Rabu, Januari 08, 2014

Batu


ENTAH malaikat atau setan yang menginspirasinya. Yang pasti pagi itu saya diberi gelar: Batu! Dari konteks percakapan kami, sepertinya gelar itu diberikan karena saya (rasanya) kurang dapat berempati. Buta hati gitu. Mungkin juga karena tidak punya sense of romance saat kami membahas satu lagu dari Adele. Menurut dia, lagu itu bagus. Tapi menurut saya lagu itu lebay. Maaf, judulnya tidak dapat saya sebutkan. Lupa. Emang penting ya?! Karena takut ada yang marah, nama teman itu tidak saya sebutkan di tulisan ini. Hehehe.. Suka-suka yang nulis kan?! Saya sih tidak masalah dijuluki “batu”. Alasan saya sederhana: Selalu ada sisi positif dari setiap gelar. Tsah!

Batu awalnya membawa ingatan saya pada Nabi Daud (alaihi salam). Dengan berbekal batu, ia berhasil mengalahkan tentara Jalut (Goliath) yang saat itu menguasai wilayah Palestina. Terinspirasi dari senjata Daud ini, gerakan intifadah dibangkitkan. Pemuda dan bahkan anak-anak Palestina menantang senjata dan tank Israel hanya dengan berbekal batu. Tetapi di sisi lain, Daud juga diklaim oleh Israel. Mereka percaya, Bintang David yang kini menjadi bendera Israel adalah gambar yang tertera pada tameng yang digunakan David (Nabi Daud) saat memenangkan pertarungan melawan Goliath (Jalut). Saya masih sulit membayangkan bagaimana dua pihak yang berseteru menjadikan orang yang sama sebagai motivator kemenangan. Di sini saya ingin melihat batu dari cara pandang yang lain. Sejujurnya, cara pandang ini banyak dipengaruhi sajak Abdul Hadi Wiji Muthari.

Rabu, Januari 01, 2014

Drama Kalender (Baru)


AJAIB, jarak 1 Januari dan 31 Desember itu setahun, bukan sehari?! Padahal matahari terbit pada 1 Januari seperti biasa, seperti pada hari sebelumnya. Cahayanya muncul di sela-sela awan. Kumpulan kapas putih nun tinggi di angkasa itu berarak, sesekali membawa mendung. Burung berkicau. Anak ayam mencicit mencari induk mereka. Semuanya berjalan seperti biasa. Ternyata biasa di alam nyata, dapat menjadi luar biasa di dalam kalender. Hebat kan? Malam tanggal 31 Desember juga sebenarnya adalah malam yang biasa. Semuanya berubah menjadi drama setelah manusia berkumpul, menerbangkan kembang api, membunyikan petasan dan terompet. Drama. Drama. Drama. Manusia suka drama. Menciptakannya. Menikmatinya. Meski sebenarnya itu biasa-biasa saja. Penanggalan bukankah soal angka? Pada akhirnya rasa yang menentukan nilainya.

Bayangkan, sejam duduk bersama orang yang kita rindukan, rasanya seperti semenit. Sementara semenit duduk bersama orang yang tidak kita harapkan, rasanya seperti sejam (atau mungkin lebih). Mengapa hukum waktu menjadi batal? Sejam secara matematis berarti 60 menit. Tetapi dengan alat pengukur dalam diri kita (yang entah apa namanya), waktu itu bisa berarti 60 detik atau 60 jam. Kepada rasa kita bergantung, kita berhitung. Karena di luar diri, semuanya hanya nomor tanpa makna. Hari muncul sebagai deretan angka dalam kalender. Kita menyebutnya tanggal. Setelah berjejer sebanyak 365 atau 366, keseluruhan angka itu disebut tahun.