CEK kesehatan sebelum nikah. Sebuah majalan bulanan pernah mengangkatnya sebagai headline. Menurutku sangat berlebihan. Terlalu bertele-tele. Kalau sudah siap menikah, yaa menikah saja. Titik! Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan seorang bekas mahasiswi. Kedua anaknya tampak mengidap penyakit genetik.
Setahu saya, di kelas, mahasiswi ini cukup cerdas. Sedikit di atas rata-rata. Dia memutuskan menikah setelah usai kuliah. Sayang, anak pertamanya yang berusia 2 tahun lebih, sampai sekarang belum dapat berjalan. Anak yang kedua, tampak tumbuh normal. Usianya sekitar 7 bulan. Namun tatapan matanya terlihat “kosong”. Seperti tanda anak yang terbelakang mental.
Entah, gen “penyakit” itu datang dari mana. Dia atau suaminya. Tapi mungkin ini dapat dihindari dengan melakukan tes kesehatan sebelum menikah. Dari situ akan tampak seberapa besar risiko yang harus mereka pertaruhkan untuk menikah. Ah, rasanya seperti berjudi. Melibatkan hitung-hitungan bisnis yang dengan kaku menimbang untung rugi. Is it possible?
Kita mulai dari yang sederhana dulu. Tanpa tes kesehatan. Misal, satu dari pasangan yang akan menikah mengidap asma. Atau punya riwayat keluarga yang mengidap asma. Risikonya, anak mereka akan berpeluang mengidap asma. Apakah mereka siap dengan risiko ini? Bagaimana dengan riwayat kesehatan yang lebih menakutkan. Seperti jantung, keterbelakangan mental, atau kanker. Kalau siap, go on. Kalau tidak, yaa mereka harus memilih!
Nah, ini yang tidak mudah. Memilih. Saat cinta berkobar. Saat totalitas niat untuk bersama telah menyatu. Memutuskan bukanlah gampang. Apalagi keduanya berada di ranah yang berbeda. Cinta di alam perasaan. Sementara pilihan-pilihan tadi ada di alam pikiran. Celakanya, keputusan rasional ini akan berdampak secara emosional. Seperti simalakama. Memenangkan rasio berarti mencampakkan cinta. Memenangkan cinta berarti siap untuk dikutuk rasio sepanjang hidup saat “hantu” yang dikhawatirkan betul-betul muncul meneror.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar