Senin, Agustus 09, 2010

Penjahat yang Tak Mampir di Den Haag



BOM “Little Boy” jatuh pukul 8:15 di Hirosima. Pagi itu 6 Agustus 1945. Pesawat tempur Amerika Serikat (AS) Enola Gay terbang di atas Hirosima dengan pongahnya. Tiga hari kemudian, 9 Agustus, dijatuhkan bom "Fat Man" di atas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi.

Bom ini membunuh 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk sipil. Enam hari setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa mereka menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Peristiwa pemboman Hirosima (dan Nagasaki) 65 tahun lalu tiba-tiba mengingatkan saya pada penjahat perang. Siapakah yang seharusnya disebut sebagai penjahat perang? AS adalah satu-satunya negara yang pernah menggunakan bom atom dalam perang dan sampai saat ini masih memiliki senjata nuklir. Ratusan ribu jiwa sipil tewas di Hirosima dan Nagasaki. Tak terhitung yang cacat dan hidup di bawah bayang-bayang radiasi radioaktif. Namun AS tetap tidak tersentuh hukum internasional. Apalagi hukum perang. Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman yang memerintahkan pemboman tersebut, hingga akhir hayatnya tidak pernah dituntut sebagai penjahat perang.

Berbebeda dengan Hideki Tojo. Tojo adalah jenderal Jepang dan menjadi Perdana Menteri Jepang ke-40 selama Perang Dunia II. Dia adalah tokoh penting di balik poros Jepang-Jerman-Italia. Oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh, ia dituntut sebagai penjahat perang. Tojo dinyatakan bersalah atas sejumlah tuduhan. Antara lain peperangan agresif melawan AS, Persemakmuran Inggris, Belanda, dan Perancis.

Ia divonis mati pada 12 November 1948 dan menerima hukuman gantung karena perbuatan kriminal selama perang berada di bawah otoritasnya. Tojo dianggap juga bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa. Kembali ke kisah 65 tahun lalu, menurut akal sehat, apakah perintah pengeboman Hirosima dan Nagasaki di luar otortas presiden AS? Mengapa Truman tidak pernah dihukum? Padahal sebelum membom Hirosima dan Nagasaki, AS terlebih dahulu selama enam bulan pengeboman 67 kota lainnya di Jepang.

Tidak banyak yang tahu kalau selama Perang Dunia II, AS, bekerja sama dengan Inggris dan Kanada, mengembangkan sebuah proyek pembuatan bom atom bernama “Manhattan Project”. Penelitian ilmiah ini dipimpin oleh fisikawan Amerika J. Robert Oppenheimer dan keseluruhan proyek berada di bawah kekuasaan Jenderal Leslie Groves, dari US Army Corps of Engineers. Dan sudah barang tentu semuanya ini atas pengetahuan Presiden AS Truman.

Sulit dipungkiri, keadilan perang hanya untuk pihak tertentu saja (baca: AS dan kawan-kawan). Beberapa peristiwa kontroversi yang dilakukan AS tak terlihat sebagai kejahatan perang. Seperti perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Perang Irak, dan Perang Afghanistan.

Masih segar dalam ingatan publik bagaimana Presiden George W. Bush menegaskan serangan yang dilakukan AS ke Irak disebabkan oleh kepemilikan senjata pemusnah massal negara tersebut. Kini, mana senjata pemusnah massal itu? Kalau Saddam Hussein berhasil mereka tangkap dan eksekusi di Irak (dengan tuduhan kejahatan perang), lalu mana Osama bin Laden yang menjadi alasan AS menginvasi Afghanistan?

Demikian pula apa yang dilakukan Israel dalam perang Lebanon tahun 2006. Lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesti Internasional menyatakan Israel telah melakukan kejahatan perang dengan sengaja menyerang infrastruktur sipil dalam agresi di Lebanon Selatan. Amnesti Internasional melihat ada pola-pola yang menunjukkan pengeboman terhadap infrastruktur bukanlah hal yang kebetulan. Temuan tersebut diperkuat pula dengan wawancara para pejabat dari militer Israel, pemerintah Lebanon dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Juga serangan Israel atas Gaza dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009. Organisasi Human Right Watch menuduh Israel menggunakan secara disengaja bom fosfor putih ke wilayah-wilayah berpenduduk. Akibatnya, bom-bom ini membunuh dan melukai banyak warga sipil, selain menghancurkan sejumlah bangunan termasuk sekolah, masjid, rumah sakit dan gudang bantuan kemanusiaan milik Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina.

