Minggu, Desember 22, 2013

Mengapa Harus (Hari) Ibu, bukan Ayah?



LEBIH tepat tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Pergerakan Perempuan, bukan Hari Ibu. Mengapa? Jika membuka catatan sejarah, pada 22 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Dari situ kemudian dimulai serangkaian pertemuan antara berbagai organisasi atau perkumpulan perempuan Indonesia. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, kongres ini terakhir digelar pada Juli 1941 (Kongres IV) di Semarang. Saya belum menemukan catatan mengapa tiba-tiba tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Ibu. Bukankah tidak semua perempuan akan menjadi ibu, seperti halnya tidak semua lelaki akan menjadi ayah?

Terlepas dari kekeliruan sejarah yang belum saya temukan jawabannya itu, tiba-tiba terngiang dalam benak saya sebuah pertanyaan: Mengapa harus ibu, bukan ayah? Dalam tradisi Islam mashur sebuah hadist yang memposisikan ibu lebih tinggi tiga tingkat dari ayah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: Siapakah yang berhak aku layani? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu. Saya bukan ahli hadist, jadi mohon maaf tidak dapat menjelaskan konteks yang melatarbelakangi hadist tersebut. Meski demikian pertanyaan saya sederhana saja: Mengapa harus ibu? Mengapa 3 kali, bukan 2, 5, 7, atau bahkan lebih?

Selasa, Desember 17, 2013

Mandela dan Winnie: Seikat Kisah Cinta



Sayangku Winnie,
Foto indahmu masih berdiri sekitar dua meter di atas bahu kiriku ketika aku menulis catatan ini. Setiap pagi, aku membersihkannya dari debu dengan hati-hati. Kegiatanku ini memberiku perasaan yang menyenangkan seakan-akan aku membelaimu di hari tua. Aku bahkan menyentuh hidungmu, sesuatu yang selalu membuatku bergetar seperti ada aliran listrik yang mengaliri darahku setiap kali aku melakukannya. Nolitha berdiri di atas meja tepat di sebelahku. Bagaimana mungkin semangatku akan jatuh ketika aku mendapatkan perhatian dan cinta dari wanita yang indah seperti kalian?


Surat tadi ditulis Nelson Mandela saat masih berada dalam penjara. Bertanggal 15 April 1976. Winnie adalah istri kedua Mandela setelah perceraiannya dengan istri pertama, Evelyn. Mereka menikah pada 1958.  Winnie begitu istimewa di hati Nelson Mandela. Mengingat ikatan cinta mereka yang begitu kuat khususnya saat Mandela dalam penjara selama hampir 30 tahun, awalnya saya meyakini Winnie yang akan terus menemani sebagai istri hingga akhir hayat Mandela (5 Desember 2013). Ternyata tidak. Takdir berkata lain. Hubungan mereka justru retak, beberapa tahun setelah Mandela keluar dari penjara.

Minggu, Desember 15, 2013

Sukarno vs The Beatles




SORE itu saya lagi jatuh cinta sama buku kumpulan lagu The Beatles. Hampir tiap ke Gramedia, raknya saya lewati. Lirik sebentar, lalu pergi. Entah, hari itu daya tariknya lebih dari biasanya. Mungkin benar, kadang cinta butuh waktu yang tepat. Hehehe.. Setelah mengambil buku The Beatles tadi, seperti biasa, saya selalu menyempatkan diri menengok kumpulan buku biografi dan sejarah. Ada satu buku tentang Bung Karno yang terpajang sendiri. Begitu coba melihat beberapa bagian isinya, saya terkejut: Bung Karno membenci The Beatles?!

Bukan Bung Karno saja, tapi Imelda Marcos (mantan ibu negara Philipina) juga membenci Beatles. Meski dengan alasan yang berbeda. Kisahnya berawal dari konser The Beatles di Manila atas undangan Imelda Marcos. Karena ingin penampilan khusus, Imelda mengundang The Beatles untuk bernyanyi di Istana sebelum konser resmi berlangsung. Permintaan ini serta merta ditolak oleh Beatles sebab tidak dijadwalkan sebelumnya. Imelda murka. Sejak itu cintanya pada Beatles berakhir benci. Tetapi bagaimana dengan Bung Karno? Mengapa ia juga membenci dan melabeli lagu The Beatles dengan sebutan “ngak ngik ngok”?

Senin, Desember 09, 2013

Memotret Konser Raisa (dkk)


Raisa in Concert (Kendari: 7 Des 2013) ~aswanzanynu


HARI itu Sabtu 7 Desember. Tanggal di kelender sudah dilingkari jauh hari sebelumnya. Meski saya sendiri tidak terlalu yakin dapat hadir dalam konser itu. Kalo hanya membawakan lagu beraliran pop, mungkin perlu berpikir dua atau tiga kali untuk hadir. Untung Raisa sejak awal selalu tampil dengan nada jazzy. Sayang, tiket belum ada di tangan hingga malam. Pada dasarnya niat utama saya jauh lebih pada mengasah skill kamera. Memotret konser dari jarak yang jauh miliki tingkat kesulitan tersendiri. Ditambah dengan suasana malam yang sangat minim cahaya. Kalau untuk mendengarkan lagu-lagunya, lebih nyaman di rumah. Via Youtube sudah sangat memuaskan. Bisa sambil ditemani teh hangat trus tidur-tiduran (belakangan saya sadar kalau asumsi ini salah!).

Rasa pesimis saya makin menjadi-jadi karena cuaca malam itu mendadak tidak seperti yang saya harapkan. Pagi sampai sore, Kendari begitu cerah. Jelang maghrib, rinai hujan mulai turun. Mendung tiba-tiba ceperti pecah. Hujan tumpah dari langit. Cuaca seperti ini tidak dapat ditembus dengan motor yang tak beratap milik saya. Hehehe.... yakin sih konser akan mulur. Dari awal jadwal pukul 7 malam, entah sampai kapan. Hujan tak dapat ditebak kapan akan berhenti. Pesimis makin terkerek naik. Seperti sudah siap dengan ketidakmujuran, sore sebelum hujan turun saya memposting pesan via Path. Sebuah percakapan imajiner Raisa (R) dengan saya (S). Ini kutipannya.