Jumat, Agustus 01, 2008

Indonesia 1955

BAGAIMANA wajah republik ini setelah sepuluh tahun merdeka? Siapa saja perusahaan asing yang menguasai ladang minyak Indonesia? Bagaimana jurnalis asing menggambarkan profil orang yang hidup di era ‘55? Artikel yang disajikan National Geographic edisi Agustus 2008, kembali membawa kita pada suasana itu.

Catatan ini tidak bermaksud mengulangi apa yang ada dalam artikel tersebut. Hanya ingin menggarisbawahi beberapa kesan yang —setidaknya menurut saya— menarik. Mulai dari foto hingga item-item informasi yang dimuat dalam artikel yang telah dipublikasikan pertama kali pada September 1955. Hemat saya, foto dan materi yang termuat dalam tulisan tersebut diambil setidaknya pada bulan Agustus. Tepat sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka.

Foto Soekarno yang menjadi cover. Saya belum pernah melihat gambar ini sebelumnya. Soekarno terlihat muda dan begitu flamboyan. Dengan gaya khasnya yang tidak —pernah mau— menatap ke arah kamera saat dipotret. Foto Hatta di halaman berikutnya. Dengan jas yang (maaf) kedodoran, tetap tersenyum menyalami beberapa orang penjemputnya saat tiba di Yogyakarta. Kala itu, ibukota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogya.

Ada potret suasana Stasiun Kota (Jakarta), Pasar Apung (Pontianak), atau keindahan puncak Gunung Kelimutu di Nusa Tenggara dengan danau tiga warnanya. Juga ada gambar anak-anak di Kalimantan yang sedang belajar di kelas dengan menggunakan batu tulis. Maklum, buku tulis termasuk barang langka dan mahal. Tidak ketinggalan pose ibu-ibu yang bekerja di pabrik kimia Bandung. Mereka terlihat sedang mengemas pil kina. Obat yang penting untuk melawan wabah malaria yang antara lain pernah membuat hampir separuh penduduk di timur Jawa, menggigil.

Berikut ini beberapa data yang menarik dalam artikel sepanjang 9 halaman di majalah tersebut: [detail]

Tidak ada komentar: