Sabtu, Agustus 30, 2008

Agar Rakom Seawet Komunitas

Jogja, 21 – 22 Agustus 2008. Kami berkumpul untuk sebuah diskusi di Hotel Jayakarta. Diskusi terbatas untuk mengevaluasi Radio Komunitas (rakom) itu, difasilitasi Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) bersama TIFA Foundation. Diskusi dihadiri oleh para pelaku rakom dan jaringannya dari beberapa daerah di Jawa, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Juga beberapa orang yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Balai Monitoring Frekuensi (Monfrek), serta akademisi.

Hari pertama dan separuh hari kedua, aspek internal rakom yang diperbincangkan. Mulai dari peran komunitas, proses pendirian, badan hukum dan struktur kelembagaan, pengelolaan dan pembiayaan, produksi acara dan hal-hal teknis. Sisanya hal-hal di luar rakom seperti regulasi dan lembaga di luar rakom. Seperti KPID, Balai Monfrek, LSM, serta lembaga donor. Sepanjang diskusi, saya tergiring untuk memikirkan cara agar rakom dapat survive dan mandiri.

Ada tiga kunci yang saya ajukan. Pertama, dibutuhkan sebuah komunitas riil sebelum mendirikan sebuah rakom. Kedua, koperasi adalah badan hukum yang tepat untuk mengatasi masalah keberlanjutan pendanaan operasional rakom. Ketiga, dibutuhkan kapasitas sumberdaya manusia dan pengelolaannya yang “lebih” agar dapat mengawal rakom dalam mencapai tujuan-tujuan komunitasnya.

[detail]

Jumat, Agustus 08, 2008

Risiko Memilih Suami

SAAT santai, istri saya bercerita tentang seorang temannya. Kebetulan dia dosen. Hingga di usia 35 tahun saat ini, dia belum menikah. Bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik. Menurut kami lebih pada sikapnya yang perfeksionis. Kepingin mendapat suami yang betul-betul pas dengan frame yang telah dibuatnya. Terakhir, dia bercerita tidak ingin menikah dengan dosen. Alasannya, suami dosen akan berpeluang banyak berselingkuh dengan mahasiswinya. Apalagi setiap tahun, mereka datang silih berganti dengan usia yang lebih kurang sama tetapi dengan penampilan makin memikat!

Repot kan?! (Lho, koq saya yang repot ya? Dianya saja tidak repot!) Sadar atau tidak cara pandang seperti itu akan menyulitkan dia untuk mendapat suami yang layak. Kecuali kalau dia ingin menikah dengan lelaki pengangguran yang siap parkir di rumah sepanjang hari. Andai dia bertemu dengan seorang dokter. Lelaki dokter, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan pasiennya. Lelaki pengacara, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan kliennya. Maaf, pemimpin agama sekalipun, dapat main mata dengan jemaahnya yang kece. Dari bankir hingga nahkoda, dari tukang sapu hingga kelasi kapal, juga punya potensi serupa. Tidak ada yang bisa luput dari peluang untuk berselingkuh dengan orang di sekitarnya.

Ketika memutuskan untuk menikah, ini menjadi satu dari banyak risiko yang harus siap untuk dihadapi. Ketakutan itu wajar dan manusiawi. Namun ketakutan yang berlebihan justru akan menjadi penghalang. Amannya sih, jangan menikah! He..he..he.. Karena ketika mencitai, seseorang akan berhadapan dengan risiko tidak dicintai (lagi). Kalau takut dengan risiko itu, yaaa… jangan pernah mencintai. Pernikahan ingin melembagakan kesetiaan. Namun ketika kesetiaan ini dilembagakan, risikonya adalah pengkhianatan. Itulah sebagian dari risiko yang harus dihadapi. Berbesarhatilah menghadapinya. Dengan segenap kekuatan. Sebab bagaimanapun juga, kesetiaan jauh lebih mulia untuk diperjuangkan.

Saya jadi ingat sebuah kutipan dari cerpen berjudul “Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding”. Cerpen ini ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Begini kutipannya: "...sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak...patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna." Ada komentar?! ***

Senin, Agustus 04, 2008

Dosen vs Mahasiswa

MATANYA lurus menghadap wajah saya. Sesekali dia menarik napas panjang mengambil jeda di sela-sela ceritanya. Menurut saya, dia termasuk anak yang pandai. Cuma mungkin kurang cerdas. Khususnya dalam menangani perseteruan idenya dengan seorang dosen penguji. Dia dongkol karena si dosen begitu menekan. Mengarahkan dia ke rute berpikir yang tidak sesuai dengan alur penelitian dalam skripsinya. Tampaknya si dosen tidak membaca dengan tuntas isi skripsi. Cuma melihat sepenggal, lalu menginterpretasi ke arah yang ia inginkan.

Lalu apa yang dapat saya bantu? Mendengarkan keluh kesahnya mungkin salah satu bantuan yang dia harapkan dari saya. Tetapi jujur saja, sejak kuliah hingga menjadi dosen seperti sekarang, saya kerap menemukan dosen yang mengambil posisi vis a vis (baca: berhadap-hadapan) dengan mahasiswanya. Dengan setting demikian, si dosen dapat merasa lebih hebat. Lebih cerdas. Lebih tahu segala daripada mahasiswanya. Padahal tanpa perlu vis a vis, status dosen sebenarnya secara formal (baca: de jure) telah menggambarkan “kelebihan” itu.

Ada mahasiswa yang merasa “terintimidasi” dengan posisi seperti ini. Mau melawan namun tidak berdaya. Ada juga yang berani melawan, tapi nasibnya akan seperti mahasiswa yang di hadapan saya ini: Bersiap untuk “digantung”! Nah, yang cerdas adalah mahasiswa yang mampu mengenali karakter setiap dosen, lalu melakukan pendekatan yang pas dengan dosen itu. Namun ini tidak selamanya saya rekomendasikan. Khususnya bagi dosen yang punya karakter dan keinginan yang “aneh-aneh”. Dosen kan manusia juga!***

Jumat, Agustus 01, 2008

Indonesia 1955

BAGAIMANA wajah republik ini setelah sepuluh tahun merdeka? Siapa saja perusahaan asing yang menguasai ladang minyak Indonesia? Bagaimana jurnalis asing menggambarkan profil orang yang hidup di era ‘55? Artikel yang disajikan National Geographic edisi Agustus 2008, kembali membawa kita pada suasana itu.

Catatan ini tidak bermaksud mengulangi apa yang ada dalam artikel tersebut. Hanya ingin menggarisbawahi beberapa kesan yang —setidaknya menurut saya— menarik. Mulai dari foto hingga item-item informasi yang dimuat dalam artikel yang telah dipublikasikan pertama kali pada September 1955. Hemat saya, foto dan materi yang termuat dalam tulisan tersebut diambil setidaknya pada bulan Agustus. Tepat sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka.

Foto Soekarno yang menjadi cover. Saya belum pernah melihat gambar ini sebelumnya. Soekarno terlihat muda dan begitu flamboyan. Dengan gaya khasnya yang tidak —pernah mau— menatap ke arah kamera saat dipotret. Foto Hatta di halaman berikutnya. Dengan jas yang (maaf) kedodoran, tetap tersenyum menyalami beberapa orang penjemputnya saat tiba di Yogyakarta. Kala itu, ibukota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogya.

Ada potret suasana Stasiun Kota (Jakarta), Pasar Apung (Pontianak), atau keindahan puncak Gunung Kelimutu di Nusa Tenggara dengan danau tiga warnanya. Juga ada gambar anak-anak di Kalimantan yang sedang belajar di kelas dengan menggunakan batu tulis. Maklum, buku tulis termasuk barang langka dan mahal. Tidak ketinggalan pose ibu-ibu yang bekerja di pabrik kimia Bandung. Mereka terlihat sedang mengemas pil kina. Obat yang penting untuk melawan wabah malaria yang antara lain pernah membuat hampir separuh penduduk di timur Jawa, menggigil.

Berikut ini beberapa data yang menarik dalam artikel sepanjang 9 halaman di majalah tersebut: [detail]