Minggu, September 28, 2008

Memiliki

...
seberapa penting kita memiliki
seberapa jauh arti memiliki
seberapa dalam perlunya rasa memiliki
...
mampukah kekuatan benak mengatasi semua
...
meredam hasrat memiliki
ataupun
meredam rasa takut akan kehilangan
...

INI penggalan posting seorang teman. Sederhana tetapi mengusik. Saya seolah diajak untuk merenung: untuk apa seseorang memiliki? Memiliki apa saja. Bagaimana kita dapat memiliki tanpa takut kehilangan? Apa pentingnya rasa kehilangan? Kehilangan apa saja.

Saya jadi ingat kisah tokoh sufi terkemuka: Ibrahim bin Ad'ham. Di suatu fase spiritualnya, beliau meninggalkan segala urusan dunia. Siang malam diabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan. Sampai pada suatu saat, Ibrahim berjumpa dengan seseorang dan menanyakan perihal kehidupannya tersebut.

Ternyata ia mulai laku hidup seperti itu setelah melihat seekor burung yang terbujur tak berdaya di atas tanah. Sayapnya patah. Ibrahim membatin: “Burung ini tidak akan dapat hidup dan sebentar lagi pasti akan mati.” Namun tanpa ia duga, ada seeokor burung lain terbang di atasnya. Melemparkan tangkai gandum tepat di depan burung yang terbujur tadi. Tuhan ternyata menjamin rezki untuk burung yang lemah dan tak berdaya sekalipun. Apalagi rezki manusia. “Sejak saat itu,” kata Ibrahim, “aku memasrahkan hidup dan segala urusan duniaku kepada Tuhan.”

Mendengar jawaban Ibrahim, orang tadi bertanya lagi. “Mengapa kau melihat burung yang tak berdaya di atas tanah? Mengapa kau tidak menjadi burung yang terbang? Ia memberi dan berbagi kepada saudaranya yang membutuhkan.” Ibrahim tertegun. Beliau bagai ditampar. Sejak saat itu, selain beribadah, siang hari ia isi juga dengan bekerja dan berbagi kepada sesama.

Kisah Ibrahim ini mengajarkan kepada saya bahwa kita harus memiliki ilmu. Dengan ilmu kita dapat menolong. Menolong diri kita. Menolong orang lain. Menolong sekitar kita. Kita harus memiliki harta. Dengan harta kita memenuhi kebutuhan kita. Tidak jadi beban orang lain. Dengan harta kita dapat berbagi. Kepada siapa saja.

Kita juga harus memiliki pasangan (menikah). Dengan menikah kita dapat bersinergi. Dapat memiliki keturunan yang akan melanjutkan kehidupan. Meneruskan misi memakmurkan bumi dan menolong sesama. Kita harus memiliki teman. Dengan teman kita dapat melakukan hal yang paling mustahil sekalipun.

Bagaimana dengan rasa takut akan kehilangan? Pada kadar tertentu, takut kehilangan tidak selamanya berarti buruk. Dengan perasaan itu, kita akan menjaga apa yang kita miliki. Ilmu, harta, keluarga, teman, dan apa saja yang telah kita raih. Itu bentuk tanggung jawab dan syukur kepada Tuhan yang memberikan (atau tepatnya: “menitipkan”) itu semua kepada kita.

Ketakutan yang berlebihan hanya menjadikan kita seperti penjaga gudang buku. Tidak menginginkan ada ilmu yang dapat diakses oleh orang lain. Menjadikan kita serakah dan terus menerus mengumpulkan harta dengan jalan apa saja tanpa pernah mau membaginya. Ketakutan yang berlebihan juga menjadikan kita begitu posesif dan dominan. Bahkan kepada orang-orang yang sebenarnya kita cintai.

Yang tidak pernah memiliki tidak akan pernah kehilangan. Kalau tidak mau kehilangan, jangan memiliki. Tetapi kita tidak akan dapat berbagi kalau tidak memiliki. Mungkin tujuan mulia dari memiliki adalah untuk berbagi. Untuk memberi kemanfaatan bagi mereka yang tidak memiliki. Dengan niat mulia itu, kita harus memiliki tanpa perlu takut akan kehilangan. Karena toh awalnya kita tidak memiliki apa-apa.***

Inspired by Jolanda.

Sabtu, September 20, 2008

Bintang

TAHAPAN Bintang Satu sampai Bintang Delapan adalah tahapan yang harus kita lalui. Setelah itu menunggu bonus-bonus menggiurkan. Mulai dari perjalanan gratis ke luar negeri, mobil BMW, kapal pribadi (yacht), pesawat pribadi, hingga villa mewah. Begitu katanya dengan penuh semangat menjelaskan. Ini bisnis dahsyat! Saya yang mendengarkan hanya manggut-manggut mafhum. Bukan (atau mungkin belum) tergiur. Saya terpesona dengan perubahan yang terjadi padanya.

Izinkan saya memperkenalkan siapa dia. Adik saya yang satu ini punya kepribadian unik. Setidaknya untuk ukuran kami bersaudara. Hanya dia yang memiliki kelebihan sense of art. Jago gitar, grafis komputer, desain interior. Gaya berpakaiannya menarik. Bahan yang murah sekalipun dapat terlihat menawan bila dia kenakan. Mungkin karena itu, pacarnya cantik-cantik. (Hehehe... untuk urusan yang terakhir ini, jujur saja, bikin saya iri.)

Mungkin karena estetik, sifat sensitifnya begitu menonjol. Rentan pada stress. Tekanan hidup sedikit saja, ditanggapi. Dia berpindah kerja dari satu kantor ke kantor lain, hanya karena merasa tidak 100 persen nyaman. Emang ada kantor yang dapat memberi kenyamanan 100 persen? Kecuali kalau kita yang jadi bos di kantor itu. Hehehe...

Ini memberi semacam efek domino. Ia juga menjadi begitu sensitif pada kegagalan. Untuk memulai sesuatu, selalu terbayang kegagalan dalam benaknya. Aura negatif begitu dominan. Dia jadi lebih senang bermain “aman” dengan memilih yang enak-enak saja. Tidak mau mengambil risiko. Sementara hidup mengajarkan: No Pain No Gain. Tidak mau berani berjuang, yaa... tidak dapat apa-apa! Tetapi itu semua sirna begitu ia mengenal bisnis yang satu ini.

Ia bahkan jadi rajin membaca buku. Saya tidak menyangka bukunya Robert T. Kiyosaki (The Cashflow Quadrant) berhasil dia lahap. Masih ada buku kepribadian yang katanya saat ini ingin diselesaikan. Padahal sebelumnya dia paling malas baca buku. Alasannya: susah mengerti, apalagi buku-buku teks. Tetapi kalau sudah mengerti, kadang jadi lupa. Lama mengerti, cepat lupa. Hmm... kronis bukan?!

Sekarang dia juga jadi lebih antusias. Tidak patah semangat. Lebih positif dalam melihat setiap peluang. Kesuksesan itu katanya seperti mencari angka enam dari lemparan dadu. Dalam satu kesempatan melempar, mungkin angka enam belum keluar. Tetapi mustahil dia tidak akan muncul pada kesempatan lemparan berikutnya. (Waw..ini keajaiban! Sebelumnya dia tidak pernah menyimpan kata bijak sepenggal pun. Karena terpesona dengan pencerahan yang dialaminya, saya sampai lupa mengingatkan agar memeriksa setiap dadu. Pastikan, sebelum melempar, ada angka enam di salah satu sisinya. Hehehe...)

Oh iya, (lagi-lagi karena terkesima) saya jadi lupa menyebutkan “bisnis” yang menjadi pemicunya. Dia tergabung dalam jaringan Tianshi. Setiap anggotanya dipacu untuk mencari sebanyak mungkin downline dan memasarkan sebanyak mungkin produk-produk Tianshi. Semacam kerja marketing. Dari usaha ini, dia akan memperoleh pangkat mulai dari Bintang Satu sampai Bintang Delapan dengan segala bonusnya. Di jenjang yang lebih tinggi, ada penghargaan (reward). Mulai dari perjalanan gratis ke luar negeri, mobil BMW, kapal pribadi (yacht), pesawat pribadi, hingga villa mewah.

Saya berhadap dia akan memperoleh impiannya. Meski sejatinya, dia sudah mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari itu semua. Antusiasme, pantang menyerah, berpikir positif, dan terus menerus memperkaya wawasan dengan ilmu, adalah “bintang” yang sesungguhnya. Harta hidup yang tidak akan pernah lekang dimakan zaman.***

Inspired by Alwan. Go Freedom!