Sabtu, November 22, 2008

Hikayat Raksasa Tidur dan Bis Kota

MEDIA massa akan selalu berusaha mencuri perhatian kita. Dengan sukarela atau terpaksa. Dengan sadar atau tidak. Kita dapat saja ‘tersandera’ setiap hari. Sejak mulai bangun hingga tidur kembali. Lepas tangkap dalam genggaman media. Dalam cerita, ada kisah seseorang yang menderita dalam penyanderaan. Dalam cerita pula, ada kisah seseorang yang justru jatuh cinta oleh penyanderanya. Kita kepingin menjadi orang yang kedua: tersandera namun bahagia.

RRI Kendari 20 November lalu melakukan sebuah diskusi untuk mencari formula ‘jatuh cinta’ tadi. Akademisi, praktisi, dan pemerhati dikumpulkan untuk membedah acara Pro 1, Pro 2, dan berita RRI Kendari. Bagi saya ini langkah maju. Publik diperlakukan sebagai manusia yang memiliki telinga. Bukan dilihat sebagai telinga yang menempel di kepala manusia. Dengan formula ini, diharapkan, tidak akan terjadi pengabaian publik terhadap media. Bahkan mereka ingin (dan berterima kasih bila) ‘tersandera’.

Saya sangat terkesan dengan ungkapan Harianto Adi. RRI tidak ditinggalkan pendengarnya. RRI-lah yang meninggalkan pendengarnya. Harianto Adi adalah nahkoda RRI Kendari. Yang pernah menonton berita TVRI, pasti familiar dengan wajahnya. Dari bincang-bincang kami, rasa-rasanya akan ada perubahan signifikan dalam tubuh RRI Kendari. Setidaknya, visinya menjanjikan hal itu. Lalu mungkin kita akan bertanya: apa pentingnya hal ini diobrolkan? Who care?!

Jangan lupa, RRI Kendari memiliki peran strategis di Sulawesi Tenggara dengan jaringan dan jangkauan siarannya (coverage area). Masyarakat di kota maupun kecamatan mungkin saja diterpa oleh media nasional. Namun media itu tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan (dengan selera) lokal. Hanya radio yang dapat memainkan peran itu hingga ke pelosok. Menyapa mereka yang buta huruf sekalipun. Dengan potensi ini, sayang sekali kalau tidak diberdayagunakan untuk kepentingan publik. Ibarat raksasa yang sedang tidur, ia harus dibangunkan.

Jika ingin dipersonifikasikan, publik mungkin akan menggambarkan RRI dengan sederet kata yang kurang mengenakkan. Misalnya: tua, kaku, tidak kreatif, konservatif, membosankan, atau pembela pemerintah. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengubah citra tadi yang terlanjur menempel dalam kebanyakan kepala orang saat ini. Karena citra ini bermula dari muatan (content) siaran, maka untuk memperbaikinya pun harus di titik itu. Titik yang menjadi rujukan setiap kepala sebelum mencitra.

Untuk mengubah citra ini, perlu dilakukan fokus (usia) audiens. Itu usul sederhana saya (karena yang mungkin akan tidak sederhana adalah penerapannya, hehehe…). Makin spesifik pendengar yang dibidik, makin mudah pula merumuskan ide, mengemasnya dalam acara yang menarik, serta mengevaluasinya. Pendengar dengan latarbelakang usia, dengan kelas sosial dan gaya hidup beragam, hanya menguras energi dan menciptakan bias yang banyak. RRI mungkin punya niat mulia: ingin melayani semua lapisan masyarakat. Seperti bis kota. Namun itu tidak dapat melawan karakter medium radio yang personal. Karena ia personal, maka dibutuhkan sentuhan (treatment) personal pula.

Mengapa RRI Kendari terkesan malu-malu untuk membidik pendengar dewasa hingga paruh baya (25 – 45 tahun)? Padahal kecenderungan menunjukkan merekalah yang menjadi pendengar RRI (Pro 1 dan Pro 2). Kalaupun melakukan bedah acara, akan ditemukan kepada merekalah mayoritas acara ditujukan. Dengan fokus audiens, positioning Pro 1 (menengah ke bawah, bergaya hidup sub-urban/pedesaan) dan Pro 2 (menengah ke atas, gaya hidup urban) dapat lebih dipertajam.

Dalam praktiknya tentu tidak akan semudah memaparkannya dalam sebuah tulisan ringkas. Karena banyak variabel lain yang ikut menentukan keberhasilannya. Mulai dari sumber daya manusia (kualitas dan etos kerjanya), keuangan (pembiayaan program), hingga sejumlah aturan internal di tubuh RRI dan tekanan-tekanan eksternal yang mengelilinginya. Meski demikian, selalu ada ruang yang dapat digunakan untuk berbuat. Bukan begitu?!***

Inspired by Mas Harianto Adi.

Senin, November 10, 2008

Jurnalis atau Politisi?

DALAM Pemilu 2009, (sedikitnya) ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan ikut bertarung dengan calon anggota legislatif lainnya. Begitu tulis Ignatius Haryanto dalam opininya yang dimuat harian Kompas (7/11/2008). Ini fenomena menarik. Berbeda dengan selebriti yang mengandalkan ketenaran dan citra dirinya, jurnalis memiliki keahlian dan peran yang signifikan dalam komunikasi politik. Seperti apakah peran dan “kekuasaan” mereka?

Disadari atau tidak, wartawan sebenarnya telah menjadi komunikator politik. Sama halnya dengan para politisi. Dengan profesi yang digelutinya, wartawan menjadi penyampai pesan-pesan politik dari elit kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Mereka bahkan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengarahkan opini publik. Sesuatu yang tidak dapat dimainkan secara langsung oleh para politisi.

Melalui instrumen berita, editorial, atau diskusi yang disiarkan melalui media elektronik (talk show), jurnalis memiliki andil dalam memilih dan menempatkan sejumlah isu ke dalam agenda media. Dengan kekuatan media massa, hal-hal yang awalnya (hanya) menjadi agenda media, kemudian menjadi agenda publik. Inilah yang lalu membentuk apa yang disebut sebagai opini publik.

Bagitu banyak isu politik yang berkembang di masyarakat, wartawan (dengan “kekuasaannya”) hanya memilih isu-isu tertentu. Konsekuensinya, beberapa isu lain terabaikan. Setelah memilih isu tersebut, mereka mengemasnya dalam format dan sudut pandang tertentu pula.

Tidak sampai di situ saja, mereka juga memberi derajat penekanan yang berbeda-beda atas setiap isu. Misalnya ada isu yang diangkat menjadi berita utama (headline) dan dipublikasikan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi. Sementara isu lain, disajikan secara moderat atau rendah.

Ilmuwan seperti Bernard C Cohen melihat para pelaku politik cenderung mempercayai bahwa media massa (tempat para jurnalis bekerja) mempunyai kemampuan untuk mengetahui “pikiran masyarakat” Dalam kenyataannya, banyak pejabat yang memperlakukan pers dan pendapat umum sebagai sesuatu yang sama (sinonim), baik secara terang-terangan mempersamakannya, atau menggunakannya secara bergantian.

Dengan sistem politik di mana oligarki partai politik begitu kuat seperti di Indonesia, ada kekhawatiran para jurnalis, seperti halnya selebriti, hanya akan menjadi pion-pion kekuasaan. Mereka akan masuk dan menjadi bagian dari sebuah kelompok elit eksklusif yang melihat segalanya dari kacamata kepentingan partai yang parsial. Ironi, namun ini sulit untuk dihindari.***

[versi detail]