Selasa, Agustus 06, 2013

Live on TV: Behind the Screen


SIANG menjelang sore itu handphone saya berdering. Nomor yang menghubungi tidak saya kenali. Normalnya sih diabaikan. Tapi tidak untuk saat itu. Eh, ternyata di seberang telepon seorang teman. Dia produser di Sindo TV Kendari, meminta untuk jadi narasumber sebuah acara dialog tentang media dan kampanye politik jelang 2014. Wah serius lagi, pikirku. “Live atau direkam?” tanya saya. “Live,” jawabnya. Jleb. Kulit yang gelap. Wajah tua dan kuyu. Pakaian dan cara berbusana yang jauh di bawah standar enak dipandang, membuat saya berencana menolak.

Tapi tunggu dulu, “Siapa narasumber lain yang akan hadir?” tanya saya lagi. Dia menyebut beberapa nama. Sedikit lega rasanya. Orang-orang itu tidak jauh berbeda dengan saya. Setidaknya, kalau penampilan saya hancur, saya tidak sendiri. Hehehe... Televisi memang media yang memaksa siapa saja untuk tampil penuh dengan polesan di sana-sini. Televisi itu teater. Hanya yang dapat mementas dengan totalitas perannya yang bisa bertahan di kotak kaca itu. Di televisi urusan pakaian plus perfoma fisik lainnya sangat penting. Itu yang bikin saya putar cari akal.

Awalnya sih mencoba bersikap biasa saja. Tapi frekuensi konfirmasi yang tidak biasa, yang membuat jurus cuek saya luntur. Baru kali ini saya diminta untuk menjadi narasumber dan mendapat konfirmasi kesiapan lebih dari dua kali. Saya lalu berpikir, wah ini betul-betul serius rupanya. Iya dong serius. Yang dibahas kan masalah politik. Kepalaku mulai berkicau. Orang awam melihat politik itu serius ya? Atau setidaknya publik diajarkan untuk melihat politik itu secara serius. Meskipun bagi saya sebenarnya politik itu “main-main”. Mungkin terlihat serius karena elit yang memainkannya. Orang awam cukup duduk manis dan menyaksikan. Sesekali memberi sorak. Sesekali mau dimobilisasi, seperti kawanan bebek yang digiring bermain ke sungai.

Kamera on! Saya melirik penampilan di layar monitor. Oww..rasanya tidak layak untuk diceritakan. Timpang dengan host yang putih, gagah berdasi. Sebenarnya layar monitor ini tidak ada dalam ruang studio. Saya yang memintanya. Permintaan ini awalnya mereporkan beberapa kru. Belakangan, sayalah yang justru kerepotan. Repot meratapi penampilan yang terpampang nyata tadi. Mudah-mudah penonton yakin kalau saya akademisi. Oh ya, jadi ingat seorang peneliti yang pernah menjadikan saya narasumber. Setelah kembali ke Jakarta, dia lupa memotret sesi wawancara kami. Mungkin karena antusias (atau kebingunan) dengan jawaban saya waktu itu. Saat meminta CV dan foto saya via email, dia memberi catatan: “tolong fotonya yang berkemeja dan menunjukkan Bapak seorang akademisi yaa”. Eh maksudnya apa nih?

Saya banyak tertolong oleh jeda iklan/promo selama wawancara live. Jeda untuk mengatur napas. Jeda untuk mengatur penampilan. Jeda untuk menata jawaban biar terlihat cerdas. Jeda untuk mengingat siapa saja yang mengenali wajah saya di televisi. Yang pasti bukan anak-anak dan istri di rumah. Kepada mereka, saya hanya pamit untuk wawancara. Titik. Tidak sedetail sebelumnya. Sebelumnya?! Iya, sebelumnya saya pernah jadi narasumber dalam sebuah wawancara tv lokal juga. Live. Anak-anak dan istri saya wanti-wanti untuk nonton. Saat pulang ke rumah, si sulung (Anhar) langsung saya sapa, “Bagaimana penapilan Papa tadi di televisi, Nak?” Santai dia menjawab: “Kok tidak mirip Papa?” Stop! Saya menahan diri untuk menyodori dia kata “kenapa”. Khawatir dia akan menjawab penampilan saya terlihat tidak seburuk dari yang seharusnya. Hehehe..

Sejam berlalu. Tidak terasa dialog usai. Handphone sudah boleh diaktifkan. Beberapa komentar masuk via sms dan BlackBerry Messenger dari orang-orang yang saya kenali dan menonton acara tadi. Tante saya yang bawel berkomentar: “Sebaiknya pake baju putih, biar kelihatan muda”. Bingo!!! Risiko tampil di depan kamera memang seperti itu. Beberapa di antaranya terus melanjutkan diskusi via pesan teks bahkan twitter hingga tiba di rumah. Saat masuk pintu ruang tengah, si sulung sudah senyum-senyum menyambut. “Kenapa? Blum pernah lihat Papa segagah ini?!” Sembari membalikkan wajah dan menonton acara kesukaannya di televisi, dia bersuara dengan nada datar tapi terasa sok menggurui. “Kali lain, baju Papa dikancing sampai ke atas. Lengan kemeja dipanjangkan, lalu dikancing juga. Jangan digulung seperti itu. Trus kalau bisa... Papa pake kacamata. Biar cupu-nya lebih meyakinkan!” What?! ***

Tidak ada komentar: