Sabtu, November 22, 2008

Hikayat Raksasa Tidur dan Bis Kota

MEDIA massa akan selalu berusaha mencuri perhatian kita. Dengan sukarela atau terpaksa. Dengan sadar atau tidak. Kita dapat saja ‘tersandera’ setiap hari. Sejak mulai bangun hingga tidur kembali. Lepas tangkap dalam genggaman media. Dalam cerita, ada kisah seseorang yang menderita dalam penyanderaan. Dalam cerita pula, ada kisah seseorang yang justru jatuh cinta oleh penyanderanya. Kita kepingin menjadi orang yang kedua: tersandera namun bahagia.

RRI Kendari 20 November lalu melakukan sebuah diskusi untuk mencari formula ‘jatuh cinta’ tadi. Akademisi, praktisi, dan pemerhati dikumpulkan untuk membedah acara Pro 1, Pro 2, dan berita RRI Kendari. Bagi saya ini langkah maju. Publik diperlakukan sebagai manusia yang memiliki telinga. Bukan dilihat sebagai telinga yang menempel di kepala manusia. Dengan formula ini, diharapkan, tidak akan terjadi pengabaian publik terhadap media. Bahkan mereka ingin (dan berterima kasih bila) ‘tersandera’.

Saya sangat terkesan dengan ungkapan Harianto Adi. RRI tidak ditinggalkan pendengarnya. RRI-lah yang meninggalkan pendengarnya. Harianto Adi adalah nahkoda RRI Kendari. Yang pernah menonton berita TVRI, pasti familiar dengan wajahnya. Dari bincang-bincang kami, rasa-rasanya akan ada perubahan signifikan dalam tubuh RRI Kendari. Setidaknya, visinya menjanjikan hal itu. Lalu mungkin kita akan bertanya: apa pentingnya hal ini diobrolkan? Who care?!

Jangan lupa, RRI Kendari memiliki peran strategis di Sulawesi Tenggara dengan jaringan dan jangkauan siarannya (coverage area). Masyarakat di kota maupun kecamatan mungkin saja diterpa oleh media nasional. Namun media itu tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan (dengan selera) lokal. Hanya radio yang dapat memainkan peran itu hingga ke pelosok. Menyapa mereka yang buta huruf sekalipun. Dengan potensi ini, sayang sekali kalau tidak diberdayagunakan untuk kepentingan publik. Ibarat raksasa yang sedang tidur, ia harus dibangunkan.

Jika ingin dipersonifikasikan, publik mungkin akan menggambarkan RRI dengan sederet kata yang kurang mengenakkan. Misalnya: tua, kaku, tidak kreatif, konservatif, membosankan, atau pembela pemerintah. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengubah citra tadi yang terlanjur menempel dalam kebanyakan kepala orang saat ini. Karena citra ini bermula dari muatan (content) siaran, maka untuk memperbaikinya pun harus di titik itu. Titik yang menjadi rujukan setiap kepala sebelum mencitra.

Untuk mengubah citra ini, perlu dilakukan fokus (usia) audiens. Itu usul sederhana saya (karena yang mungkin akan tidak sederhana adalah penerapannya, hehehe…). Makin spesifik pendengar yang dibidik, makin mudah pula merumuskan ide, mengemasnya dalam acara yang menarik, serta mengevaluasinya. Pendengar dengan latarbelakang usia, dengan kelas sosial dan gaya hidup beragam, hanya menguras energi dan menciptakan bias yang banyak. RRI mungkin punya niat mulia: ingin melayani semua lapisan masyarakat. Seperti bis kota. Namun itu tidak dapat melawan karakter medium radio yang personal. Karena ia personal, maka dibutuhkan sentuhan (treatment) personal pula.

Mengapa RRI Kendari terkesan malu-malu untuk membidik pendengar dewasa hingga paruh baya (25 – 45 tahun)? Padahal kecenderungan menunjukkan merekalah yang menjadi pendengar RRI (Pro 1 dan Pro 2). Kalaupun melakukan bedah acara, akan ditemukan kepada merekalah mayoritas acara ditujukan. Dengan fokus audiens, positioning Pro 1 (menengah ke bawah, bergaya hidup sub-urban/pedesaan) dan Pro 2 (menengah ke atas, gaya hidup urban) dapat lebih dipertajam.

Dalam praktiknya tentu tidak akan semudah memaparkannya dalam sebuah tulisan ringkas. Karena banyak variabel lain yang ikut menentukan keberhasilannya. Mulai dari sumber daya manusia (kualitas dan etos kerjanya), keuangan (pembiayaan program), hingga sejumlah aturan internal di tubuh RRI dan tekanan-tekanan eksternal yang mengelilinginya. Meski demikian, selalu ada ruang yang dapat digunakan untuk berbuat. Bukan begitu?!***

Inspired by Mas Harianto Adi.

Senin, November 10, 2008

Jurnalis atau Politisi?

DALAM Pemilu 2009, (sedikitnya) ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan ikut bertarung dengan calon anggota legislatif lainnya. Begitu tulis Ignatius Haryanto dalam opininya yang dimuat harian Kompas (7/11/2008). Ini fenomena menarik. Berbeda dengan selebriti yang mengandalkan ketenaran dan citra dirinya, jurnalis memiliki keahlian dan peran yang signifikan dalam komunikasi politik. Seperti apakah peran dan “kekuasaan” mereka?

Disadari atau tidak, wartawan sebenarnya telah menjadi komunikator politik. Sama halnya dengan para politisi. Dengan profesi yang digelutinya, wartawan menjadi penyampai pesan-pesan politik dari elit kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Mereka bahkan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengarahkan opini publik. Sesuatu yang tidak dapat dimainkan secara langsung oleh para politisi.

Melalui instrumen berita, editorial, atau diskusi yang disiarkan melalui media elektronik (talk show), jurnalis memiliki andil dalam memilih dan menempatkan sejumlah isu ke dalam agenda media. Dengan kekuatan media massa, hal-hal yang awalnya (hanya) menjadi agenda media, kemudian menjadi agenda publik. Inilah yang lalu membentuk apa yang disebut sebagai opini publik.

Bagitu banyak isu politik yang berkembang di masyarakat, wartawan (dengan “kekuasaannya”) hanya memilih isu-isu tertentu. Konsekuensinya, beberapa isu lain terabaikan. Setelah memilih isu tersebut, mereka mengemasnya dalam format dan sudut pandang tertentu pula.

Tidak sampai di situ saja, mereka juga memberi derajat penekanan yang berbeda-beda atas setiap isu. Misalnya ada isu yang diangkat menjadi berita utama (headline) dan dipublikasikan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi. Sementara isu lain, disajikan secara moderat atau rendah.

Ilmuwan seperti Bernard C Cohen melihat para pelaku politik cenderung mempercayai bahwa media massa (tempat para jurnalis bekerja) mempunyai kemampuan untuk mengetahui “pikiran masyarakat” Dalam kenyataannya, banyak pejabat yang memperlakukan pers dan pendapat umum sebagai sesuatu yang sama (sinonim), baik secara terang-terangan mempersamakannya, atau menggunakannya secara bergantian.

Dengan sistem politik di mana oligarki partai politik begitu kuat seperti di Indonesia, ada kekhawatiran para jurnalis, seperti halnya selebriti, hanya akan menjadi pion-pion kekuasaan. Mereka akan masuk dan menjadi bagian dari sebuah kelompok elit eksklusif yang melihat segalanya dari kacamata kepentingan partai yang parsial. Ironi, namun ini sulit untuk dihindari.***

[versi detail]

Jumat, Oktober 17, 2008

Cerita Cinta dari Shanghai

TIAP orang memiliki cara tersendiri untuk mencintai orang yang dikasihinya. Tetapi tidak jarang, orang yang dicintai tidak tahu kalau ia sangat dicintai. Cinta kemudian menjelma menjadi semacam bahasa ‘asing’. Terindera namun tidak mudah untuk dimaknai. Bahkan diabaikan. Dari ide seperti itu, cerita dalam The Painted Veil ini dibangun.

Rangkaian gambar film bertutur dalam perspektif Kitty Fane (yang diperankan Naomi Watts). Wanita yang menjadi tokoh utama ini terlibat hubungan asmara dengan pria bernama Charlie Townsend. Film menjadi menarik karena Kitty sebelumnya telah menikah dengan seorang ahli bakteri Walter Fane (Edward Norton). Celakanya lagi, hubungan antara Kitty dan Townsend diketahui oleh Walter.

Apa yang akan dilakukan oleh Walter ketika mengetahui istrinya berhubungan intim dengan pria lain? Bagaimana reaksi Kitty yang terjebak dalam rasa bersalah (kepada suami) dan cinta yang membara (kepada Townsend yang ternyata juga telah memiliki istri)? Cerita dalam film ini berjalan dengan kedua ‘mesin’ (pertanyaan) tadi.

[detail]

Jumat, Oktober 10, 2008

Negara Paling Bahagia

ANDA percaya kalau orang Indonesia lebih bahagia daripada orang Jepang? Setidaknya begitu hasil penelitian yang dilakukan World Values Survey. Indonesia berada di peringkat 40 dalam daftar negara paling bahagia di dunia. Sedangkan Jepang di urutan 43. Tetapi untuk ukuran beberapa negara di Asia Tenggara, Indonesia kurang bahagia. Karena Thailand berada di peringkat 27, menyusul Singapura (31), Malaysia (34), Vietnam (36), Philipina (38). Lalu negara mana yang berada di peringkat pertama?

Awal bulan Oktober, majalah BusinessWeek menurunkan hasil riset tersebut. Penelitian ini dipimpin oleh Ronald Inglehart, ilmuwan politik dari Universitas Michigan. Keseluruhan riset dipandu dari Stockholm (Swedia). Hasilnya menunjukkan bahwa Denmark adalah negara yang (penduduknya) paling berbahagia di dunia. Kemudian Puerto Rico (2), Kolombia (3), Islandia (4), Irlandia Utara (5), Irlandia (6), Swiss (7), Belanda (8), Kanada (9), dan Austria (10).

Amerika Serikat di posisi 16. Ini mengejutkan karena di atasnya masih ada El Salvador, Malta, juga Luxemburg. Saudi Arabia (26) masuk kategori negara yang bahagia di Asia. Di bawahnya ada sejumlah negara besar seperti China (54), Iran (64), dan India (69). Dibandingkan dengan mereka yang tinggal di tiga negara besar ini, tampaknya orang Indonesia masih lebih bahagia. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan “bahagia” dalam riset ini?

[detail]

Minggu, September 28, 2008

Memiliki

...
seberapa penting kita memiliki
seberapa jauh arti memiliki
seberapa dalam perlunya rasa memiliki
...
mampukah kekuatan benak mengatasi semua
...
meredam hasrat memiliki
ataupun
meredam rasa takut akan kehilangan
...

INI penggalan posting seorang teman. Sederhana tetapi mengusik. Saya seolah diajak untuk merenung: untuk apa seseorang memiliki? Memiliki apa saja. Bagaimana kita dapat memiliki tanpa takut kehilangan? Apa pentingnya rasa kehilangan? Kehilangan apa saja.

Saya jadi ingat kisah tokoh sufi terkemuka: Ibrahim bin Ad'ham. Di suatu fase spiritualnya, beliau meninggalkan segala urusan dunia. Siang malam diabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan. Sampai pada suatu saat, Ibrahim berjumpa dengan seseorang dan menanyakan perihal kehidupannya tersebut.

Ternyata ia mulai laku hidup seperti itu setelah melihat seekor burung yang terbujur tak berdaya di atas tanah. Sayapnya patah. Ibrahim membatin: “Burung ini tidak akan dapat hidup dan sebentar lagi pasti akan mati.” Namun tanpa ia duga, ada seeokor burung lain terbang di atasnya. Melemparkan tangkai gandum tepat di depan burung yang terbujur tadi. Tuhan ternyata menjamin rezki untuk burung yang lemah dan tak berdaya sekalipun. Apalagi rezki manusia. “Sejak saat itu,” kata Ibrahim, “aku memasrahkan hidup dan segala urusan duniaku kepada Tuhan.”

Mendengar jawaban Ibrahim, orang tadi bertanya lagi. “Mengapa kau melihat burung yang tak berdaya di atas tanah? Mengapa kau tidak menjadi burung yang terbang? Ia memberi dan berbagi kepada saudaranya yang membutuhkan.” Ibrahim tertegun. Beliau bagai ditampar. Sejak saat itu, selain beribadah, siang hari ia isi juga dengan bekerja dan berbagi kepada sesama.

Kisah Ibrahim ini mengajarkan kepada saya bahwa kita harus memiliki ilmu. Dengan ilmu kita dapat menolong. Menolong diri kita. Menolong orang lain. Menolong sekitar kita. Kita harus memiliki harta. Dengan harta kita memenuhi kebutuhan kita. Tidak jadi beban orang lain. Dengan harta kita dapat berbagi. Kepada siapa saja.

Kita juga harus memiliki pasangan (menikah). Dengan menikah kita dapat bersinergi. Dapat memiliki keturunan yang akan melanjutkan kehidupan. Meneruskan misi memakmurkan bumi dan menolong sesama. Kita harus memiliki teman. Dengan teman kita dapat melakukan hal yang paling mustahil sekalipun.

Bagaimana dengan rasa takut akan kehilangan? Pada kadar tertentu, takut kehilangan tidak selamanya berarti buruk. Dengan perasaan itu, kita akan menjaga apa yang kita miliki. Ilmu, harta, keluarga, teman, dan apa saja yang telah kita raih. Itu bentuk tanggung jawab dan syukur kepada Tuhan yang memberikan (atau tepatnya: “menitipkan”) itu semua kepada kita.

Ketakutan yang berlebihan hanya menjadikan kita seperti penjaga gudang buku. Tidak menginginkan ada ilmu yang dapat diakses oleh orang lain. Menjadikan kita serakah dan terus menerus mengumpulkan harta dengan jalan apa saja tanpa pernah mau membaginya. Ketakutan yang berlebihan juga menjadikan kita begitu posesif dan dominan. Bahkan kepada orang-orang yang sebenarnya kita cintai.

Yang tidak pernah memiliki tidak akan pernah kehilangan. Kalau tidak mau kehilangan, jangan memiliki. Tetapi kita tidak akan dapat berbagi kalau tidak memiliki. Mungkin tujuan mulia dari memiliki adalah untuk berbagi. Untuk memberi kemanfaatan bagi mereka yang tidak memiliki. Dengan niat mulia itu, kita harus memiliki tanpa perlu takut akan kehilangan. Karena toh awalnya kita tidak memiliki apa-apa.***

Inspired by Jolanda.

Sabtu, September 20, 2008

Bintang

TAHAPAN Bintang Satu sampai Bintang Delapan adalah tahapan yang harus kita lalui. Setelah itu menunggu bonus-bonus menggiurkan. Mulai dari perjalanan gratis ke luar negeri, mobil BMW, kapal pribadi (yacht), pesawat pribadi, hingga villa mewah. Begitu katanya dengan penuh semangat menjelaskan. Ini bisnis dahsyat! Saya yang mendengarkan hanya manggut-manggut mafhum. Bukan (atau mungkin belum) tergiur. Saya terpesona dengan perubahan yang terjadi padanya.

Izinkan saya memperkenalkan siapa dia. Adik saya yang satu ini punya kepribadian unik. Setidaknya untuk ukuran kami bersaudara. Hanya dia yang memiliki kelebihan sense of art. Jago gitar, grafis komputer, desain interior. Gaya berpakaiannya menarik. Bahan yang murah sekalipun dapat terlihat menawan bila dia kenakan. Mungkin karena itu, pacarnya cantik-cantik. (Hehehe... untuk urusan yang terakhir ini, jujur saja, bikin saya iri.)

Mungkin karena estetik, sifat sensitifnya begitu menonjol. Rentan pada stress. Tekanan hidup sedikit saja, ditanggapi. Dia berpindah kerja dari satu kantor ke kantor lain, hanya karena merasa tidak 100 persen nyaman. Emang ada kantor yang dapat memberi kenyamanan 100 persen? Kecuali kalau kita yang jadi bos di kantor itu. Hehehe...

Ini memberi semacam efek domino. Ia juga menjadi begitu sensitif pada kegagalan. Untuk memulai sesuatu, selalu terbayang kegagalan dalam benaknya. Aura negatif begitu dominan. Dia jadi lebih senang bermain “aman” dengan memilih yang enak-enak saja. Tidak mau mengambil risiko. Sementara hidup mengajarkan: No Pain No Gain. Tidak mau berani berjuang, yaa... tidak dapat apa-apa! Tetapi itu semua sirna begitu ia mengenal bisnis yang satu ini.

Ia bahkan jadi rajin membaca buku. Saya tidak menyangka bukunya Robert T. Kiyosaki (The Cashflow Quadrant) berhasil dia lahap. Masih ada buku kepribadian yang katanya saat ini ingin diselesaikan. Padahal sebelumnya dia paling malas baca buku. Alasannya: susah mengerti, apalagi buku-buku teks. Tetapi kalau sudah mengerti, kadang jadi lupa. Lama mengerti, cepat lupa. Hmm... kronis bukan?!

Sekarang dia juga jadi lebih antusias. Tidak patah semangat. Lebih positif dalam melihat setiap peluang. Kesuksesan itu katanya seperti mencari angka enam dari lemparan dadu. Dalam satu kesempatan melempar, mungkin angka enam belum keluar. Tetapi mustahil dia tidak akan muncul pada kesempatan lemparan berikutnya. (Waw..ini keajaiban! Sebelumnya dia tidak pernah menyimpan kata bijak sepenggal pun. Karena terpesona dengan pencerahan yang dialaminya, saya sampai lupa mengingatkan agar memeriksa setiap dadu. Pastikan, sebelum melempar, ada angka enam di salah satu sisinya. Hehehe...)

Oh iya, (lagi-lagi karena terkesima) saya jadi lupa menyebutkan “bisnis” yang menjadi pemicunya. Dia tergabung dalam jaringan Tianshi. Setiap anggotanya dipacu untuk mencari sebanyak mungkin downline dan memasarkan sebanyak mungkin produk-produk Tianshi. Semacam kerja marketing. Dari usaha ini, dia akan memperoleh pangkat mulai dari Bintang Satu sampai Bintang Delapan dengan segala bonusnya. Di jenjang yang lebih tinggi, ada penghargaan (reward). Mulai dari perjalanan gratis ke luar negeri, mobil BMW, kapal pribadi (yacht), pesawat pribadi, hingga villa mewah.

Saya berhadap dia akan memperoleh impiannya. Meski sejatinya, dia sudah mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari itu semua. Antusiasme, pantang menyerah, berpikir positif, dan terus menerus memperkaya wawasan dengan ilmu, adalah “bintang” yang sesungguhnya. Harta hidup yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman.***

Inspired by Alwan. Go Freedom!

Sabtu, Agustus 30, 2008

Agar Rakom Seawet Komunitas

Jogja, 21 – 22 Agustus 2008. Kami berkumpul untuk sebuah diskusi di Hotel Jayakarta. Diskusi terbatas untuk mengevaluasi Radio Komunitas (rakom) itu, difasilitasi Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) bersama TIFA Foundation. Diskusi dihadiri oleh para pelaku rakom dan jaringannya dari beberapa daerah di Jawa, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Juga beberapa orang yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Balai Monitoring Frekuensi (Monfrek), serta akademisi.

Hari pertama dan separuh hari kedua, aspek internal rakom yang diperbincangkan. Mulai dari peran komunitas, proses pendirian, badan hukum dan struktur kelembagaan, pengelolaan dan pembiayaan, produksi acara dan hal-hal teknis. Sisanya hal-hal di luar rakom seperti regulasi dan lembaga di luar rakom. Seperti KPID, Balai Monfrek, LSM, serta lembaga donor. Sepanjang diskusi, saya tergiring untuk memikirkan cara agar rakom dapat survive dan mandiri.

Ada tiga kunci yang saya ajukan. Pertama, dibutuhkan sebuah komunitas riil sebelum mendirikan sebuah rakom. Kedua, koperasi adalah badan hukum yang tepat untuk mengatasi masalah keberlanjutan pendanaan operasional rakom. Ketiga, dibutuhkan kapasitas sumberdaya manusia dan pengelolaannya yang “lebih” agar dapat mengawal rakom dalam mencapai tujuan-tujuan komunitasnya.

[detail]

Jumat, Agustus 08, 2008

Risiko Memilih Suami

SAAT santai, istri saya bercerita tentang seorang temannya. Kebetulan dia dosen. Hingga di usia 35 tahun saat ini, dia belum menikah. Bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik. Menurut kami lebih pada sikapnya yang perfeksionis. Kepingin mendapat suami yang betul-betul pas dengan frame yang telah dibuatnya. Terakhir, dia bercerita tidak ingin menikah dengan dosen. Alasannya, suami dosen akan berpeluang banyak berselingkuh dengan mahasiswinya. Apalagi setiap tahun, mereka datang silih berganti dengan usia yang lebih kurang sama tetapi dengan penampilan makin memikat!

Repot kan?! (Lho, koq saya yang repot ya? Dianya saja tidak repot!) Sadar atau tidak cara pandang seperti itu akan menyulitkan dia untuk mendapat suami yang layak. Kecuali kalau dia ingin menikah dengan lelaki pengangguran yang siap parkir di rumah sepanjang hari. Andai dia bertemu dengan seorang dokter. Lelaki dokter, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan pasiennya. Lelaki pengacara, dikhawatirkan akan berselingkuh dengan kliennya. Maaf, pemimpin agama sekalipun, dapat main mata dengan jemaahnya yang kece. Dari bankir hingga nahkoda, dari tukang sapu hingga kelasi kapal, juga punya potensi serupa. Tidak ada yang bisa luput dari peluang untuk berselingkuh dengan orang di sekitarnya.

Ketika memutuskan untuk menikah, ini menjadi satu dari banyak risiko yang harus siap untuk dihadapi. Ketakutan itu wajar dan manusiawi. Namun ketakutan yang berlebihan justru akan menjadi penghalang. Amannya sih, jangan menikah! He..he..he.. Karena ketika mencitai, seseorang akan berhadapan dengan risiko tidak dicintai (lagi). Kalau takut dengan risiko itu, yaaa… jangan pernah mencintai. Pernikahan ingin melembagakan kesetiaan. Namun ketika kesetiaan ini dilembagakan, risikonya adalah pengkhianatan. Itulah sebagian dari risiko yang harus dihadapi. Berbesarhatilah menghadapinya. Dengan segenap kekuatan. Sebab bagaimanapun juga, kesetiaan jauh lebih mulia untuk diperjuangkan.

Saya jadi ingat sebuah kutipan dari cerpen berjudul “Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding”. Cerpen ini ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Begini kutipannya: "...sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak...patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna." Ada komentar?! ***

Senin, Agustus 04, 2008

Dosen vs Mahasiswa

MATANYA lurus menghadap wajah saya. Sesekali dia menarik napas panjang mengambil jeda di sela-sela ceritanya. Menurut saya, dia termasuk anak yang pandai. Cuma mungkin kurang cerdas. Khususnya dalam menangani perseteruan idenya dengan seorang dosen penguji. Dia dongkol karena si dosen begitu menekan. Mengarahkan dia ke rute berpikir yang tidak sesuai dengan alur penelitian dalam skripsinya. Tampaknya si dosen tidak membaca dengan tuntas isi skripsi. Cuma melihat sepenggal, lalu menginterpretasi ke arah yang ia inginkan.

Lalu apa yang dapat saya bantu? Mendengarkan keluh kesahnya mungkin salah satu bantuan yang dia harapkan dari saya. Tetapi jujur saja, sejak kuliah hingga menjadi dosen seperti sekarang, saya kerap menemukan dosen yang mengambil posisi vis a vis (baca: berhadap-hadapan) dengan mahasiswanya. Dengan setting demikian, si dosen dapat merasa lebih hebat. Lebih cerdas. Lebih tahu segala daripada mahasiswanya. Padahal tanpa perlu vis a vis, status dosen sebenarnya secara formal (baca: de jure) telah menggambarkan “kelebihan” itu.

Ada mahasiswa yang merasa “terintimidasi” dengan posisi seperti ini. Mau melawan namun tidak berdaya. Ada juga yang berani melawan, tapi nasibnya akan seperti mahasiswa yang di hadapan saya ini: Bersiap untuk “digantung”! Nah, yang cerdas adalah mahasiswa yang mampu mengenali karakter setiap dosen, lalu melakukan pendekatan yang pas dengan dosen itu. Namun ini tidak selamanya saya rekomendasikan. Khususnya bagi dosen yang punya karakter dan keinginan yang “aneh-aneh”. Dosen kan manusia juga!***

Jumat, Agustus 01, 2008

Indonesia 1955

BAGAIMANA wajah republik ini setelah sepuluh tahun merdeka? Siapa saja perusahaan asing yang menguasai ladang minyak Indonesia? Bagaimana jurnalis asing menggambarkan profil orang yang hidup di era ‘55? Artikel yang disajikan National Geographic edisi Agustus 2008, kembali membawa kita pada suasana itu.

Catatan ini tidak bermaksud mengulangi apa yang ada dalam artikel tersebut. Hanya ingin menggarisbawahi beberapa kesan yang —setidaknya menurut saya— menarik. Mulai dari foto hingga item-item informasi yang dimuat dalam artikel yang telah dipublikasikan pertama kali pada September 1955. Hemat saya, foto dan materi yang termuat dalam tulisan tersebut diambil setidaknya pada bulan Agustus. Tepat sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka.

Foto Soekarno yang menjadi cover. Saya belum pernah melihat gambar ini sebelumnya. Soekarno terlihat muda dan begitu flamboyan. Dengan gaya khasnya yang tidak —pernah mau— menatap ke arah kamera saat dipotret. Foto Hatta di halaman berikutnya. Dengan jas yang (maaf) kedodoran, tetap tersenyum menyalami beberapa orang penjemputnya saat tiba di Yogyakarta. Kala itu, ibukota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogya.

Ada potret suasana Stasiun Kota (Jakarta), Pasar Apung (Pontianak), atau keindahan puncak Gunung Kelimutu di Nusa Tenggara dengan danau tiga warnanya. Juga ada gambar anak-anak di Kalimantan yang sedang belajar di kelas dengan menggunakan batu tulis. Maklum, buku tulis termasuk barang langka dan mahal. Tidak ketinggalan pose ibu-ibu yang bekerja di pabrik kimia Bandung. Mereka terlihat sedang mengemas pil kina. Obat yang penting untuk melawan wabah malaria yang antara lain pernah membuat hampir separuh penduduk di timur Jawa, menggigil.

Berikut ini beberapa data yang menarik dalam artikel sepanjang 9 halaman di majalah tersebut: [detail]

Selasa, Juli 01, 2008

Penyerangan FISIP


KACA Gedung Aula FISIP Universitas Haluoleo Kendari pecah akibat penyerangan yang dilakukan kelompok orang tidak dikenal pada Senin siang (30/06/2008). Selain gedung fakultas, beberapa kaca di ruang perkuliahan yang berada di tepi jalan juga jadi sasaran lemparan batu. Penyerangan ini merupakan buntut dari kekerasan antarkelompok di luar kampus beberapa hari sebelumnya yang bernuansa etnis. [FOTO: ASWAN]

Minggu, Juni 22, 2008

The News Maker: Obama!

MENGAPA Barack Obama menjadi buah bibir? Setelah berhasil lolos melawati pintu Partai Demokrat bersaingan dengan Hillary Clinton, ia dijagokan untuk menjadi presiden baru Amerika Serikat (AS) mengalahkan John McCain. Jika terpilih pada pemilu November 2008, mungkinkah Senator Negara Bagian Illinois ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk perdamaian dunia?

News Maker

Wacana politik AS dan dunia dibentuk oleh media massa (cetak dan elektronik, termasuk internet). Ilmuwan Komunikasi seperti Dan Nimmo menyebut media sebagai Komunikator Politik. Dalam bahasa sederhana, bila dipersonifikasikan, mereka seperti penutur (storyteller). Media hanya tertarik pada obyek yang memiliki sisi “yang berbeda” (karena hanya yang distingtif dapat memancing perhatian publik).

Pada titik ini Obama diuntungkan. Dari perspektif ilmu komunikasi, dia lebih banyak memiliki cerita “memukau”. Obama memiliki hampir semua kriteria nilai berita (news value) seperti: kebaruan, ketokohan, dan kontradiksi. Itulah yang menyebabkan ia terus menerus menjadi sorotan media (news maker).

Sadar atau tidak, Obama menjadi sosok pahlawan bagi warga kulit berwarna di AS. Ia juga dapat dilihat sebagai simbol kesetaraan. Ayahnya berasal dari Kenya. Tampilnya Obama, seolah memecah mitos bahwa hanya mereka yang berkulit putih saja yang dapat menjadi presiden. Cerita Obama juga memiliki nilai “kontradiksi”. Ini menarik bagi media. Usianya yang 46 tahun (bandingkan dengan McCain 72 tahun) mencitrakannya sebagai sosok yang “menjanjikan”.

Lobi Yahudi

Setelah dinyatakan menang sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama menyatakan dukungan kuat untuk Israel dalam pidato kebijakan luar negerinya. Di hadapan kelompok lobi Yahudi di Amerika, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Obama mengatakan keamanan Israel adalah hal yang “sakral” dan “tidak bisa dibantah” (BBC: 4 Juni 2008).