Mantan Presiden AS George W. Bush, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak, juga sekutu AS lainnya tampaknya tidak akan pernah menjadi penjahat perang. Apalagi untuk sekedar mampir di Den Haag (Belanda) dan duduk di kursi pesakitan Pengadilan Kejahatan Internasional. Jauh panggang dari api.***

Jumat, Juli 30, 2010

Peradaban Plastik: Memecah Rantai Polimer*



KEMANA kita akan lari dari plastik? Hampir di setiap ruang, in door – out door, privat maupun publik, plastik hadir bersama kita. Itu yang kasat mata. Plastik juga hadir dalam kandungan beberapa produk kecantikan wanita seperti sabun untuk lulur, produk pembersih tangah, sampai krim mandi. Manusia sedang membangun peradaban plastik. Dan tanpa sadar manusia sedang dikepung oleh plastik.

Peneliti senior di Research Triangle North Carolina, Anthony Andrady mengemukakan, “Kecuali sebagian kecil yang telah dibakar, setiap plastik yang pernah dibuat dalam 50 tahun terakhir masih ada. Ada entah di mana di lingkungan kita.” Produksi keseluruhan plastik selama setengah abad ini sekarang sudah lebih dari satu miliar ton.

Sebagai ilustrasi, negara berkembang seperti India saja, saat ini memiliki 5.000 pabrik plastik yang sedang membuat kantung plastik. Kenya memproduksi 4.000 ton kantung plastik setiap bulan, tanpa tanda-tanda akan melakukan daur ulang. Itu baru kantung. Sejumlah produk dalam kemasan plastik atau yang bahan dasarnya terbuat dari plastik tentu lebih banyak lagi. Di seluruh belahan benua.

Tidak di daratan saja, plastik juga hadir di laut. Tahun 1975, U.S. National Academy of Sciences telah membuat taksiran bahwa semua kapal yang melayari laut secara bersama-sama membuang 3,6 juta kilogram sampah plastik setiap tahunnya. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa armada kapal dagang dunia telah membuang sekitar 639.000 wadah plastik ke laut setiap harinya.

Charles Moore, aktivis Algita Marine Research Foundation, mengklaim 90 persen sampah yang mengapung di laut adalah plastik. Dan plastik telah menjadi ciri paling lazim yang dapat ditemukan di semua lautan dunia.

Tahun 2005, Moore pernah melaporkan bahwa kumpulan sampah di samudra Pasifik terus berpusar mencapai wilayah seluas 26 juta kilometer persegi. Hampir seluas benua Afrika. Moore menyimpulkan, 80 persen sampah yang terapung di laut tersebut berasal dari daratan.

Dari sudut pandang yang berbeda, plastik sebenarnya telah ada sejak jutaan tahun lalu. Plastik adalah polimer: konfigurasi molekuler sederhana dari atom-atom karbon dan hidrogen yang saling bersambung berulang-ulang membentuk rantai-rantai.

Alam sebenarnya lebih dahulu memproduksi polimer. Sejenis ulat memintal serat-serat polimer yang disebut sutra. Pepohonan muncul dan mulai membuat selulosa dan lignin yang juga merupakan polimer alami. Kapas dan (getah) karet adalah polimer. Tubuh kita juga memproduksi polimer dalam wujud kolagen yang antara lain membentuk kuku jemari kita.

Hal yang paling mendasar yang membedakan polimer-polimer alami tadi dengan plastik seperti yang kita kenal saat ini adalah penguraiannya menjadi partikel-partikel kecil yang bersahabat dengan alam. Seperti hidrokarbon manapun, plastik pasti mengalami pelapukan secara biologis (biodegradasi). Sayangnya itu terjadi pada laju yang begitu lambat sehingga hampir tidak memiliki konsekuensi praktis.

Plastik juga dapat mengalami penguraian melalui proses fotodegradasi. Kekuatan plastik bergantung pada panjang rantai-rantai polimer mereka yang saling belit. Setelah cahaya ultraviolet (UV) memutus mereka, plastik mulai tercerai berai.

Namun proses penguraian ini tidak begitu saja dengan mudah dapat terjadi. Di daratan, plastik yang terkubur di tempat dengan sedikit air, tanpa cahaya matahari atau oksigen, akan tetap utuh untuk waktu yang lama. Itu juga berlaku jika plastik tenggelam di lautan, terkubur oleh endapan-endapan.

Di dasar laut tidak ada oksigen dan suhunya sangat dingin. Jika berada di permukaan laut, selain suhu air yang lebih dingin (dibandingkan daratan), belitan ganggang juga menghalangi terpaan cahaya UV.

Meski demikian, ilmuwan seperti Anthony Andrady meyakini, plastik yang ada sekarang akan membutuhkan ratusan tahun untuk bisa dikonsumsi mikroba. Sebagai mana mereka memakan tumbuhan dan minyak. Sejak membanjirnya produk berbahan dasar plastik tahun Pasca Perang Dunia II tahun 1945, waktu setengah abad masih terlalu singkat bagi evolusinya.

Yang pasti, tekanan dari atas dan bawah akan mengubah plastik menjadi sesuatu yang berbeda. Seperti hewan dan pepohonan yang terkubur berjuta tahun, dengan proses geologi berubah menjadi minyak dan barubara. Yang jadi pertanyaan kemudian: “Kapan?” Jawabannya: “Tentu tidak dalam bilangan puluhan tahun.”***


*Seluruh data dalam tulisan ini dikutip dari “The World without Us” karya Alan Weisman (2007).

Senin, Juli 05, 2010

Zionisme: Flashback Gerakan Hertzl


SERATUS enam tahun lalu. Tepatnya 3 Juli 1904, Theodore Hertzl meninggal dunia. Tokoh pendiri gerakan zionisme internasional ini wafat di usia 44 tahun. Ia memang tidak sepopuler Israel atau Zionisme yang cikal bakalnya ia bukukan diusia 35 tahun. Buku yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tersebut lebih kurang berjudul “Pemerintahan Yahudi”. Sebelumnya memang telah ada tokoh Yahudi seperti Pinsker dan Ahad Ha-Am. Namun gerakan mereka tidak seberhasil Hertzl.

Hertzl awalnya seorang wartawan. Haluannya berubah saat terjadi aksi anti Yahudi di negara-negara Eropa yang berbahasa Jerman pada tahun 1880. Puncaknya saat terpilih Karl Lueger Monarkhi sebagai walikota Wina (Austria). Dalam kampanyenya, Monarkhi menjanjikan program anti Yahudi. Ini dilihat sebagai peluang oleh Hertzl.

Ketidaksukaan masyarakat Eropa atas kehadiran orang-orang Yahudi di negara mereka menjadi “alasan” bagi Hertzl untuk mendirikan negara Yahudi. Entah tempatnya di mana. Yang pasti, menurut “teori” Hertzl, program mendirikan negara Yahudi ini akan memberi “keuntungan” bagi masyarakat Eropa yang menilai eksistensi Yahudi di negara mereka mengganggu perdamaian sosial (Katz: 1973).

Hertzl berhasil mengorganisir Kongres Zionis Pertama tahun 1897 di Basle (Swis). Bentuk pertemuannya mirip parlemen Yahudi yang sedang bersidang. Dalam kongres tersebut, Hertzl menjalankan kedudukannya sebagai ketua gerakan Zionis. Mirip dengan peran seorang presiden atau perdana menteri. Di sinilah bermula cikal bakal Jewish Colonial Trust, bank pertama milik Zionis. Kongres ini pula memutuskan perlunya sebuah suratkabar resmi yang menjadi media untuk memberitakan kegiatan Zionis dan pimpinannya.

Menurut Shlomo Avinera (1981), kunci sukses Hertzl mengembangkan ideologi Zionis karena ia menguasai benar senjata terpenting di abad XX: media massa, lobi, dan public relations. Dalam rangka merebut pengaruh, Hertzl beruadiensi dengan Paus di Roma, Kaisar Wilhelm di Jerman, ratu Victoria di Inggris dan dengan Sultan Turki di Istambul. Ia pun memobilisir dana dari para hartawan seperti Moses Hess atau Baron de Rothschild di London.

Setiap gerakan Zionis di berbagai penjuru dunia selalu dianjurkan untuk menerbitkan koran atau majalah. Di era tersebut, media inilah yang memiliki pengaruh kuat. Media akan memuat artikel berkaitan dengan gerakan mereka, menyebarkan opini positif mengenai gerakan Zionisme. Dalam waktu besamaan, di Hollywood, tiga serangkai tokoh Yahudi Melvyn, Goodwyn dan Meyer secara bersama mendirikan studio film MGM. Adolf Zuckor merupakan tohoh Yahudi yang menjadi pionir terpenting perkembangan industri film di Amerika Serikat.

Titik awal keberhasilan gerakan zionis datang satu dekade setelah kematian Hertzl. Tahun 1917 lahir Deklarasi Balfour yang untuk pertama kalinya mengizinkan bangsa Yahudi untuk bermukim di Palestina. Jarang diketahui kalau pada Kongres Zionis Ketiga tahun 1903, Hertzl sebenarnya pernah menyampaikan tawaran resmi pemerintah Inggris yang mau menyediakan sebuah wilayah bagi pemukiman Yahudi di Uganda, Afrika Timur. Andai tawaran itu diterima, mungkin cerita tentang Palestina tidak akan seperti sekarang ini.***

Minggu, Juni 06, 2010

Menyelisik Sumber Anonim


KITA mungkin masih ingat kasus pemberitaan yang menjerat TVOne. Masalah ini mencuat setelah kepolisian menuntut TVOne karena diduga telah melakukan rekayasa berita saat penayangan soal makelar kasus. Dugaan ini bermula dari bantahan yang dilakukan oleh sumber yang tampil di acara tersebut. Di hadapan polisi ia mengaku bukan “berprofesi” sebagai makelar kasus.

Pemberitaan yang dipersoalkan ini tayang dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” edisi 18 Maret 2010. Dewan Pers yang bertindak sebagai mediator untuk kasus tersebut tidak menemukan bukti TVOne melakukan rekayasa. Namun demikian, Dewan Pers menilai sumber yang tampil bertopeng dalam acara tadi kurang kompeten (Koran Tempo: 29/5/10). Meski akhir Mei lalu Kepolisian dan TVOne sepakat berdamai, sumber anonim kembali mengusik kita untuk menggali lebih jauh tentang praktik jurnalisme kita.

Anonim

Saat membaca, mendengarkan, atau menonton berita, kita pernah menemukan sumber anonim. Sumber yang dikaburkan identitasnya. Biasanya ia dinyatakan sebagai “sumber yang dapat dipercaya”, “sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya”, dan masih banyak lagi kombinasi penggambaran media yang dilakukan atasnya. Di televisi, wajah dan suara sumber anonim disamarkan. Mereka diberi nama lain atau inisial.

Sumber anonim TVOne ini di layar televisi tampil bertopeng, dengan celana jeans, dan suara disamarkan. Si sumber mengaku sebagai makelar kasus yang sudah belasan tahun “membantu” orang-orang yang terjerat kasus di kantor polisi. Tapi rasanya ada yang aneh. Jika dia sungguh-sungguh anonim, bagaimana dalam waktu yang sangat cepat polisi bisa tahu identitas sumber tadi? Bukankah hanya reporter saja yang seharusnya tahu jati diri sumber anonimnya?

Janggalnya lagi, sumber yang kemudian ketahuan bernama Andris Ronaldi ini diklaim oleh presenter TVOne Indy Rahmawati, juga tampil sebagai sumber anonim makelar kasus di stasiun televisi lain (Tempo: 2/5/10). Jika klaim ini benar, lalu di mana letak anonimnya sumber tersebut?

Biasanya setiap sumber meminta status anonimitasnya hanya kepada seorang reporter. Sumber yang benar-benar ingin menjaga identitasnya tentu tidak akan ceroboh untuk mengumbar informasi ke reporter lain. Itu hanya akan mempercepat terbukanya identitasnya. Di sisi lain, reporter seharusnya mencurigai motif si sumber ketika ia tahu kalau sumber anonimnya mengumbar informasi ke reporter lain.

Memang praktik menyembunyikan identitas narasumber lazim terjadi. Reporter melakukan hal tersebut biasanya atas permintaan si sumber yang mungkin merasa tidak nyaman atau takut bila identitasnya diketahui. Misalnya, jika jati diri tersebut terbuka, dapat berdampak pada keselamatan si sumber. Untuk kasus korban perkosaan, tanpa diminta pun, reporter biasanya menyembunyikan identitas korban atas pertimbangan moral (menutupi aib). Apalagi bila korban masih di bawah umur.

Undang-undang Pers mengakui hak wartawan yang karena profesinya menolak mengungkapkan nama atau identitas lain dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Ini dikenal dengan nama Hak Tolak. Hak ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan wartawan kepada sumber anonimnya.

Beberapa reporter biasanya lebih memilih dipenjara daripada memberikan nama atau identitas lain dari narasumbernya. Tapi jika belakangan diketahui kalau sumber tersebut berbohong, reporter harus membeberkan jati diri sumber anonimnya tadi. Kesepakatan status anonim tersebut hanya diberikan jika sumber memberi informasi yang benar dan tidak menyesatkan reporter (Kovach & Rosenstiel: 2004).

Bersyarat

Meski diperbolehkan, bukan berarti reporter dengan leluasa dapat menggunakan sumber anonim kapan saja dan dalam konteks apa saja. Media seperti USA Today melarang menggunakan sumber anonim untuk kutipan wawancara yang berisi tuduhan pada pihak lain. Michael Gartner (1987) bahkan menilai, penggunaan sumber-sumber anonim dalam berita merupakan pertanda reporter yang malas atau redaktur yang ceroboh.

Joe Lelyveld, redaktur eksekutif New York Times, menyaratkan reporter dan redaktur di Times untuk bertanya pada diri mereka sendiri akan dua hal sebelum menggunakan sumber anonim. Pertama, seberapa banyak pengetahuan langsung yang dimiliki sumber anonim atas suatu kejadian? Reporter tidak perlu menggunakan sumber anonim bila sumber tersebut bukan informan kunci.

Kedua, apa motif, jika ada, yang mungkin dipunyai sumber untuk menyesatkan reporter? Selama ini orang percaya, reporter yang “menggunakan” sumber untuk kepentingan peliputannya. Namun dalam beberapa kasus, justru reporterlah yang “dimanfaatkan” oleh sumber berita. Reporter yang baik akan waspada dan selalu berhati-hati dengan kemungkinan motif tersembunyi dari sumbernya.

Melengkapi pendapat Lelyveld, Herbert Strentz (1993) Guru Besar Jurnalisme di Drake University berpendapat, penggunaan sumber anonim harus mempertimbangkan tiga hal. Seberapa penting informasi tersebut bagi khalayak berita? Apakah mungkin sumber akan menderita semata-mata karena ia terkait pada informasi tersebut? Apakah informasi yang dikehendaki tersedia dari sumber-sumber lain yang tidak mempersoalkan anonimitas?

Reporter tidak perlu menggunakan sumber anonim bila informasi yang disampaikan oleh sumber tersebut tidak penting bagi khalayak. Kepentingan khalayak yang dikedepankan. Apalagi bila dengan mudah dapat diperoleh dari sumber-sumber lain yang tidak berkeberatan bila identitas mereka disertakan. Namun satu hal yang pasti, keselamatan sumber adalah yang utama. Khususnya keselamatan diri, jiwa, dan keluarga sumber.

Yang menarik, jangan sampai publik justru lebih suka pada sumber anonim. Lebih membuat penasaran dan membangkitkan rasa ingin tahu. Penampilan mereka yang disamarkan, mungkin saja disadari oleh media sebagai magnet buat paket (acara) berita mereka. Sumber pun dipoles semisterius mungkin tanpa peduli pada hak publik untuk tahu akan identitasnya.

Terlepas dari dugaan naif tadi, satu hal yang tidak boleh terlupakan bahwa kredibilitas informasi dapat dinilai berdasarkan sumbernya. Ketika media asyik dengan sumber-sumber anonim, publik dapat saja kemudian meragukan keabsahan informasi tersebut. Alasannya sederhana. Sumber absurd, tidak jelas, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika reporter memutuskan untuk menggunakan sumber anonim, dia harus yakin dengan kredibilitas sumber tersebut. Verifikasi yang gigih harus dilakukan sebelumnya. Ketatnya persaingan media tidak selayaknya menjadi alasan untuk mengendurkan mekanisme “check”, “recheck”, dan “crosscheck” karena berita adalah bisnis kredibilitas.***

Minggu, Mei 02, 2010

SpongeBob dan Balada Buruh



SUDAH dapat diduga, setiap tanggal 1 Mei para buruh turun ke jalan. Menggerombol. Menggemuruh. Menuntut perbaikan nasib. Namun melihat substansi tuntutan yang tidak jauh berbeda dengan tahun ke tahun, kita pun mempertanyakan keberhasilan aksi mereka (pada waktu sebelumnya)? Peringatan Hari Buruh seolah hanya akan menjadi ritual tahunan para pekerja saja.

Kapital

Seperti melantunkan balada di hamparan gurun, kisah pilu para pekerja nyaris tak terdengar. Sesaat mengudara lalu hilang ditelan langit. Kepada siapa buruh akan berharap? Undang-undang yang secara hukum dapat melindungi mereka dibuat oleh legislator yang rentan terhadap jamahan kepentingan para pemilik modal (kapitalis).

Lebih naif lagi bila mengharapkan perhatian pada presiden yang berkuasa. Siapa pun dia. Dalam sistem demokrasi, seorang calon presiden tidak dapat berbuat banyak bila tidak didukung oleh para pemilik modal besar (kelas kapitalis). Khususnya saat berkampanye. Bila kemudian terjadi konflik kepentingan antara pekerja dan pemilik modal, sudah dapat dipastikan kepada siapa presiden akan berpihak.

Para buruh mungkin sedikit lega saat melihat aksi mereka diliput oleh media massa. Terlebih lagi saat tahu kalau sejumlah jurnalis juga ikut turun ke jalan. Mengajukan tuntutan yang sama dengan para pekerja. Tapi berapa lama tuntutan-tuntutan itu menjadi perhatian jurnalis dan dapat bertahan dalam agenda media? Berapa lama nasib para pekerja menjadi prioritas dalam wacana publik?

Jangan lupa, para pekerja media bukanlah kelas elit dalam stratifikasi sosial kita. Kuasa atas media, kuasa atas wacana publik lebih ditentukan oleh organisasi media secara umum. Oleh pemilik media itu sendiri. Meski secara teori mereka melayani kepentingan publik, namun sejatinya pekerja media, sebagaimana halnya pekerja lain, hanyalah alat-alat produksi dari para kapitalis. Pemilik media akan memacu pekerja mereka untuk meningkatkan rating sebuah program acara atau penjualan (media) dan peningkatan pemasukan iklan.

Isu yang berkaitan dengan hak-hak normatif pekerja sangatlah sensitif bagi pemilik modal. Karena di satu sisi, di suatu kesempatan, dapat mengarah pada diri mereka sendiri. Apa yang menjadi tuntutan para pekerja secara umum, dapat menjadi tuntutan pekerja media juga. Singkatnya, pekerja media sekalipun tidak dapat bebas dari cengkeraman (kepentingan) pemilik modal.

Bila membuka daftar pemilik media di Indonesia, cetak maupun elektronik, kita akan ditemukan pola kedekatan mereka satu sama lain. Kedekatan mereka dengan lingkar dalam kekuasaan seperti Hary Tanoesoedijo (Media Nusantara Citra atau MNC) dan Chairul Tanjung (Trans Corporation).

Kalau pun tidak masuk dalam lingkat kekuasaan, mereka memiliki kutub kekuasaan tersendiri. Sebut saja seperti Aburizal Bakrie (ANTV, TV One, dan Viva News) dan Surya Paloh (Media Indonesia Group dan Metro TV). Sekali lagi sangat jelas untuk ditebak, kepada siapa para pemilik media ini akan berpihak.

SpongeBob

Nasib buruh pernah diangkat dalam salah satu episode SpongeBob SquarePants. Meski tampak untuk anak-anak, film kartun yang tayang setiap pagi di Global TV ini sebenarnya lebih cocok untuk orang dewasa. Episod itu mengisahkan Squidward dan SpongeBob yang melancarkan pemogokan. Mereka berdua adalah karyawan di Restoran Cepat Saji “Krusty Krab”.

Tuntutan mereka sangat normatif: ingin diperlakukan secara adil oleh Tuan Krabs, si pemilik restoran. Saat kedua karyawannya memulai pemogokan, Tuan Krabs tampak tidak merasa terganggu. Sikap si Bos ini berubah setelah menyadari bahwa ia tidak dapat menghasilkan uang tanpa bantuan kedua karyawannya tadi. Krabs lalu berubah pikiran. Dia mendatangi rumah Squidward (sebagai inisiator pemogokan).

Ketika negosiasi keduanya berjalan dan mencapai kata sepakat, tanpa sepengetahuan Squidward, SpongeBob merusak Restoran “Krusty Krab”. Orasi Squidward saat melakukan aksi mogok yang memprovokasinya. Di depan “Krusty Krab” yang porak-poranda, SpongeBob terlihat puas. Squidward bingung. Tuan Krabs naik pitam.

Secara tersirat episode SpongeBob SquarePants tadi setidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa saat pekerja kompak, pemilik modal akan tunduk dan mau bernegosiasi. Namun ironisnya, saat pekerja mulai terpolarisasi pada kepentingan dan motif yang berbeda, ketika itu posisi mereka melemah. Seperti yang ditunjukkan oleh Squidward dan SpongeBob.

Bagaimana dengan dukungan publik? Jika ia melibatkan seorang buruh saja, simpati publik sangat mungkin dapat tergalang. Meski tidak bertahan lama. Seperti kasus Marsinah, aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Bagaimana sikap publik menanggapi PHK 3.200 karyawan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1997? Juga nasib buruh migran di Malaysia atau Timur Tengah. Bagaimana dengan buruh lokal yang diperlakukan secara berbeda dengan pekerja asing di negerinya sendiri? Publik tidak terlalu peduli. Buktinya peristiwa rusuh 22 April lalu di PT Drydock Naninda, Tanjung Ucang, Batam, tenggelam begitu saja.

Tampaknya tidak mudah menarik dukungan publik untuk kasus yang melibatkan buruh secara kolektif. Apalagi jika isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Mungkin karena itu, apa yang diucapkan oleh tokoh Squidward dalam episode kartun SpongeBob SquarePants tadi menjadi bermakna: “Suara buruh akan diabaikan selama orang masih dapat memperoleh keuntungan secara instan!”***

Kamis, April 22, 2010

Berita: Tokoh dan Lakonnya


HARIAN The Jakarta Post menyebutnya “the man who knew too much”. Siapa lagi kalau bukan Komjen Susno Duadji. Dalam waktu kurang dari delapan bulan, ia dapat memainkan dua peran yang bersebrangan. Mulanya ia berada di posisi yang membela Polri saat menangkap petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Chandra Hamsah dan Bibit Slamet Riyanto. Dari Susno kemudian lahir istilah: Cicak Lawan Buaya!

Diawali oleh kesaksiannya dalam persidangan Antasari, kini ia justru bertolakbelakang dengan korpsnya. Membeberkan sejumlah informasi yang mengarah pada dugaan praktik makelar kasus yang terjadi dalam tubuh Polri. Padahal sebelumnya beliau justru dituding sebagai otak dibalik rekayasa penangkapan dua petinggi KPK tadi. Media pun kemudian memperlakukannya sebagai tokoh yang “baik”, setelah sebelumnya menampilkannya sebagai tokoh “jahat”.


TOKOH

Apa kesamaan berita dan cerita atau dongeng? Sepintas mungkin keduanya berbeda. Berita berisi fakta dan data. Sedangkan cerita atau dongeng memuat fiksi yang sifatnya imajinatif. Namun demikian, meski tampak berbeda, keduanya memiliki kesamaan. Berita dan dongeng sama-sama berkisah tentang tokoh. Ada tokoh baik dan jahat. Ada pahlawan, ada penjahat. Ada yang benar, ada yang salah. Tokoh hitam-putih. Bahkan yang abu-abu pun dapat kita temukan.

Berita membutuhkan tokoh. Ia menjadi salah satu unsur utama berita (who). Tokoh yang ternama bahkan menjadi berita itu sendiri. Apa yang dilakukan mereka, bernilai berita. Makin terkenal seorang tokoh, makin tinggi nilai beritanya. Aktris Jepang seperti Miyabi yang (baru) berencana main film di Indonesia saja bisa jadi berita. Apalagi seorang presiden seperti Obama. Berita sulit melepaskan diri dari tokoh.

Masih ingat Joy Tobing, Ponari, Prita, atau Gayus Tambunan? Mereka adalah sebagian kecil tokoh yang diperkanalkan media kepada kita. Awalnya publik tidak tahu. Dengan publikasi yang masif, media memperkenalkan sosok mereka beserta atributnya. Dengan atribut itu, publik mempersepsi setiap tokoh. Pencitraan setiap tokoh banyak bergantung pada atribut yang diberikan media kepada mereka.

Atribut adalah keterangan yang diberikan media untuk menggambarkan tokoh yang menjadi ulasan berita. Dari atribut itulah kita kemudian tahu kalau Joy Tobing adalah wanita yang pernah memenangkan kontes Indonesian Idol. Ponari itu dukun cilik. Prita, terdakwa pencemar nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Dan Gayus adalah makelar kasus pajak.


LAKON

Atribut dibutuhkan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh dalam berita. Memberi keterangan ringkasan akan diri mereka. Ini sifatnya kontekstual. Misalnya Jusuf Kalla. Ia dapat saja dimintai komentar dalam kapasitasnya sebagai mantan Wakil Presiden atau mantan Ketua Umum Partai Golkar. Di konteks lain, ia dapat pula ditampilkan sebagai Ketua Palang Merah Indonesia atau seorang pengusaha.

Disadari atau tidak, dengan atribut tersebut media dapat membentuk orang-orang tadi menjadi tokoh “baik” atau “jahat”. Seperti dalang dalam sebuah pertunjukan wayang, media seolah menyematkan karakter lalu memberikan peran tertentu pada tokoh-tokoh yang dipentaskannya. Tidak masalah bila seorang tokoh harus bertukar peran dari antagonis menjadi protagonis seperti yang dimainkan Susno Duadji. The show must go on.

Tokoh-tokoh yang dipertunjukkan oleh media “lahir” dengan citranya sendiri-sendiri. Prita ditampilkan sebagai sosok wanita lemah yang memperjuangkan haknya sebagai pasien. Media mengabaikan fakta bahwa dia dengan sengaja menyebarluaskan email ke sejumlah mailing list. Email itu yang dianggap mencemarkan citra Rumah Sakit Omni Internasional.

Media yang tidak mendukung UU Pornogafi menjadikan Mangku Pastika sebagai tokoh internal pemerintah yang menentang UU ini. Gubernur Bali tersebut dipilih untuk melakonkan perlawanan. Bagaimana dengan gubernur-gubernur lain? Apakah mereka seide dengan mantan Kapolda Bali ini? Kelihatannya tidak. Oleh karenanya mereka tidak dihadirkan dalam berita sebab dapat mengacaukan agenda penolakan yang diusung oleh media tersebut.

Masih segar pula dalam ingatan kita bagaimana pemberitaan dengan begitu gencarnya membela Chandra dan Bibit. Keduanya dicitrakan sebagai pejuang anti-korupsi. Media tidak terlalu memberi penekanan pada fakta bahwa beberapa mekanisme kerja internal mereka di KPK (seperti penyadapan) masih rawan untuk disalahgunakan. Media juga tampak tidak terlalu serius mengejar motif di balik pengakuan Susno. Bisa jadi hal tersebut dapat merusak lakonnya sebagai “orang baik” di tubuh Polri yang kini diberikan media kepadanya.


PUBLIK

Bagaimana dengan publik? Sepertinya tidak ada pilihan lain. Publik akan menerima begitu saja apa yang dipentaskan media untuk mereka. Tidak adanya akses langsung kepada tokoh-tokoh berita. Konfirmasi tidak mungkin untuk memeriksa kebenaran informasi yang kita terima. Apa yang diberikan oleh media, itulah yang kita terima. Itu pulalah yang sangat mungkin kita jadikan sebagai rujukan.

Di masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, tokoh seperti Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas, atau Emha Ainun Najib kerap tampil sebagai tokoh berita. Sekarang kemana mereka? Setelah Soeharto terguling, media tidak membutuhkan lagi peran mereka sebagai agitator perubahan rezim.

Sebagai penutur, media memiliki keleluasaan untuk memilih dan memoles tokoh-tokohnya. Tokoh “baik” yang ditampilkan media, belum tentu sebaik yang dipersepsikan publik. Demikian pula mereka yang ditampilkan dengan karakter “buruk”. Mereka tidak seburuk yang digambarkan dalam berita.

Karenanya, sangat arif bila publik tidak melihat media sebagai penyaji jati diri tokoh yang mereka tampilkan. Karena, ibarat sebuah cerita, berita hanya menyajikan karakter tertentu dari tokohnya. Sekali lagi, bukan jati mereka. Tokoh-tokoh tersebut hanya memainkan lakon dengan peran dan karakter yang dikonstruksi media. Seperti wayang yang dipilih dan keluarkan dari kotak oleh sang dalang, lalu dimainkan di hadapan publik.***