Rabu, Januari 01, 2014

Drama Kalender (Baru)


AJAIB, jarak 1 Januari dan 31 Desember itu setahun, bukan sehari?! Padahal matahari terbit pada 1 Januari seperti biasa, seperti pada hari sebelumnya. Cahayanya muncul di sela-sela awan. Kumpulan kapas putih nun tinggi di angkasa itu berarak, sesekali membawa mendung. Burung berkicau. Anak ayam mencicit mencari induk mereka. Semuanya berjalan seperti biasa. Ternyata biasa di alam nyata, dapat menjadi luar biasa di dalam kalender. Hebat kan? Malam tanggal 31 Desember juga sebenarnya adalah malam yang biasa. Semuanya berubah menjadi drama setelah manusia berkumpul, menerbangkan kembang api, membunyikan petasan dan terompet. Drama. Drama. Drama. Manusia suka drama. Menciptakannya. Menikmatinya. Meski sebenarnya itu biasa-biasa saja. Penanggalan bukankah soal angka? Pada akhirnya rasa yang menentukan nilainya.

Bayangkan, sejam duduk bersama orang yang kita rindukan, rasanya seperti semenit. Sementara semenit duduk bersama orang yang tidak kita harapkan, rasanya seperti sejam (atau mungkin lebih). Mengapa hukum waktu menjadi batal? Sejam secara matematis berarti 60 menit. Tetapi dengan alat pengukur dalam diri kita (yang entah apa namanya), waktu itu bisa berarti 60 detik atau 60 jam. Kepada rasa kita bergantung, kita berhitung. Karena di luar diri, semuanya hanya nomor tanpa makna. Hari muncul sebagai deretan angka dalam kalender. Kita menyebutnya tanggal. Setelah berjejer sebanyak 365 atau 366, keseluruhan angka itu disebut tahun.

Bayangkan jika tidak ada kalender, tidak ada jam dinding atau jam tangan. Bayangkan jika tak ada nama hari, tak ada nama bulan, apalagi tahun. Yang ada hanya pergantian pagi, siang, dan malam. Di saat malam, bintang dan bulan yang jadi penanda. Sesederhana itu. Bumi pun kita biarkan menggelinding dan mengitari matahari tanpa beban hitungan. Mungkin dunia dan penghuninya akan lebih bahagia. Dalam waktu tertentu, kalender bisa disebut sebagai biang kegilaan sesaat. Iya, seperti drama yang dipentaskan di tempat keramaian saat Pesta Pergantian Tahun. Sebenarnya apa yang dirayakan?

Kalender dan drama memang sulit dipisahkan. Ada harapan, getir, impian, kecemasan, semua rasa bercampur aduk. Ada tanggal yang kita nanti karena rasanya begitu indah, seolah semua jalan yang kita lalui terhampar permadani dari aneka rupa kembang dan bunga. Demikian pula sebaliknya, ada tanggal yang selalu membawa kita pada keadaan yang begitu menekan. Yang kerja berteman deadline pasti tahu rasanya. Bagaimana bisa kebahagiaan atau keadaan suasana hati manusia dengan begitu mudah ditentukan oleh angka-angka yang mereka buat sendiri?

Saya percaya, kalender itu awalnya diciptakan untuk menjadi alat bantu hitung. Manusia butuh penanda. Untuk mengenang sebuah peristiwa dan mengambil pelajaran padanya, agar tidak lupa. Untuk merencanaka masa depan, agar hidup lebih terarah dan terencana. Iya kan? Saya hanya terusik dengan drama berlebihan yang dibuat-buat pada beberapa tanggal yang sebenarnya biasa-biasa saja. Karena kita yang membuat kalender, kita pulalah yang harus mengendalikan tanggal demi kebaikan kita.

Eh tapi tunggu dulu, kalau manusia yang membuat kalender jadi suka-suka orang dong mau ngapain? Iya kan? Yang mau ke tempat ibadah saat pergantian kalender, silahkan. Yang mau have fun juga silahkan. Yang mau bermain drama (hingga berapa babak pun), silahkan. Kalender kan kalender dia?! Argumentasi saya tadi rasanya egois karena hanya menunjukkan versi “masuk akal”. Maksudnya akal saya, hehehe.... Tapi lagi-lagi, boleh dong orang menggunakan versi akal mereka sendiri. Misalnya dengan merasakan Pesta Pergantian Tahun sebagai ruang publik untuk rendezvous. Tidak perlu saling kenal. Asal bisa kumpul. Atau mereka yang tidak dekat dengan rumah Tuhan (dan terus ditimpa kemalangan di tahun sebelumnya) meniatkan Pesta Pergantian Kalender sebagai ritual buang sial. Who knows?!***

Tidak ada komentar: