Minggu, Mei 02, 2010

SpongeBob dan Balada Buruh



SUDAH dapat diduga, setiap tanggal 1 Mei para buruh turun ke jalan. Menggerombol. Menggemuruh. Menuntut perbaikan nasib. Namun melihat substansi tuntutan yang tidak jauh berbeda dengan tahun ke tahun, kita pun mempertanyakan keberhasilan aksi mereka (pada waktu sebelumnya)? Peringatan Hari Buruh seolah hanya akan menjadi ritual tahunan para pekerja saja.

Kapital

Seperti melantunkan balada di hamparan gurun, kisah pilu para pekerja nyaris tak terdengar. Sesaat mengudara lalu hilang ditelan langit. Kepada siapa buruh akan berharap? Undang-undang yang secara hukum dapat melindungi mereka dibuat oleh legislator yang rentan terhadap jamahan kepentingan para pemilik modal (kapitalis).

Lebih naif lagi bila mengharapkan perhatian pada presiden yang berkuasa. Siapa pun dia. Dalam sistem demokrasi, seorang calon presiden tidak dapat berbuat banyak bila tidak didukung oleh para pemilik modal besar (kelas kapitalis). Khususnya saat berkampanye. Bila kemudian terjadi konflik kepentingan antara pekerja dan pemilik modal, sudah dapat dipastikan kepada siapa presiden akan berpihak.

Para buruh mungkin sedikit lega saat melihat aksi mereka diliput oleh media massa. Terlebih lagi saat tahu kalau sejumlah jurnalis juga ikut turun ke jalan. Mengajukan tuntutan yang sama dengan para pekerja. Tapi berapa lama tuntutan-tuntutan itu menjadi perhatian jurnalis dan dapat bertahan dalam agenda media? Berapa lama nasib para pekerja menjadi prioritas dalam wacana publik?

Jangan lupa, para pekerja media bukanlah kelas elit dalam stratifikasi sosial kita. Kuasa atas media, kuasa atas wacana publik lebih ditentukan oleh organisasi media secara umum. Oleh pemilik media itu sendiri. Meski secara teori mereka melayani kepentingan publik, namun sejatinya pekerja media, sebagaimana halnya pekerja lain, hanyalah alat-alat produksi dari para kapitalis. Pemilik media akan memacu pekerja mereka untuk meningkatkan rating sebuah program acara atau penjualan (media) dan peningkatan pemasukan iklan.

Isu yang berkaitan dengan hak-hak normatif pekerja sangatlah sensitif bagi pemilik modal. Karena di satu sisi, di suatu kesempatan, dapat mengarah pada diri mereka sendiri. Apa yang menjadi tuntutan para pekerja secara umum, dapat menjadi tuntutan pekerja media juga. Singkatnya, pekerja media sekalipun tidak dapat bebas dari cengkeraman (kepentingan) pemilik modal.

Bila membuka daftar pemilik media di Indonesia, cetak maupun elektronik, kita akan ditemukan pola kedekatan mereka satu sama lain. Kedekatan mereka dengan lingkar dalam kekuasaan seperti Hary Tanoesoedijo (Media Nusantara Citra atau MNC) dan Chairul Tanjung (Trans Corporation).

Kalau pun tidak masuk dalam lingkat kekuasaan, mereka memiliki kutub kekuasaan tersendiri. Sebut saja seperti Aburizal Bakrie (ANTV, TV One, dan Viva News) dan Surya Paloh (Media Indonesia Group dan Metro TV). Sekali lagi sangat jelas untuk ditebak, kepada siapa para pemilik media ini akan berpihak.

SpongeBob

Nasib buruh pernah diangkat dalam salah satu episode SpongeBob SquarePants. Meski tampak untuk anak-anak, film kartun yang tayang setiap pagi di Global TV ini sebenarnya lebih cocok untuk orang dewasa. Episod itu mengisahkan Squidward dan SpongeBob yang melancarkan pemogokan. Mereka berdua adalah karyawan di Restoran Cepat Saji “Krusty Krab”.

Tuntutan mereka sangat normatif: ingin diperlakukan secara adil oleh Tuan Krabs, si pemilik restoran. Saat kedua karyawannya memulai pemogokan, Tuan Krabs tampak tidak merasa terganggu. Sikap si Bos ini berubah setelah menyadari bahwa ia tidak dapat menghasilkan uang tanpa bantuan kedua karyawannya tadi. Krabs lalu berubah pikiran. Dia mendatangi rumah Squidward (sebagai inisiator pemogokan).

Ketika negosiasi keduanya berjalan dan mencapai kata sepakat, tanpa sepengetahuan Squidward, SpongeBob merusak Restoran “Krusty Krab”. Orasi Squidward saat melakukan aksi mogok yang memprovokasinya. Di depan “Krusty Krab” yang porak-poranda, SpongeBob terlihat puas. Squidward bingung. Tuan Krabs naik pitam.

Secara tersirat episode SpongeBob SquarePants tadi setidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa saat pekerja kompak, pemilik modal akan tunduk dan mau bernegosiasi. Namun ironisnya, saat pekerja mulai terpolarisasi pada kepentingan dan motif yang berbeda, ketika itu posisi mereka melemah. Seperti yang ditunjukkan oleh Squidward dan SpongeBob.

Bagaimana dengan dukungan publik? Jika ia melibatkan seorang buruh saja, simpati publik sangat mungkin dapat tergalang. Meski tidak bertahan lama. Seperti kasus Marsinah, aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Bagaimana sikap publik menanggapi PHK 3.200 karyawan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1997? Juga nasib buruh migran di Malaysia atau Timur Tengah. Bagaimana dengan buruh lokal yang diperlakukan secara berbeda dengan pekerja asing di negerinya sendiri? Publik tidak terlalu peduli. Buktinya peristiwa rusuh 22 April lalu di PT Drydock Naninda, Tanjung Ucang, Batam, tenggelam begitu saja.

Tampaknya tidak mudah menarik dukungan publik untuk kasus yang melibatkan buruh secara kolektif. Apalagi jika isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Mungkin karena itu, apa yang diucapkan oleh tokoh Squidward dalam episode kartun SpongeBob SquarePants tadi menjadi bermakna: “Suara buruh akan diabaikan selama orang masih dapat memperoleh keuntungan secara instan!”***