Selasa, Juli 23, 2013

Pohon Umur

Krayon Pantai Kuta: Rifqah (Juli 2013)


ULANG tahun saya baru saja berlalu. Tanpa kue tart atau lilin yang banyaknya sejumlah usia (layaknya adegan di film atau sinetron). Meski fisikawan seperti Stephen Hawking pernah menulis buku bertajuk The History of Time, pada dasarnya mengukur waktu itu suatu hal yang mustahil. Kita mengukur waktu dengan cara yang sangat subyektif karena menjadikan diri kita sebagai titik sentral penghitungan. Waktu kita yang ada sebenarnya hanyalah saat ini. Masa lalu hanya kenangan. Masa depan hanya impian. Begitu kata Kahlil Gibran. Anda percaya?

Cup! Subuh itu sebuah kecupan mendarat di pipi kanan. Rifqah (8 thn), putri bungsu saya yang memberikannya. Wajahnya masih seperti melawan kantuk. Saya sedang makan sahur sambil menonton tv. Begitu juga kakak dan ibunya. Kejutan yang indah, pikirku. Sejak flu dia tidak kami bangunkan sahur. Tapi tidak subuh itu. Dia bangun sendiri hanya untuk memberi lukisan dan kartu ucapan yang dia buat. Handmade. Owww.. saya tiba-tiba jadi begitu melankolis dan berusaha menahan air mata haru. Dia punya cara sendiri rupanya untuk memperhatikan ayahnya. Kalimat yang dia tulis dengan krayon terasa seperti doa yang menyelimuti: Semoga Panjang Umur dan Sehat Selalu. Doa itu kini berubah menjadi pertanyaan.

Untuk apa umur yang panjang dan badan yang sehat? Singkatnya untuk apa hidup. Guru saya selalu mengulang-ngulang pertanyaan itu. Dengan detai beliau selalu berujar: “Sadarilah selalu dari mana kau berada, untuk apa kau ada, dan hendak ke mana setelahnya?” Setiap kali mendegarkan jawabannya, saya mengerti tapi kemudian rasanya terlalu abstrak untuk saya konstruksikan kembali dalam redaksi bahasa yang mudah untuk dimengerti. Seperti kerepotan yang aneh. Tapi memang seperti itu adanya. Beberapa hal yang kita persepsi tidak selamanya dengan mudah dapat kita konstruksikan kembali dalam bahasa yang serupa dan dapat mewakili persepsi kita tadi.

Mungkin umur itu idealnya seperti pohon. Tumbuh. Berkembang dari sederhana menjadi kompleks. Umur yang bermanfaat adalah umur yang berbuah. Setidaknya meski tak berbuah, pohon berguna untuk mengokohkan tanah, menahan air, mengolah racun karbondioksida atau monoksida menjadi oksigen segar untuk kehidupan. Sebaik-baik orang dari kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Bagitu sabda mulia Nabi Muhammad SAW.

Card: Rifqah (Juli 2013)
Kembali ke esensi hidup yang bermanfaat: Haruskan seseorang menjadi pahlawan kebaikan untuk semua orang? Menjadi pahlawan: iya. Idealnya untuk semua orang, tapi (jika berat) setidaknya menjadi pahlawan untuk hidupnya sendiri. Dengan kata lain setiap kita seharusnya menjadi pahlawan kebaikan untuk diri kita sendiri. Prinsipnya sederhana. Jika dari tiap pribadi berpikir seperti itu, hidup yang mereka jalani akan menjadi baik dengan sendirinya. Jika tiap orang tidak dapat melakukan kebaikan pada orang lain, dengan tidak mengganggu orang lain saja sudah baik. Bukan begitu?!

Tetapi kita hidup bukan di komunitas yang homogen. Pohon umur kita tidak tumbuh di lingkungan yang sama. Banyak yang berbeda dengan kita. Itu keniscayaan. Bagaimana hidup dengan mereka yang berbeda? Dengan tidak bermaksud menyederhanakan, kata kuncinya adalah akhlak yang baik. Sebaik-baik buah dari pohon umur adalah akhlak yang baik. Bagaimana dengan ilmu? Ilmu seseorang tetap tidak akan bermanfaat jika perangai dan itikadnya buruk. Malah justru akan menjadi bencana bagi orang lain. Akhlak yang baik kepada manusia, kepada lingkungan, dan tentu kepada Tuhan sang pemilik waktu.

Akhlak yang baik itu adalah mengasihi, menyayangi sesama. Ini tersirat dalam kalimat: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan “basmalah” itu setiap hari diucapkan orang Muslim. Dalam konteks yang universal, Karen Armstrong menyebutkan “compassion” atau sikap belas kasih terhadap sesama. Penelusurannya dalam mempelajari sejarah agama, para nabi dan guru-guru bijak sejak dulu kala menjadikan akhlak itu sebagai salah satu esensi ajaran mereka. Pohon umur akan bermanfaat hanya jika berbuah pekerti yang mulia karena akar dari semua kejahatan hidup adalah dari hilangnya sikap mengasih dan menyayangi sesama. Mungkin saya salah, tapi itulah pendapat saya. Do good. Be good. Feel good.

Oh ya, trima kasih buat semua yang telah memberi ucapan ulang tahun dan doanya. Langsung atau via pesan singkat, BlackBerry Messanger, juga twitter. Dengan atau tanpa kado. Keluarga, teman, dan mantan mahasiswa. Yang tidak mengucapkan juga tidak apa-apa. Entah karena sibuk, tidak tahu, atau karena tidak mau. He..he..he... Saya menerima kalian bagai pohon yang tidak keberatan didatangi kawanan burung yang sekedar singgah bernyanyi di pagi hari, berteduh saat terik, atau bernaung di kelam malam. It's ok. Kalian semua adalah tanah, hujan, cahaya matahari, dan angin untuk pohon umur saya. How lucky I am? Sekali lagi trima kasih.***

Tidak ada komentar: