Sabtu, April 21, 2012

Tanah Ulayat: Taman di Negeri Dongeng


Sumber foto: beritakendari.com

DENGAN Hak Inisiatifnya, DPR RI berencana mengajukan RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Agraria. Saat ini DPR sedang mengumpulkan sejumlah masukan untuk penyelesaian RUU tersebut. Benarkan RUU ini akan mampu menjawab masalah pertanahan khususnya yang saat ini sedang membelenggu masyarakat adat?

MENURUT laporan media lokal Kendari, pada Senin 9 April 2012 Ketua Komisi I DPR RI Drs. H. Kamaruddin, MH. berkunjung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Tenggara. Agendanya meminta masukan untuk finalisasi proses penyusunan RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Agraria. Tidak ada rencana untuk merevisi UU Pokok Agraria (UUPA). Kedua RUU ini justru bertujuan untuk memperkuat kembali UUPA tersebut.

Kamaruddin berargumentasi, insiatif RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Angraria dilatarbelakangi banyaknya kasus sengketa tanah yang acap kali berujung konflik. Baik antara masyarakat yang bersengkata atau antara masyarakat dengan BPN. Di samping itu penyelesaian masalah pertanahan kerap terbentur dengan regulasi di berbagai sektor, terutama kehutanan. Pertumbuhan penduduk yang terjadi saat ini dinilai tidak diikuti oleh kebijakan terkait dengan perluasan area pengelolaan lahan masyarakat. Akibatnya, acap kali area pengolahan lahan masyarakat menjebol batas area kawasan hutan. Diharapkan kedua RUU ini dapat menjadi solusi atas masalah-masalah pertanahan yang selama ini terjadi (Kendari Ekspres: 10 April 2012).

Dari sejumlah argumentasi yang disampaikan di atas, tampak bahwa paradigma yang digunakan dalam menyusun RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Angraria tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini menjadi semangat UUPA: Dominasi Negara. Cirinya berupa subordinasi dan pengabaian sistem-sistem asli yang hidup dalam masyarakat. Misalnya ketika terjadi konflik, hak masyarakat adat yang bermukim di suatu kawasan harus patuh pada apa yang secara sepihak diklaim oleh Negara sebagai hutan. Meski telah merdeka lebih dari setengah abad, posisi tawar masyarakat tetap tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa kolonial.

Tulisan ini ingin memaparkan pendapat Danel Fitzpatrick atas tanah adat di Indonesia dalam perspektifnya sebagai ahli hukum asing. Fitzpatrick adalah peneliti dan Associated Professor bidang hukum di Australian National University. Ia juga adalah periset paruh waktu di Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development of Leiden University (2004 - 2006). Fitzpatrick telah banyak menulis hukum pertanahan dan pembangunan di Negara Ketiga.


Menurut Fitzpatrick (2010), setidaknya sampai abad ke-20 tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan hukum adat melalui penafsiran yudisial. Selain surat-surat pajak atas tanah, juga tidak ada upaya sistematis untuk mencatat sertifikat tanah adat atau transaksi atas tanah adat ke dalam bentuk pendokumentasian yang standar. Sekedar membandingkan, Malaysia memiliki sistem pendaftaran harta milik berbasis desa dan pemakaian bentuk dokumentasi standar untuk mencatat transaksi-transaksi atas tanah. Sistem ini memainkan peran penting karena mampu mereduksi konflik. Bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Inilah yang disebut sebagai kegagalan pemerintah dalam mengembangan sistem hukum adat agar dapat terintegrasi ke dalam tatanan hukum nasional.

Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan produk era Sukarno sering kali disebut-sebut sebagai contoh terpenting dari unifikasi hukum di Indonesia. Namun pada kenyataannya, undang-undang ini telah membangung suatu sistem yang melanjutkan tema-tema kunci dari zaman kolonial. Secara khusus ini juga terlihat pada bagaimana undang-undang ini diterapkan dan diterjemahkan pada masa Suharto. UUPA mengubah semua hak-hak atas tanah yang diturunkan dari hukum Belanda dan banyak dari hak-hak adat, ke dalam sederetan hak baru yang diamanatkan. Ironisnya, hak-hak baru ini mirip dengan yang ada sebelumnya dalam hukum Belanda (Fitzpatrick: 1997).

UUPA jelas-jelas menjadikan hukum adat subordinasi (di bawah aturan) hukum formal. Contohnya, pasal 5 menyebutkan hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Pasal 3 tentang pelaksanaan hukum ulayat dan hak-hak serupa itu diakui sepanjang dalam kenyataannya hukum tersebut masih ada, dan sekali lagi, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara. Selain penafsiran “kepentingan nasioanal dan Negara” yang begitu terbuka untuk diselewengkan oleh penguasa, secara signifikan, hak ulayat juga tidak dimasukkan sebagai suatu hak yang dapat diubah menjadi hak yang bisa disertifikatkan penurut UUPA.

Meski dalam penjelasan UUPA disebutkan bahwa pasal 3 tidak dimaksudkan untuk mereplikasi Domeinverklaring (domain declaration) pada masa kolonial, gagasan tentang hak menguasai oleh Negara membolehkan pemberian hak atas tanah-tanah nirgarapan dan/atau nirhunian yang tidak bersertifikat hak milik, kepada pihak lain tanpa persetujuan masyarakat lokal/adat yang berkepentingan. Selain itu pemberian ini juga tanpa mengeluarkan kewajiban hukum untuk membayar kompensasi yang layak kepada masyarakat sebagai pemegang hak sebelumnya. Meskipun masyarakat yang mendiami wilayah ini biasanya dibolehkan untuk tetap tinggal, hak-hak hukum mereka tetap tidak begitu jelas. Pemanfaatan atas tanah tersebut sering kali sangat terbatas, khususnya di daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Gagasan tentang hak menguasai Negara ini telah menjadi penyebab terbesar hilangnya kepemilikan tanah di Indonesia masa kini.

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pun dengan jelas menggunakan gagasan ini untuk menetapkan sekitar 65 persen wilayah daratan Indonesia sebagai kawasan Hutan Negara. UU ini memang menyediakan kategori hukum adat, tetapi mendefinisikannya dengan mengacu pada konsep kepemilikan negara atas kawasan hutan yang hirarkis dan eksklusif. Oleh karena itu, sekali lagi, masyarakat yang mendiami tanah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan hanya dapat mempertahankan statusnya (setidak-tidaknya) sebagai pemegang izin yang dapat ditarik kembali oleh Negara sewaktu-waktu.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Fitzpatrick (2010) sebenarnya ingin menyambapaikan bahwa akar masalah regulasi tanah, khususnya yang terkait dengan masyarakat adat di Indonesia adalah kegagalan mengembangan sistem hukum adat agar dapat terintegrasi ke dalam tatanan hukum nasional. Selama prinsip subordinasi dan pengabaikan pengabaian sistem-sistem adat yang hidup dalam masyarakat masih ditemukan dalam regulasi kita, selam itu pula tanah ulayat tak ubahnya seperti taman di negeri dongeng.***



1 komentar:

Muhammad Ismet Karnawan mengatakan...

dalam suatu kejadian di Kolaka, saya pernah berurat ke BPN Kab. Kolaka mempertanyakan eksistensi tanah ulayat di wil kab kolaka. hasilnya membuat saya terkejut, ternyata di Kolaka tidak ada tanah ulayat (setidaknya yang diakui oleh pemerintah). Padahal di Kolaka konon pernah ada kerajaan mekongga atau wilayah kerajaan moronene. Tragis...