Senin, Mei 01, 2006

Gelinding Buruh

BOLA salju itu bernama buruh Indonesia. Sejak mulai menggelinding saat turunnya Presiden Soeharto, massanya terus dan terus bertambah. Fantastik! Sebelumnya kita tidak pernah menyangka, mereka bisa tumpah ruah di Jakarta. Juga tidak pernah menduga, mereka bisa bergerak seirama dengan elemen-elemen buruh di daerah di luar Jakarta.

Karl Marx (1818-1883) melihat masyarakat dibangun dari pertentangan dua kelas: pemilik modal (kapitalis) dan pekerja. Kelas kapitalis adalah kelompok elit (borjuis) yang memiliki sarana-sarana produksi. Sedangkan kelas pekerja adalah kelompok orang yang dieksplotasi.

Mereka adalah kaum miskin (proletar) yang tidak memiliki sarana-sarana produksi. Salah satu konsekuensi dari pola eksploitasi ini, menurut Marx, pekerja akan mengalami alienasi atau keterasingan diri. Pertama, alienasi dari hasil-hasil pekerjaannya. Mereka tidak dapat menikmati upah yang manusiawi.

Kedua, alienasi dari pekerjaan mereka sendiri. Bekerja menjadi sebuah ritual yang monoton dan terprogram menurut kehendak pemilik modal. Terakhir, pekerja akan menjadi robot yang teralienasi dari hakekat manusiawi mereka. Sebagai manusia yang bebas, sadar, dan memiliki keunikan personal.

Dalam Manifesto Komunisnya, Marx mengajak buruh untuk bersatu. Agar memenangkan konflik dengan para borjuis. Bila kapitalisme dikalahkan, Marx memimpikan lahirnya sebuah masyarakat tanpa kelas yang dibangun oleh para pekerja. Dalam masyarakat imajiner ini, setiap orang (siapa pun dia), akan bekerja menurut kemampuan dan menerima sesuai dengan kebutuhannya.

Seabad lebih setelah kepergiannya, kita memang belum menemukan lahirnya sebuah masyarakat tanpa kelas seperti yang dikhayalkan Marx. Bahkan di negara-negara penganut paham komunis sekalipun. Masyarakat tanpa kelas memang mustahil akan terwujud. Utopis. Namun ide untuk memperjuangkan nasib buruh, kelas pekerja yang tertindas, tidaklah utopis.

Nabi Musa a.s. setidaknya telah memberi inspirasi pertama tentang keberhasilan perjuangan tersebut. Ia dan saudaranya Harun a.s., berhasil memimpin perjuangan kaum buruh dari Bani Israil yang dipekerjakan sebagai budak di Mesir. Firaun adalah respresentasi dari kaum borjuis yang dzalim dan melampaui batas.

Kita pernah menemukan dalam sejarah Indonesia, bagaimana kelas buruh dan tani dirangkul oleh Partai Komunis sebagai basis kekuatan mereka. Hasilnya sangat memilukan. Karena kelas buruh hanya menjadi alat mobilisasi kepentingan politik Aidit dan kawan-kawan. Label “buruh” pun kemudian menjadi sebuah stigma yang buruk di kepala bangsa Indonesia. Alih-alih ingin diangkat kesejahteraan hidupnya, buruh justru makin terjepit.

Kini buruh tampil lagi sebagai sebuah kekuatan massa yang cukup signifikan. Ia terus menggelembung. Cepat atau lambat buruh akan disunting oleh sebuah kekuatan politik. Atau dapat saja mereka akan muncul sebagai sebuah kekuatan politik baru dan besar seperti Partai Buruh di Inggris. Dengan atmosfir politik sekarang ini, kedua pilihan tadi merupakan keniscayaan. Karena itulah akses untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja.

Kita menunggu. Dan bola salju ini akan terus menggelinding dan menggelinding.***