Senin, Juli 29, 2013

Mudik: Perjalanan Katarsis




TIAP jelang lebaran Idul Fitri, pemberitaan ramai dengan info mudik. Seminggu sebelum hinggu seminggu setelah lebaran. Sudah seperti ritual tahunan. Yang mudik mungkin tidak sempat lagi mengikuti info mudik karena jadi pelaku mudik itu sendiri. Sementara yang tidak mudik, eneg dengan info mudik. Apa enaknya mudik?! Memang lebih baik tidak mudik. Mudik itu ribet. Susah. Menyesakkan. Mending menetap di kota, tidak kemana-mana saat jelang lebaran. Simple kan?!  Eh tapi yang mau, sudah, atau selalu mudik, silahkan. Dinikmati saja. Mudik itu seru. Asyik.

Nah, jadi baik yang mana nih: mudik atau tidak mudik? Jawabanya: keduanya baik. Saya ingin berbagi cerita tentang apa yang baik di balik mudik. Harapannya sih bisa membantu cara pandang mereka yang tidak pernah mengalami mudik. Mohon maaf kalau (terlalu) jauh dari obyektif karena sejatinya setiap perjalanan itu memang subyektif. Selalu terselip romantisme di dalamnya, tidak terkecuali mudik.

Mungkin kata mudik hanya ada dalam kamus orang Indonesia. Indonesia only. Tidak peduli sehebat apa rintangannya, ritual ini selalu terjadi setiap tahun. Mengapa mudik masih terjadi sementara begitu banyak hal tidak mengenakkan mungkin terjadi selama perjalanan? Tiket pesawat yang mahal. Penerbangan delay. Berdesak-desakan di kapal atau kereta. Tersandera dalam mobil yang terjebak kemacetan berjam-jam. Mengapa itu semua tidak membuat orang kapok untuk mudik, padahal pengorbanan fisik dan materi yang tak terperi selalu menyertainya?

Jeda. Mudik itu break. Jeda dari rutinitas yang terpola selama setahun. Tapi bukannya mudik itu juga rutinitas yang terpola? Iya juga sih, bedanya mudik adalah ritinitas jeda, sedangkan keseharian kita adalah rutinitas yang anti-jeda. Kita dibuat seperti mesin. Terus bergerak dan bergerak. Melakukan hal yang sama nyaris setiap hari. Di tempat yang sama. Di lingkungan yang sama. Beda dengan mudik. Saat mudik, jarum jam seperti berjalan lambat. Orang tidak dikejar-kejar linimati (baca: deadline). Semuanya mengalir seenaknya. Sesuka hati. Satu-satunya waktu yang menghatui adalah saat waktu mudik itu berakhir.

Cerita sukses. Mudik juga memotivasi orang untuk sukses. Terlepas dari cara setiap orang mendefinisikan sukses itu seperti apa, pada dasarnya saat mudik setiap orang ingin membawa kisah sukses mereka. Jika tidak sukses, menunda mudik itu adalah pilihan. Jangan mudik sebelum sukses. Mungkin itu kaidah tidak tertulis yang tampaknya disepakati oleh para pemudik. Mereka mungkin pulang dengan membawa simbol sukses. Apa saja yang dapat didefinisikan sebagai sukses versi mereka. Harta benda. Jabatan. Gelar. Ilmu pengetahuan. Keluarga. Atau apa saja. Bebas, mana suka.

Rindu. Yang pasti, mudik juga menyisakan hasrat untuk kembali ke tempat di mana seseorang berasal. Rindu untuk menjalin kembali ikatan primordial dengan keluarga besar. Rindu untuk melakukan kilas balik atas waktu yang telah dilewati. Mengukur tonggak-tonggak hidup yang pernah dilalui. Merantau dan mudik adalah dua titik yang saling kait. Merantau membawa orang pada proses pencarian, sedangkan mudik mengukur kembali bagaimana pencapaian itu diraih. Merantau meninggalkan titik pergi, sedangkan mudik membawa seseorang pada titik balik. Keduanya adalah titik yang sama, meski dengan nama yang berbeda.

Rendezvous. Mudik adalah alasan yang memungkinkan semua untuk bertemu di tempat yang sama. Alasan yang tetap masuk akal bahkan untuk logika masyarakat yang paling individualis. Masih adakah hal yang lebih indah dari dapat berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai dan menerima kita apa adanya? Going home. Mudik menjadi semacam perjalanan katarsis, perjalanan menuju tempat yang menenangkan karena menjanjikan pertemuan dengan orang-orang yang menyenangkan.

Ini ceritaku, mana ceritamu?

Tidak ada komentar: