Sabtu, Desember 29, 2007

Qurban dan Hand Phone

BERQURBAN itu mudah kalau dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Berqurban bukan setiap bulan. Tapi setahun sekali. Artinya masih ada 364 hari yang tersedia untuk itu. Sayangnya, ketika saat berqurban tiba, mengeluarkan uang untuk qurban tidak semulus saat hendak membeli sebuah hand phone model terbaru!

Kalau saja kita menabung dua ribu per hari. Dalam waktu 364 hari dapat dikumpulkan uang sebesar 728 ribu. Sudah cukup untuk patungan tujuh orang. Sapi seharga Rp5.096.000 dapat dibeli. Sedangkan untuk berqurban kambing yang harganya Rp2.000.000, cukup menabung Rp5.500 per hari.

Coba cek hand phone yang saat ini ramai dipakai orang Islam. Berapa harganya? Hand phone kelas bawah berkisar 700 ribu. Asumsinya, umat Islam bisa untuk berqurban dengan uang 700 ribu. Bahkan lebih dari itu. Karena harga hand phone jamaknya di atas nominal itu, bukan?

Dalam matematika Islam, usia manfaat qurban sesunguhnya jauh lebih lama daripada apa saja yang ada di dunia. Termasuk hand phone. Ia merupakan investasi akhirat. Waktu sehari di sana sama dengan seribu tahun di dunia. Qurban semacam deposito akhirat yang memberi keuntungan pasif bagi pemiliknya. Tetes darah dan helai bulu hewan qurban dinilai oleh-Nya sebagai kebajikan.

Darah dan daging qurban memang tidak akan sampai ke langit. Allah tidak membutuhkan itu. Sama ketika Habil dan Qabil, dua anak Adam mengajukan qurban. Atau ketika Ibrahim alaihi salam (as) dan anaknya (Ismail as) berserah diri di atas bukit. Ibrahim as siap menyembelih. Ismail as siap disembelih. Hanya ketaatan mereka yang berqurban yang naik ke singgasana-Nya.

Bila diurai, “qurban” diambil dari kata yang berarti “dekat”. Dalam bahasa yang sederhana, qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jalurnya dengan terlebih dahulu mendekatkan diri kepada fakir miskin. Unik. Allah biasanya “bersembunyi” pada obyek yang terabaikan. Seperti fakir miskin, anak yatim, atau orang-orang yang teraniaya.

Perintah qurban dikaitkan dengan banyak nikmat yang telah diterima oleh manusia. Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Begitu bunyi ayat ke-2 surah Al Kautsar. Shalat dan qurban. Dengan nalar manusia, rasanya tidak sebanding. Dan tidak akan pernah senilai. Manusia pun tidak akan dapat menciptakan nikmat sejenis sebagai pengganti.

Satu nikmat saja dari lima panca indera. Ambil contoh penglihatan. Bila dirupiahkan, kira-kira berapakah nilainya? Kalaupun shalat dan qurban itu dianggap sebagai “mata uang” dalam bertransaksi, apakah ia memang setara dengan penglihatan? Bagaimana dengan nikmat lain dari Allah yang tidak dapat dihitung jumlahnya?

Sungguh, Allah Maha Pemurah. Dia hanya meminta mendirikan shalat untuk-Nya dan berqurban. Orang Islam cukup meluangkan waktu untuk shalat. Bukan biaya. Qurban pun cukup dengan uang seharga hand phone kelas bawah!***

Sabtu, Desember 15, 2007

Menikah: Meminang Risiko

CEK kesehatan sebelum nikah. Sebuah majalan bulanan pernah mengangkatnya sebagai headline. Menurutku sangat berlebihan. Terlalu bertele-tele. Kalau sudah siap menikah, yaa menikah saja. Titik! Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan seorang bekas mahasiswi. Kedua anaknya tampak mengidap penyakit genetik.

Setahu saya, di kelas, mahasiswi ini cukup cerdas. Sedikit di atas rata-rata. Dia memutuskan menikah setelah usai kuliah. Sayang, anak pertamanya yang berusia 2 tahun lebih, sampai sekarang belum dapat berjalan. Anak yang kedua, tampak tumbuh normal. Usianya sekitar 7 bulan. Namun tatapan matanya terlihat “kosong”. Seperti tanda anak yang terbelakang mental.

Entah, gen “penyakit” itu datang dari mana. Dia atau suaminya. Tapi mungkin ini dapat dihindari dengan melakukan tes kesehatan sebelum menikah. Dari situ akan tampak seberapa besar risiko yang harus mereka pertaruhkan untuk menikah. Ah, rasanya seperti berjudi. Melibatkan hitung-hitungan bisnis yang dengan kaku menimbang untung rugi. Is it possible?

Kita mulai dari yang sederhana dulu. Tanpa tes kesehatan. Misal, satu dari pasangan yang akan menikah mengidap asma. Atau punya riwayat keluarga yang mengidap asma. Risikonya, anak mereka akan berpeluang mengidap asma. Apakah mereka siap dengan risiko ini? Bagaimana dengan riwayat kesehatan yang lebih menakutkan. Seperti jantung, keterbelakangan mental, atau kanker. Kalau siap, go on. Kalau tidak, yaa mereka harus memilih!

Nah, ini yang tidak mudah. Memilih. Saat cinta berkobar. Saat totalitas niat untuk bersama telah menyatu. Memutuskan bukanlah gampang. Apalagi keduanya berada di ranah yang berbeda. Cinta di alam perasaan. Sementara pilihan-pilihan tadi ada di alam pikiran. Celakanya, keputusan rasional ini akan berdampak secara emosional. Seperti simalakama. Memenangkan rasio berarti mencampakkan cinta. Memenangkan cinta berarti siap untuk dikutuk rasio sepanjang hidup saat “hantu” yang dikhawatirkan betul-betul muncul meneror.***

Rabu, November 28, 2007

Riset Radio

TIDAK sedikit siaran radio yang digagas berawal dari hobi. Atau keisengan yang mengasyikkan. Alhasil, riset pun dianggap sebagai suatu hal yang “mewah”. Terlalu mengawang-awang jika ingin diperbincangkan. Apalagi untuk dijalankan. Padahal, sejatinya inilah yang menjadi rujukan yang tepat dalam pengambilan segala keputusan strategis di radio. Mulai dari bidang teknis, manajemen, keuangan dan marketing, hingga programming. Koq bisa?

Di tingkat teknis, riset dibutuhkan untuk mengenal geografi dan topografi wilayah yang menjadi target gelombang radio (coverage area). Data riset akan digunakan untuk menentukan jenis gelombang (FM atau AM) yang tepat untuk menjangkau target audiens. Termasuk mengantisipasi kemungkinan area blank spot yang tidak dapat (atau tidak perlu) dilayani. Menentukan tinggi antena, arahan, serta daya pancar proporsional yang dibutuhkan.

Untuk menentukan visi, misi, serta tujuan radio sebagai sebuah perusahaan dibutuhkan data penunjang yang diperoleh dari riset. Gunanya agar ketiga hal tersebut mungkin untuk dijadikan acuan. Karena manajemen merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan. Manajemen selalu berawal dari perencanaan. Perencanaan akan kacau balau bila didukung oleh data yang tidak valid. Mengada-ngada. Antara ada dan tiada. Atau hanya berdasar pada khayal semata.

Riset juga penting untuk perencanaan keuangan dan marketing. Data riset akan membantu kita dalam memperkirakan potensi pasar. Pasar pendengar. Pasar iklan. Pasar program: musik dan informasi. Musik jenis apa yang diminati. Informasi seperti apa yang dibutuhkan. Radio akan terpandu untuk membuat program yang dapat menyedot pendengar. Makin banyak pendengar yang dapat diraih, makin mudah pula ia meyakinkan dan menarik donatur. Temasuk pemasang iklan.

Bukan itu saja, riset juga akan membawa radio pada penemuan peluang-peluang emas yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan pendapatan tambahan di luar iklan. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan off air. Dengan dapat terprediksinya uang yang masuk (dan uang yang keluar) sangat membantu dalam menetapkan dua hal penting. Pertama, titik keseimbangan nominal antara pengeluaran dan pemasukan (break event point). Kedua, periode kembalinya biaya investasi (pay back period).

Melihat hasil “dahsyat” yang dapat diperoleh melalui riset, mungkin kita berpikir biaya risetnya pasti “dahsyat” juga! Bisa iya, bisa tidak. Bergantung pada besar investasi yang dipertaruhkan. Makin besar investasi, sebaiknya budget riset juga dialokasikan secara khusus. Tapi bagi radio lokal yang modalnya cekak, entah itu swasta atau komunitas, riset dapat dilakukan juga dengan sederhana. Intinya, kita berupaya memperoleh data secara faktual. Data yang kita kumpulkan obyektif, apa adanya. Tidak boleh dicemari oleh rencana, dugaan, apalagi mimpi kita.

Riset berangkat dari kejujuran. Jangan kecewa bila mungkin apa yang kita dapatkan berbeda dengan yang kita sangka sebelumnya. Kita harus memperlakukan data dengan hormat. Data itu yang akan menjadi pandu bagi radio yang akan arung. Lebih baik terlambat (on air) dari pada terlanjur. Adalah sebuah kerepotan yang fatal bila kita melaras pesawat saat mengangkasa. Bukankah akan lebih aman dan nyaman bila itu dilakukan ketika masih di hanggar? Mungkin saya salah, tapi itulah pendapat saya.***

(Inspired by Djoko W. Tjahjo & Harley Prayudha)

Minggu, Oktober 07, 2007

Melawan Lupa

BERTANYALAH kepada publik tentang kisah hidup Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Sjafruddin Prawiranegara, atau para bapak bangsa yang lainnya. Boleh jadi beberapa nama dari mereka justru terdengar asing. Mengapa? Karena televisi sebagai media populis, tidak pernah memperkenalkan sosok-sosok patriotik itu. Tentang sikap, kepribadian, dan kebersahajaan hidup mereka. Sebagai bangsa, Indonesia tumbuh seperti anak yang tidak mengenal ayahnya sendiri.

Mohammad Natsir, saat menjadi perdana menteri (1950-1951), pernah kebingungan di Malaysia karena tidak memiliki uang untuk pulang ke Indonesia. Soekarno tetap hidup sederhana meskipun ia Presiden dengan pangkat Panglima Besar Revolusi. Saat membeli lukisan, tidak jarang dia berutang dan membayarnya dengan cara menyicil. Di penghujung jabatannya, untuk membeli rambutan pun, Bung Karno pernah meminjam uang kepada ajudan pribadinya, Putu Sugianitri.

Memang betul, Bung Karno pernah membuat kesalahan. Saat menjadi presiden, ia memenjarakan sejumlah aktivis yang dahulunya adalah kawan seperjuangannya. Ia bahkan memenjarakan ulama terkemuka, Hamka. Namun sungguh sebuah kebesaran jiwa. Hamka yang dahulunya ia bui, justru dia jugalah yang memimpin shalat dan doa ketika Bung Karno wafat. Hamka seolah mengajarkan kepada kita, perjuangan Bung Karno jauh lebih besar dan bernilai daripada kesalahan atau kekhilafan yang pernah ia perbuat. Dia adalah Bapak Bangsa. Sudah seharusnya beliau diperlakukan dengan penuh hormat.

Ketika menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta punya keinginan yang sangat pantas. Ia bermimpi, kalau punya uang, ingin membeli sepatu Bally (produk buatan Swiss yang sampai kini dikenal sebagai merek barang supermewah). Bung Hatta menggunting iklan sepatu Bally yang ingin dibelinya itu dari sebuah harian yang terbit di Ibu Kota. Kliping iklan tersebut sengaja ia simpan supaya jika kelak punya uang, Bung Hatta langsung ke toko untuk mewujudkan impiannya. Siapa sangka, Bung Hatta tidak dapat memakai sepatu Bally impiannya sampai ia tutup usia.

Sutan Syahrir gemar mendengarkan lagu-lagu Belanda dengan megaphone yang suaranya terdengar ke seantero Pulau Banda (saat ia dan beberapa tokoh pergerakan Indonesia diasingkan oleh Belanda di sana). Bung Karno kerap menggunakan istilah Belanda (atau bahasa asing) ketika berpidato. Sama dengan Bung Hatta, yang saat tidur pun, mengigau dengan bahasa Belanda.

Mereka semua “produk” pendidikan Eropa. Namun ajaibnya, semangat dan dedikasi untuk bangsa dan rakyat Indonesia tetap terjaga hingga ke penghujung hidup mereka. Bung Hatta bahkan berjanji untuk tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. (Mohon maaf, bandingkan dengan generasi sesudah mereka yang begitu kebarat-baratan meski hanya “belajar” tentang Barat dari televisi).

Apakah televisi pernah menuturkan kisah seperti ini kepada kita? Dengan kekuatan audio visualnya, televisi seharusnya berperan sebagai penyampai semangat dari zaman sebelumnya. Mengisahkan kembali dedikasi para bapak bangsa. Cita-cita mereka. Pengorbanan mereka. Nilai-nilai yang mereka anut agar menjadi panutan. Televisi seharusnya dapat menjadi mesin untuk melawan lupa kita pada sejarah.***

Jumat, September 07, 2007

Televisi & Potret Nasionalisme

TELEVISI merupakan media massa yang penetrasinya begitu luas di tanah air. Iamemiliki kekuatan untuk mengarahkan perhatian dan membentuk persepsi publik. Ironisnya, isi program televisi tidak menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai yang menjadi filosofi bangsa. Itulah sebab mengapa televisi memiliki andil dan bertanggung jawab atas redupnya sikap nasionalisme kita saat ini.

Seorang ilmuwan pernah berseloroh: “Untuk mengatahui nasionalisme sebuah bangsa, lihat saja siaran televisinya.” Bila menyimak televisi, akan ditemukan ideologi liberal dalam berita, talk show, hingga infotainment. Ada hedonisme, sadisme, dan peneguhan stereotype negatif dalam sinetron. Pun akan tersibak konsumerisme dan kapitalisme dalam iklan. Inilah nilai yang mendominasi televisi Indonesia.

Menurut catatan resmi, hingga Amerika Serikat (AS) angkat kaki dari Vietnam tahun 1975, Washington telah mengirim total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, sekitar 57.000 orang tewas, 300.000 cedera/cacat, sekitar 700 ditawan, dan lebih kurang 5.000 orang hilang. Fakta ini tidak diketahui oleh semua orang di dunia. Karena ketika perang Vietnam berkecamuk, media Barat bias dan pro pada kepentingan AS.

AS adalah contoh negara yang pandai memanfaatkan audio visual (televisi dan film) sebagai medium untuk membangkitkan nasionalisme publik dalam negeri. Juga membentuk mimpi Amerika (American Dream) publik dunia. Banyak liputan berita dan film yang dengan sengaja didanai atau disponsori oleh negara untuk tujuan propaganda. Sebut saja film “Top Gun“, “Star Wars“, “Broken Arrow“, “Black Hawk Down“, atau “Pearl Harbor“.

Kita juga mungkin masih ingat kontroversi film “300″ beberapa bulan lalu. Film ini berkisah tentang 300 tentara Sparta Yunani mengalahkan ratusan ribu tentara Persia. Persia adalah induk budaya Iran, negara yang sekarang sedang menjadi sasaran tembak baru AS di Timur Tengah. Sebelum AS benar-benar menghajar Iran, Hollywood diutus untuk menggambarkan Persia sebagai peradaban barbar yang layak jika kemudian dimusnahkan. Dan itu terlukis dengan apik dalam film “300″.

Sebelum menyerang Afghanistan dan Irak, media AS terlebih dahulu memberi cap “bandit” pada Osama bin Laden dan Saddam Husein. Bush pun kemudian mendapat angin untuk meluluhlantakkan kedua negara tersebut. Meski dengan tindakan sebrutal itu, CNN dan sejumlah televisi AS tidak pernah member label “Penjahat Perang” kepada Bush karena telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan di Afganistan dan Irak.

Bercermin dari itu semua, tampak bahwa Indonesia belum memiliki strategi audio visual sebagai sebuah bangsa. Video clip lagu “Bendera” (dari group Coklat), dapat menjadi awal yang baik untuk menularkan kecintaan pada bangsa ke generasi muda. Semangat patriotik sangat terasa dalam lagu ini. Sayangnya, ia hanya muncul sehari di televisi ketika 17 Agustus lalu.

Kita membutuhkan program televisi yang mengawal nasionalisme secara utuh. Bukan nasionalisme dadakan yang surut ketika pemicunya reda. Seperti hanya ketika Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew melecehkan Indonesia. Atau ketika Ketua Tim Wasit Karate Indonesia dikeroyok oleh oknum Polisi Malaysia. Televisi harus mengambil peran dalam menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dan kuat. Bangsa yang bermartabat dan disegani.

Terkadang saya ingin melihat di televisi Indonesia, tampil pemimpin yang memukau seperti Bung Karno. Yang membangkitkan nyali kita sebagai bangsa yang besar. Pemimpin yang dengan tegas menolak bantuan luar negeri demi harga diri bangsa. Yang dengan gagah berani melawan dominasi AS dan keluar dari PBB. Yang dengan lantang pernah berkata: “Ganyang Malaysia!”***

Minggu, Agustus 05, 2007

Great Man is ...?

HARI itu, saya punya janji dengan seorang mahasiswa pukul 10 pagi. Kami akan mendiskusikan teori yang digunakannya dalam penelitian. Namun via sms saya memajukannya ke jam 9. Alasannya (mungkin) sepele. Jam 10 saya harus menjemput Si Sulung pulang sekolah. Mahasiswa itu pun sepakat jadwal pertemuan dimajukan. Karena dia juga berpendapat kalau “keluarga adalah segalanya”. Oleh karenanya harus didahulukan. Lebih dari itu, dia berhasil mengusik kesadaran saya tentang definisi “ayah yang baik”.

“…family is everything…great man is a great dad.” Begitu penggalan sms yang ia kirim menyertai persetujuannya memajukan jadwal diskusi. Bagi dia, mungkin rangkaian kata itu hanyalah semacam “alasan persetujuan”. Namun tidak bagi saya. Penggalan sms itu seolah menjadi sendok. Ia mengaduk kembali cairan konsep “ayah yang baik” yang tersimpan dalam gelas kepala. Apa sesungguhnya “ayah yang baik” itu? Bagaimana menjadi ayah yang baik? Apakah saya termasuk ayah yang baik? (Ah, rasanya pertanyaan yang terakhir ini bukan hak saya untuk menjawabnya.)

Mungkin kita bisa berkata: Ayah yang baik adalah ayah yang memenuhi kebutuhan lahir dan batin anak-anaknya. Memenuhi kebutuhan materil. Memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual. Tapi rasanya itu terlalu ideal. Saya jadi pesimis para ayah sanggup memenuhinya. Beberapa ayah berhasil memenuhi keinginan materil anaknya saja. Mencukupi kebutuhan. Membiayai sekolah hingga ke perguruan tinggi. Tapi hasilnya nihil. Ia justru menjadi “sapi perahan” si anak. Apakah dia contoh ayah yang baik?

Di jalan dekat rumah jabatan gubernur, saya pernah melihat pemulung. Si anak duduk di dalam gerobak. Ayahnya mengayuh gerobak yang telah diubah menjadi gerobak-becak. Mereka bersama mencari plastik, botol, kaleng, dan sampah yang dapat ditukar dengan recehan rupiah. Mengajak anak usia bermain untuk mengais rezeki apakah ciri ayah yang baik? Bisa jadi, iya. Di sinilah si anak dididik untuk menghadapi realitas hidup.

Dalam Al Qur’an, Lukman dan Nabi Ibrahim kerap menjadi rujukan sosok “ayah yang baik”. Tidak ketiggalan pula Nabi Ya’qub yang dikisahkan memiliki duabelas orang anak yang kelak menjadi cikal bakal Bani Israil. Nabi Yaqub adalah anak Nabi Ishak (putra Ibrahim) dan ayah dari Nabi Yusuf. Mereka menjadi contoh “ayah yang baik” antara lain karena pengajaran yang mereka berikan tentang ketuhanan, kesabaran, dan akhlak yang mulia.

Namun bagaimana bisa seseorang dapat mengajarkan sesuatu kalau ia tidak memiliki sesuatu yang baik untuk diajarkan. Artinya, kita baru dapat mengajari anak, setelah kita telah berhasil mengajari dan mengisi diri kita sendiri. Nah, ini yang tidak mudah. Karena seorang ayah harus bertarung melawan dan menaklukan egonya. Itu pun bukan jaminan. Faktor penerimaan anak itu sendiri juga turut menentukan apakah seseorang dapat sukses menjadi “ayah yang baik”. Karena anak Nabi Nuh sendiri membangkang pada ajaran dari sang ayah yang paripurna ilmunya. Jadi, beruntunglah lelaki yang berhasil menjadi “ayah yang baik”. Karena mereka telah menjadi lelaki yang luar biasa sepanjang hidupnya. Great dad is a great man!***