Jumat, Agustus 08, 2008

Risiko Memilih Suami

SAAT santai, istri saya bercerita tentang seorang temannya. Kebetulan dia dosen. Hingga di usia 35 tahun saat ini, dia belum menikah. Bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik. Menurut kami lebih pada sikapnya yang perfeksionis. Kepingin mendapat suami yang betul-betul pas dengan frame yang telah dibuatnya. Terakhir, dia bercerita tidak ingin menikah dengan dosen. Alasannya, suami dosen akan berpeluang banyak berselingkuh dengan mahasiswinya. Apalagi setiap tahun, mereka datang silih berganti dengan usia yang lebih kurang sama tetapi dengan penampilan makin memikat!

Repot kan?! (Lho, koq saya yang repot ya? Dianya saja tidak repot!) Sadar atau tidak cara pandang seperti itu akan menyulitkan dia untuk mendapat suami yang layak. Kecuali kalau dia ingin menikah dengan lelaki pengangguran yang siap parkir di rumah sepanjang hari. Andai dia bertemu dengan seorang dokter. Lelaki dokter, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan pasiennya. Lelaki pengacara, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan kliennya. Maaf, pemimpin agama sekalipun, dapat main mata dengan jemaahnya yang kece. Dari bankir hingga nahkoda, dari tukang sapu hingga kelasi kapal, juga punya potensi serupa. Tidak ada yang bisa luput dari peluang untuk berselingkuh dengan orang di sekitarnya.

Ketika memutuskan untuk menikah, ini menjadi satu dari banyak risiko yang harus siap untuk dihadapi. Ketakutan itu wajar dan manusiawi. Namun ketakutan yang berlebihan justru akan menjadi penghalang. Amannya sih, jangan menikah! He..he..he.. Karena ketika mencitai, seseorang akan berhadapan dengan risiko tidak dicintai (lagi). Kalau takut dengan risiko itu, yaaa… jangan pernah mencintai. Pernikahan ingin melembagakan kesetiaan. Namun ketika kesetiaan ini dilembagakan, risikonya adalah pengkhianatan. Itulah sebagian dari risiko yang harus dihadapi. Berbesarhatilah menghadapinya. Dengan segenap kekuatan. Sebab bagaimanapun juga, kesetiaan jauh lebih mulia untuk diperjuangkan.

Saya jadi ingat sebuah kutipan dari cerpen berjudul “Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding”. Cerpen ini ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Begini kutipannya: "...sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak...patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna." Ada komentar?! ***

Tidak ada komentar: