Minggu, Oktober 07, 2007

Melawan Lupa

BERTANYALAH kepada publik tentang kisah hidup Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Sjafruddin Prawiranegara, atau para bapak bangsa yang lainnya. Boleh jadi beberapa nama dari mereka justru terdengar asing. Mengapa? Karena televisi sebagai media populis, tidak pernah memperkenalkan sosok-sosok patriotik itu. Tentang sikap, kepribadian, dan kebersahajaan hidup mereka. Sebagai bangsa, Indonesia tumbuh seperti anak yang tidak mengenal ayahnya sendiri.

Mohammad Natsir, saat menjadi perdana menteri (1950-1951), pernah kebingungan di Malaysia karena tidak memiliki uang untuk pulang ke Indonesia. Soekarno tetap hidup sederhana meskipun ia Presiden dengan pangkat Panglima Besar Revolusi. Saat membeli lukisan, tidak jarang dia berutang dan membayarnya dengan cara menyicil. Di penghujung jabatannya, untuk membeli rambutan pun, Bung Karno pernah meminjam uang kepada ajudan pribadinya, Putu Sugianitri.

Memang betul, Bung Karno pernah membuat kesalahan. Saat menjadi presiden, ia memenjarakan sejumlah aktivis yang dahulunya adalah kawan seperjuangannya. Ia bahkan memenjarakan ulama terkemuka, Hamka. Namun sungguh sebuah kebesaran jiwa. Hamka yang dahulunya ia bui, justru dia jugalah yang memimpin shalat dan doa ketika Bung Karno wafat. Hamka seolah mengajarkan kepada kita, perjuangan Bung Karno jauh lebih besar dan bernilai daripada kesalahan atau kekhilafan yang pernah ia perbuat. Dia adalah Bapak Bangsa. Sudah seharusnya beliau diperlakukan dengan penuh hormat.

Ketika menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta punya keinginan yang sangat pantas. Ia bermimpi, kalau punya uang, ingin membeli sepatu Bally (produk buatan Swiss yang sampai kini dikenal sebagai merek barang supermewah). Bung Hatta menggunting iklan sepatu Bally yang ingin dibelinya itu dari sebuah harian yang terbit di Ibu Kota. Kliping iklan tersebut sengaja ia simpan supaya jika kelak punya uang, Bung Hatta langsung ke toko untuk mewujudkan impiannya. Siapa sangka, Bung Hatta tidak dapat memakai sepatu Bally impiannya sampai ia tutup usia.

Sutan Syahrir gemar mendengarkan lagu-lagu Belanda dengan megaphone yang suaranya terdengar ke seantero Pulau Banda (saat ia dan beberapa tokoh pergerakan Indonesia diasingkan oleh Belanda di sana). Bung Karno kerap menggunakan istilah Belanda (atau bahasa asing) ketika berpidato. Sama dengan Bung Hatta, yang saat tidur pun, mengigau dengan bahasa Belanda.

Mereka semua “produk” pendidikan Eropa. Namun ajaibnya, semangat dan dedikasi untuk bangsa dan rakyat Indonesia tetap terjaga hingga ke penghujung hidup mereka. Bung Hatta bahkan berjanji untuk tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. (Mohon maaf, bandingkan dengan generasi sesudah mereka yang begitu kebarat-baratan meski hanya “belajar” tentang Barat dari televisi).

Apakah televisi pernah menuturkan kisah seperti ini kepada kita? Dengan kekuatan audio visualnya, televisi seharusnya berperan sebagai penyampai semangat dari zaman sebelumnya. Mengisahkan kembali dedikasi para bapak bangsa. Cita-cita mereka. Pengorbanan mereka. Nilai-nilai yang mereka anut agar menjadi panutan. Televisi seharusnya dapat menjadi mesin untuk melawan lupa kita pada sejarah.***