Sudah menjadi rahasia umum di AS, seorang kandidat presiden harus mendukung Israel. Jika tidak, bersiaplah untuk gugur di tengah jalan. Juga bukan rahasia lagi, hampir tidak ada politikus Partai Demokrat yang sukses tanpa dukungan kelompok Lobi Yahudi terkuat di AS itu. Termasuk dalam urusan dana kampanye.

Jika Obama terpilih, boleh jadi yang ada hanyalah kemenangan simbolik. Termasuk bagi Indonesia, tempat di mana Obama pernah mampir bersekolah di masa kecil. AS tetap akan menjadi menjadi bodyguard Israel dan berperilaku sebagai negara unilateral yang hanya mau menang sendiri. AS bukanlah teman apalagi sahabat. Seperti kata Soekarno, “Lebih baik ke neraka sendiri daripada ke surga berteman Amerika.” Obama atau siapa, sama saja! ***

[versi lengkap]

Sabtu, Juni 14, 2008

Metafisika Wudhu

TIDAK sedikit orang yang beranggapan wudhu hanyalah ritual bersih-bersih sebelum shalat. Saya pun awalnya berpikir seperti itu. Namun setalah membaca buku karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, barulah saya sadari bahwa wudhu memiliki dimensi metafisika. Bukan sekedar membersihkan bagian tubuh (yang kotor).

Karya-karya Imam Al-Ghazali banyak dan tersebar. Ada yang menyebutkan jumlah 98 karangan. Satu dari sekian karyanya yang terkenal adalah “Ihya Ulumuddin” (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Buku “Mutiara Ihya Ulumuddin” cetakan 2008 ini merupakan ringkasan dari berjilid-jilid kitab “Ihya Ulumuddin” yang ditulis kembali oleh sang Imam.

Dalam buku ini, Al-Ghazali membahas segala topik tentang Islam dan pengamalan ibadah serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Satu di antaranya tentang Rahasia Bersuci. Rasulullah SAW bersabda: “Agama didirikan dengan dasar kebersihan.” Dalam kesempatan lain beliau juga bersabda: “Kunci shalat adalah kesucian.”

Sang Imam mengelompokkan bersuci ke dalam empat tahap. Pertama, membersihkan jasmani dari hadas (kotoran). Kedua, membersihkan anggota badan dari kejahatan dan perbuatan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak tercela. Terakhir, membersihkan batin dari selain Allah SWT. Inilah tingkatan bersuci para nabi dan siddiqin (seperti para wali kekasih Allah SWT)

Pada bab Rahasia Bersuci, Al-Ghazali mengingatkan kembali akan adanya tujuan di balik wudhu yang lebih besar. Ini yang saya sebut sebagai Metafisika Wudhu. Tujuan ini yang dilafalkan dalam bentuk doa (yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW) setiap kali bagian-bagian tubuh dibasuh air.

Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H di Thus, Iran. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk belajar dan mengajarkan agama Islam di berbagai tempat. Awalnya ia berguru pada Imam Al-Haramain di Naysabur hingga ia diangkat menjadi wakil sang guru untuk membimbing murid-murid yang lain. Kemudian ia ke Bagdad, Irak. Dan tahun 39 tahun ia ke Damaskus, Syiria. Kemudian ke Bait Al-Maqdis di Palestina. Sampai akhirnya ia kembali bermukim di Thus (Iran) hingga akhir hayatnya.

Senin 14 Jumadil Al-Akhir 505 H Imam Al-Ghazali wafat di tanah kelahirannya. Ibnu Al-Jauzi dalam bukunya “Al-Muntazhim” menuliskan bahwa menjelang wafatnya, ia diminta sebagian sahabatnya untuk berwasiat. Imam Al-Ghazali menjawab, “Hendaklah engkau ikhlas.” Senantiasa ia mengulanginya hingga meninggal dunia.***

[versi lengkap]

Kamis, Juni 05, 2008

Televisi dan Kode yang Melindungi Anak

TELEVISI belum menunjukkan itikad baiknya dalam memberikan program acara yang baik untuk anak-anak. Pertama, karena mereka belum membubuhkan kode yang dapat membantu publik untuk mengetahui acara mana yang mereka tujukan untuk anak-anak. Kedua, karena acara yang tampaknya ditujukan untuk anak-anak (seperti kartun atau film animasi), ternyata tidak sepenuhnya sehat untuk tumbuh kembang anak.

Kode

Dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) No.2 tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, lembaga penyiaran televisi diwajibkan untuk mencantumkan informasi klasifikasi program isi siaran berdasarkan usia khalayak penonton. Informasi ini harus ditampilkan di setiap acara dan disiarkan sepanjang acara berlangsung. Gunanya untuk membantu publik dalam mengidentifikasi program acara yang berlangsung dan melindungi kelompok usia yang rentan seperti anak-anak dan remaja.

Kenyataannya ini tidak dipatuhi oleh stasiun televisi. Kode yang muncul, itupun sesekali, hanyalah “BO” yang berarti “Bimbingan Orangtua”. Tidak ada rincian penjelas lainnya. Padahal seharusnya ada kode “A” bila program itu ditujukan untuk anak anak (usia di bawah 12 tahun). Kode “R” untuk remaja (12-18 tahun). Kode “D” untuk dewasa. Dan “SU” untuk semua umur. Televisi seperti warung tanpa informasi menu. Kita sadar bahwa makanan itu pedas, manis, atau asin, nanti setelah selesai menyantapnya.

Kartun

Karena tidak ada informasi yang dapat membantu dalam menentukan program acara untuk anak, publik pun beranggapan bahwa acara yang tampaknya ditujukan untuk anak-anak (seperti film animasi atau kartun) adalah sehat untuk tumbuh kembang anak. Padahal tidaklah demikian. Hanya kartun seperti “Dora the Explorer” dan “Go Diego Go” (Global TV) yang sepenuhnya sehat (hijau). Selebihnya masuk daerah kuning atau merah.

Awal April 2008, BBC melaporkan bahwa televisi Venezuela tidak lagi menayangkan serial kartun “The Simpsons” pada program pagi setelah dinilai tidak pantas untuk anak-anak. Waktu penayangan film animasi “The Simpsons” digantikan dengan “Baywatch”. Sepintas penggantinya tidak jauh lebih baik.

Film “Baywatch” menampilkan bikini dan lekuk tubuh wanita pemerannya seperti Pamela Anderson. Namun ini jauh lebih mudah diidentifikasi dan diantisipasi. Orangtua pun dapat melarang anak-anak mereka menontonnya. Bandingkan dengan film animasi yang kelihatannya aman-aman saja namun ternyata banyak menyimpan masalah. Betapa orangtua akan kecolongan. Karena untuk selalu menemani saat anak menonton televisi, rasanya juga mustahil. Bukan begitu?!***

[versi lengkap]

Minggu, Mei 25, 2008

Tohpati dan Indonesia

SAAT media massa mengangkat tema Seabad Kebangkitan Nasional, ada baiknya mendengarkan album Tohpati: It’s Time (2008). Di sini tidak ada cemoohan, hujatan, apalagi tudingan. Tidak ada analisis yang mencari biang tak kunjung bangkitnya kita setelah seratus tahun waktu berlalu. Yang ada hanyalah kepedulian dalam “bahasa yang lain”. Indah dan santun.

Apalah arti nasionalisme kalau kita tak pernah merasa menjadi bagian dari saudara kita yang berbudaya lain? Tohpati menghadirkan Indonesia. Ada bunyi melankolis dalam komposisi Song for Aceh. Ia mengingatkan kita (kembali) pada gamelan, suling , dan suara latar tari Kecak melalui Dewata. Aroma Bali yang dinamis. Aransemen Cenderawasih seolah mengumandangkan suara peri dari surga hutan tropis Papua. Permata hijau yang sebentar lagi tinggal cerita.

Lebih dari satu dekade silam, ada kelompok Karimata dengan album bertajuk Jezz (1991). Semangat back to ethnic yang menggema dalam setiap komposisi mereka. Karimata menyuguhkan Jawa Barat dalam komposisi Paddy Field. Ada giring-giring khas Kalimantan dalam Apokayan. Koor penari Kecak Bali dalam Seng Ken Ken. Sedangkan aransemen Take off to Padang menghadirkan bunyi kendang dan talempong (gitar tradisional Sumatera Barat).

Suara-suara itu bagai mantra leluhur yang datang dari jauh menuju kekinian. Sama seperti lagu daerah yang dulu masih dapat kita dengarkan di ruang publik. Membangunkan dan menunjukkan jati diri kita yang sesungguhnya. Meski tidak dapat merepresentasikan Indonesia, setidaknya itu semua telah mewakili semangat rupa budaya nusantara. Menjadi pengingat kepada siapa yang lupa. Menyampaikan pesan kepada generasi yang baru.

Kita butuh “bahasa lain” untuk terus mengingatkan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang satu. Musik yang membawa kesadaran identitas kita sebagai bangsa adalah satu dari sekian “bahasa lain” itu. Karena setelah (sepuluh tahun) rezim berganti, kita begitu cepat bergerak menjadi bangsa yang low context. Mengabaikan sopan santun. Dengan terbuka, leluasa menyalahkan atau menghujat orang lain.

Angin kebebasan berpendapat lahir dari rahim budaya Barat yang sekuler. Saat ingin meniru, kita gagap dan kelimpungan. Apalagi berharap akan memetik hasil dalam waktu satu dekade. Karena darah Timur yang menaruh hormat kepada sopan santun (high context) masih kental dalam diri kita. Secara kimiawi, emosional kita sebagai bangsa mudah tersulut oleh kelancangan orang lain.

Hentikan debat dan hujat yang tak bermartabat. Itu hanya membuat kita menjadi bangsa yang tidak kompak. Terus saling menyalahkan dan lalai untuk memperbaiki. Sekarang waktunya untuk berbenah. Mungkin itu yang dimaksud Tohpati dalam komposisi It’s Time.

Dari belakang, bunyi perkusi Adji Rao mengikuti ritme gitar Tohpati yang lincah dan memimpin aransemen ini. Seolah dia berkata, “Untuk melakukan perubahan tidak boleh sendiri.” Harus ada pemimpin yang memberi inspirasi sekaligus anutan. Juga harus ada pengikut yang seirama mendukung dari belakang.

Selain It’s Time, ada kesan yang tak terbahasakan dalam komposisi My Dream dan Untuk Diingat. Andai boleh, saya ingin mengubah judul komposisi Untuk Diingat menjadi Untuk Dikenang. Mungkin karena kata “dikenang” lebih puitis. Tapi sudahlah, apalah arti sebuah nama? Bukankah setiap aransemen memiliki daya magis tersendiri? Dan terlepas dari itu semua, Indonesia (harus) bangga memiliki gitaris sekelas Tohpati. Luar biasa!***

Minggu, Mei 04, 2008

Beragama dan Kebebasan (Tak) Berbatas

JAMAAH Ahmadiyah menjadi sorotan. Ada pro kontra. Mereka yang mendukung menilai, setiap orang berhak untuk beragama. Dan hak ini dijamin oleh Konstitusi (UUD ’45). Karena dilindungi, maka setiap orang, bahkan Negara sekalipun, harus menghormatinya. Khususnya dalam Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat, Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28E ayat (1). Kemudian hak ini diulang kembali dalam pasal 29.

PERSPEKTIF

Mereka yang menolak Ahmadiyah juga merujukkan diri pada konstitusi. Pasal 28J ayat (2) menyebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada sejumlah pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Termasuk di dalamnya mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan nilai-nilai agama.

Bagi mereka persoalannya bukan pada melarang Ahmadiyah untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya. Lebih pada “perubahan” (sebagian orang menyebutnya “penistaan”) yang dilakukannya atas ajaran Islam. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dengan konteks tersebut, konstitusi tidak tepat digunakan sebagai dasar melihat masalah tersebut.

Akhir April 2008 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ahmad Moshadeq dengan empat tahun penjara. Nasib sama dialami Dedi Priadi dan Gerry Lufhti Yudistira. Kedua aktivis “al-Qiadah al-Ismaiyah” Sumatera Barat ini dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Padang. Mereka didakwa melanggar pasal penistaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa waktu sebelumnya, pimpinan aliran “Salamullah” Lia Aminuddin, juga didakwa dengan tuduhan yang sama.

Kalau konstitusi dapat dipakai sebagai payung hukum, mengapa kedua pemimpin aliran dan anggotanya ini diadili? Kalau “al-Qiadah al-Ismaiyah” dan “Salamullah” tidak dapat dilindungi konstitusi, bagaimana dengan Ahmadiyah? Tampak terdapat perbedaan perspektif. Ada yang melihat Ahmadiyah “tidak bersalah” karena mereka berhak untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya. Ada pula yang melihat Ahmadiyah “bersalah” karena telah melakukan penistaan agama (Islam). Wallahu a’lam.

KEBEBASAN

Dengan dalih “kebebasan” beragama, penafsiran konstitusi seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan setiap orang boleh “membuat” (aliran) agama baru. Tidak peduli sejauh apa pun agama baru itu berbeda dengan agama induknya. Agama seolah menjadi ladang tanpa batas yang dapat dikembangkan dan diklaim ke arah yang paling muskil sekalipun. Tidak ada pagar. Tanpa rambu.

Dalam Islam, memang ada beberapa wilayah yang dapat menimbulkan banyak interpretasi hukum (fiqih). Seorang dapat memilih interpretasi hukum mana yang sesuai dengan keyakinannya. Kodifikasi interpretasi tersebut disebut mahzab. Namun semuanya itu terjadi dalam “pagar” keyakinan (aqidah) Islam yang terjaga. Yang patronnya (blue print) tetap sama dengan apa yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sabahat yang diridhai Allah.

Bila menilik ke belakang, MUI melarang Ahmadiyah sejak tahun 1980. Ajarannya dinilai bertentangan dengan Islam. Sementara enam tahun sebelumnya (1974), pertemuan ulama dari 124 negara di Mekkah telah lebih dulu menyuarakan hal tersebut. Pertemuan yang disponsori oleh Rabithah al-Alam al-Islami (semacam liga dunia Islam) itu menyatakan pemimpin Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya telah keluar dari Islam (murtad).

Namun dalam pembelaannya, Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai sosok Imam Mahdi. Bukan sebagai nabi yang selama ini “dituduhkan” kepada mereka. Keberadaannya tidak mengurangi kemuliaan Muhammad SAW. Nabi anutan satu-satunya Ahmadiyah tetap Muhammad. Mirza Ghulam Ahmad tak membawa syariat baru, hanya mengajak umat kembali ke syariat Rasulullah (Gatra: 6 Desember 2003). Wallahu a’lam.

YURISPRUDENSI

Sekitar abad ke-15, Raden Fatah berkuasa di Kerajaan Demak Bintara sekitar pantai utara Jawa Tengah. Ketika itu, Wali Songo memegang otoritas dalam memberikan pendapat hukum (Islam). Mereka dikisahkan memvonis mati Syekh Siti Jenar karena ia berpendapat Tuhan telah bersemayam dalam dirinya. Saat hamba (kawula) dan Tuhan (gusti) telah menyatu, seseorang tidak perlu lagi shalat.

Ada yang menyebutkan Syekh Siti Jenar sebenarnya telah mencapai puncak perjalanan spiritualnya hingga ia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan dalam dirinya. Kesalahannya hanya terletak pada penyebarluasan ajarannya karena dapat menyesatkan orang awam. Ada pula yang menganalisis, eksekusi atas Siti Jenar berlatar politik. Alasannya, Ki Ageng Pengging, seorang murid Siti Jenar. Ia dan pengikutnya tidak mau tunduk pada kekuasaan Raden Fatah. Pengging adalah keturunan terakhir raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Wallahu a’lam.

Dalam sejarah Islam, ada nama Musailamah ibn Habib dari Bani Hanifah. Setelah Rasulullah wafat, ia mengaku sebagai nabi. Musailamah menyebarluaskan syair-syair (menirukan Al Qur’an) yang diklaimnya sebagai wahyu dari Tuhan. Pengikutnya banyak dan membangun berbasis kekuatan di Yamamah. Karena kesalahan aqidah ini hingga Khalifah Abu Bakar (ra.) memerangi mereka. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah Islam sebagai Perang Yamamah.

Tiga divisi pasukan yang diturunkan. Pertama, yang dipimpin Ikrimah ibn Abu Jahal. Kedua, yang dipimpin Syurahbil ibn Hasanah. Baik Ikrimah maupun Syurahbil, gagal menaklukkan Musailamah. Pasukan ketiga di bawah pimpinan Khalid ibn Walid yang pada akhirnya dapat memenangkan Perang Yamamah. Musailamah terbunuh. Sebagian besar pengikutnya juga ikut tewas.

Kita mungkin tidak menduga, untuk mendukung pasukan Khalid, Abu Bakar (ra.) akhirnya menyertakan kelompok masyarakat yang sangat ia sayangi: para penghafal Al Qur’an dan pasukan Perang Badar. Bila seorang nabi palsu dan ajarannya tidaklah dianggap berbahaya, mengapa Khalifah Abu Bakar (ra.) menurunkan pasukan khusus dan menyatakan perang dengan mereka? Wallahu a’lam.***

Minggu, April 20, 2008

Kekuasaan, Manusia, dan Anjing

SIAPA saja bisa terkena Post Power Syndrome (PPS). Termasuk saya dan Anda. Jamaknya orang berpikir, PPS disebabkan oleh hilangnya jabatan seseorang. Hilangnya “sesuatu” itulah yang menyebabkan seseorang stress. Merasa diri tidak berharga (lagi). Kehilangan semangat hidup. (Mudah) marah. Dan seterusnya… Apakah “sesuatu” itu hanyalah jabatan semata? Lalu sindrom yang ditimbulkan juga semata-mata karena hilangnya “sesuatu” tadi?

Istilah “kekuasaan” (power) sangat tepat digunakan untuk menggambarkan “sesuatu” tadi. Jadi tidak hanya jabatan. Mungkin karena dalam pakaian jabatan, melekat sebentuk kekuasaan. Pada akhirnya orang menganggap jabatanlah sebagai penyebab. Padahal hilangnya kekuasaan yang sesungguhnya menjadi kunci pemicu. Orang tua bisa mengalami PPS ketika anaknya telah beranjak dewasa. Ketika merasa tidak berkuasa lagi mengarahkan si anak. Si anak juga tentu dapat mengalami PPS ketika suatu saat ia merasa tidak berkuasa lagi meminta ini dan itu kepada orang tuanya.

Saya pernah menemukan suami yang setiap hari harus mengecup sang isteri. Kata si istri: memberi kecupan adalah salah satu kewajiban suami. Tentu itu lebih baik. Daripada, misalnya, si istri mencantumkan: “memberikan tambahan uang belanja” dalam daftar kewajiban suami. Tetapi ini menjadi masalah, ketika di saat sibuk, si suami suatu hari lupa memberi kecupan. Istrinya pun marah. Kecewa. Sedih. Katanya karena merasa tidak disayang lagi. Padahal sesungguhnya karena kekuasaannya telah memudar atas orang yang ia cintai.

Supaya terkesan adil dan tidak bias gender, saya juga punya bukti suami yang mengalami PPS. Tidak jarang berakhir dengan kekerasan. Kasusnya sering muncul di media massa. Si suami biasanya dapat menciptakan sejuta alasan di depan polisi. Namun kalau diurai ke dasar yang paling dalam, akan berujung pada muara yang sama: kekuasaan! Hmm… sepertinya, apa saja yang bersentuhan dengan kekuasaan, dapat mengalami PPS. By the way, apakah ada manusia yang dapat terbebas dari naluri untuk berkuasa?

Tidak berhenti di situ saja. Bagaimana cara kekuasaan itu dihilangkan, dikurangi, bisa menjadi pemicu PPS. Si Bos di kantor kenalan saya, marah-marah karena merasa bendahara tidak dapat diajak “kerjasama”. Sepintas itulah masalahnya. Padahal pemicunya terletak pada pengangkatan bendahara yang langsung ditunjuk oleh Big Bos. Si Bos (Kecil) merasa kewenangannya dipreteli. Merasa kekuasaannya dikebiri. Ia merasa tidak berdaya. Dan supaya kelihatan tetap berdaya, makanya dia marah-marah!

Mungkin kita juga pernah (atau akan) mengalami kehilangan kekuasaan. Sialnya, ini disebabkan oleh laporan buruk yang diciptakan oleh teman atau orang pernah dekat dengan kita. Entah karena kelihaiannya meyakinkan “si penentu nasib kita”. Atau karena akses khusus yang ia miliki. Boleh jadi awalnya kita tidak mempersoalkan kekuasaan yang hilang. Namun kemudian itu terasa begitu menyakitkan saat kita tahu ia disebabkan oleh kawan yang selama ini jalan bersama kita. Tampaknya ada saat di mana melangkah dengan seekor anjing jauh lebih baik daripada dengan manusia. Mungkin karena anjing tidak menggigit kawan seperjalanannya.***

Inspired by “A”.

Sabtu, Januari 19, 2008

Tertutup

Gerbang Rujab Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra). Menurut jadwal, tanggal 18 Januari 2008 gubernur terpilih akan dilantik. Namun karena hasil pilkada diperkarakan ke Mahkama Agung oleh Ali Mazi (gubernur periode sebelumnya yang juga ikut pilkada), Mendagri menunjuk Sekda Provinsi Sultra sebagai Pelaksana Tugas Gubernur. Tampaknya, gerbang ini masih tertutup (sementara) bagi Nuralam yang dinyatakan menang oleh KPUD Sultra.***

Minggu, Januari 13, 2008

Gelang Oranye & Pak Harto

JIKA sedikit jeli, Anda pasti pernah melihat di televisi, Thaksin Shinawatra memakai gelang karet berwarna oranye. Saat mengunjungi Bangkok beberapa waktu lalu, saya juga kerap bertemu dengan orang yang mengenakan gelang oranye. Apa hubungannya gelang oranye dengan Pak Harto?

Pada mulanya saya berpikir, mengenakan gelang karet oranye adalah semacam mode di Thailand. Sampai-sampai seorang sekelas (mantan) perdana menteri seperti Thaksin pun memakainya. Saya pun mencoba mencarinya kesana-kemari. (Maksudnya supaya tidak terlihat ketinggalan mode, he..he..he…). Tapi hasilnya nihil.

Logika saya, benda yang tampaknya sederhana tapi menarik bak souvenir itu harusnya dapat ditemukan bebas. Apalagi untuk ukuran kota pariwisata sekelas Bangkok. Sampai pada akhirnya saya mengetahui ternyata gelang karet oranye bagi orang Thailand merupakan simbol kesetiaan pada raja. (Hmm…pantas tidak diobral sampai ke kaki lima.)

Bhumibol Adulyadej. Raja Thailand yang bergelar Rama IX ini lahir tahun 1927. Hampir di setiap jalan yang dilewati di kota Bangkok terpampang potret besarnya. Seukuran billboard. Sama dengan teks doa agar raja panjang umur. Ukuran jumbo yang sudah dapat terlihat dari saat kita mendarat di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Jika raja sakit, seluruh rakyat mendoakan kesembuhannya.

Waktu mengunjungi Bangkok, Thailand sedang berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan di gedung-gedung pemerintah dan swasta. Saudari raja baru saja mangkat. Hampir di setiap tempat umum ada tempat berdoa. Kayu dupa Cina diletakkan di atas meja di depan potret saudari raja yang seukuran poster. Setiap orang yang melintas, dapat langsung berdoa. Begitu besar kecintaan rakyat Thailand kepada raja dan keluarganya.

Bagaimana dengan “raja” Indonesia? Pada saat Pak Harto sedang bertarung menghadang maut, siaran langsung televisi digelar dari kompleks pemakaman Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Seolah mendoakan kematiannya. Catatan medis yang seharusnya menjadi rahasia Pak Harto (sebagai pasien), diumbar ke ruang publik. Infotainment televisi yang sehari-hari menampilkan kehidupan aktor dan aktris, bahkan menjadikan Pak Harto sebagai obyek gosip!

Betul, Pak Harto pernah besalah. Tetapi bukan berarti media dapat melakukan apa saja. Tetap ada batas etika. Tampaknya ketokohan dan ketenaran beliau telah membuat segala hal dari diri Pak Harto seolah mendapat legitimasi untuk diumbar ke publik. Media berdalih, publik punya hak untuk tahu. Padahal tidak semua hal dari seorang ternama harus diketahui publik. Tetap ada yang namanya batas privacy.

Bukan pengkultusan. Tapi penghormatan yang sepantasnya. Sebagai (mantan) pemimpin, Pak Harto pasti punya jasa. Sama seperi Bung Karno. Tidak ada pemimpin yang tangannya bersih dari lumuran darah dan lumpur nista. Tapi mereka juga punya karya. Biarlah Tuhan yang mengganjar mereka dengan adil. Dan kalau kita memiliki kemauan, hukum kita pun dapat mengadili setiap kesalahan yang mereka lakukan. (Yang menjadi masalah, kita kan tidak pernah memiliki kemauan untuk itu.)

Lalu lahirlah drama seperti ini. Drama dimana sikap “kurang ajar” dianggap sebagai sesuatu yang “wajar”. Tidak ada pemimpin yang menjadi panutan. Mantan “raja” saja bisa diperlakukan seperti itu. Presiden dan wakilnya, menteri, gubernur, walikota dan bupati, camat dan lurah, begitu mudah dicaci-maki. Apalagi hanya pemimpin sekelas wasit di tengah lapangan bola. Ia dapat dikeroyok seperti maling ayam. Ah sudahlah, mungkin karena di Indonesia tidak ada gelang oranye! ***

Rabu, Januari 02, 2008

E-Waste

SAYA baru saja membaca laporan majalah National Geographic edisi Januari 2008 tentang sampah teknologi. Majalah itu menyebutnya: “e-waste”. Ternyata, perangkat elektronik seperti televisi, monitor, serta jeroan komputer menyimpan racun mematikan. Khususnya saat telah menjadi sampah. Apa yang harus kita lakukan untuk itu?

Televisi atau kotak monitor komputer CRT mengandung hingga empat kilogram timah. Dalam kadar rendah, timah dapat merusak perkembangan mental anak. Untuk kadar yang lebih tinggi, timah adalah racun saraf yang juga membahayakan ginjal dan sistem reproduksi. Monitor juga mengandung barium yang dalam paparan di atas ambang normal menyebabkan gangguan lambung dan usus, kesulitan bernapas, dan fluktuasi tekanan darah.

Layar monitor yang tipis (LCD), sebagai pengganti tabung monitor, memang sudah kurang beracun secara keseluruhan. Namun ia masih mengandung merkuri pada lampu yang menerangi layar dari bagian belakang. Merkuri berpotensi merusak otak dan ginjal, berbahaya bagi perkembangan janin, dan dapat berpindah kepada bayi melalui air susu ibu.

Dalam kotak CPU, motherboard dan konektor dalam kotak CPU mengandung berilium. Zat penyebab kanker (karsinogenik). Debunya dapat menyebabkan penyakit paru-paru. Kebel dan kawat dalam jeroan komputer mengandung sedikitnya tiga zat mematikan. Pertama, PVC yang jika dibakar menjadi abu yang menghasilkan dioksin yang sangat beracun. Kedua, zat penahan api yang diberi bromin merupakan kelompok senyawa penyebab kerusakan kelenjar gondok (tiroid) dan dapat membahayakan perkembangan janin. Ketiga, zat kadmium yang dalam jangka panjang karsinogenik ini merusak ginjal dan tulang. Kadmim juga terdapat dalam baterai laptop.

Anehnya, meski dapat membunuh, e-waste tetap menjadi incaran. Sampah mematikan ini menjadi berharga karena ternyata mengandung sejumlah besar perak, emas, dan logam-logam berharga lainnya yang merupakan penghantar listrik yang sangat efisien. Ini yang menyebabkan negara-negara miskin mau saja menjadi tempat pembuangan e-waste. Warga miskin di pinggiran New Delhi (India) bahkan mengolah papan sirkuit komputer dengan cara yang sederhana untuk mendapatkan timah. Padahal selain timah, zat mematikan sepeti bromin dan merkuri juga ada dalam papan sirkuit.

Kita baru membedah satu dari begitu banyak hasil teknologi buatan manusia. Bagaimana dengan perangkat yang berbahan dasar kaca, karet, plastik, besi, baja, nikel, atau aluminium? Dapatkah kita hidup sehat berdampingan dengan sampah-sampah itu? Kita tidak dapat berlepas tangan dan membiarkan bumi untuk mengurainya. Manusialah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Sebelum terlambat, sudah harus dipikirkan dan diambil langkah untuk itu. Mulai dari membuat dan menegakkan regulasi yang mengikat para pihak yang terkait, hingga melakukan proses daur ulang. Tiga faktor yang setidaknya menjadi penentu langka tersebut. Pertama, keinginan politik para pemegang kebijakan. Kedua, dukungan atau tekanan dari publik, LSM, atau media. Ketiga, kondisi pasar karena industri harus memproduksi barang yang ramah lingkungan. Selain itu, proses daur ulang dapat menjadi sebuah industri tersendiri.

Jika ini tidak dapat (atau mungkin enggan) kita lakukan, apa yang pernah diucapkan Chairil Anwar dalam sebuah bait puisinya, dan juga menjadi keinginan manusia di bumi, hanya akan menjadi angan belaka: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”***