enggan) kita lakukan, apa yang pernah diucapkan Chairil Anwar dalam sebuah bait puisinya, dan juga menjadi keinginan manusia di bumi, hanya akan menjadi angan belaka: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”***