Rabu, Mei 15, 2013

Merayu Matahari*




SEORANG teman pernah menulis di status BlackBerry Messenger (BBM) miliknya. “Mengapa hari makin panas? Karena Matahari membuka cabang di mana-mana!” Status ini bisa saja nyinggung Matahari Department Store yang memang sudah buka dua cabang di Kendari. Tapi bisa juga digunakan untuk menggambarkan kondisi hari yang begitu panas. Pekan itu, suhu di Kendari sampai 31 bahkan 32 derajat celcius. Saya yang sering beraktifitas di luar ruangan dengan motor (baca: ngojek) rasanya seperti gosong. Tetapi semua kisah “hot” tadi berubah drastis saat seminggu kemudian Kendari diguyur hujan.

Matahari tidak terlihat karena tertutup mendung nyaris lebih dari sepekan. Bau lembab tidak dapat dikeluarkan dari dalam rumah. Maklum, semua pakaian yang dicuci tak kunjung kering dan harus dijemur di dalam rumah. Tiba-tiba saya merindukan matahari. Cahanyanya yang masuk di sela-sela jendela. Kehangatan, bahkan panasnya. Sebelumnya saya lebih suka memilih untuk melihat matahari terbit daripada saat matahari tenggelam. Bagi saya, matahari terbit lebih menggambarkan optimisme. Matahari tenggelam itu gambaran duka. Senjakala. Tetapi kali ini tidak. Kapan saja ia muncul, saya siap menjemputnya.

Jumat sore itu saya berada di depan tempat les anak saya. Sengaja memilih berdiri di luar, karena di dalam ruangannya ber-AC. Sambil memandang awan yang masih tebal. Saat saya memalingkan wajah ke arah Barat, tiba-tiba sekumpulan awan bergerak (malu kali karena diliatin). Tiba-tiba matahari tampak: bercahaya bulat tapi tidak menyilaukan. Indah sekali. Saya sampai terpaku. Tidak sampai semenit, kumpulan awan kembali menyelimutinya. Seperti seorang anak yang sedang bermain petak umpet dengan matahari. Seperti seorang pecinta yang lagi jatuh hati. Matahari terlihat begitu mempesona. Begitu indah. Dengan nalar yang sederhana ini, meskipun salah, saya dapat memaklumi mengapa hampir setiap peradaban mendewakan matahari. Sedikitnya dua puluh sembilan peradaban kuno mendewakannya.

Segala hal yang misterius, tak terkalahkan, tetapi mempesona biasanya menjadi ciri utama sesuai yang menjadi obyek pemujaan sebagai dewa/dewi. Tidak terkecuali matahari. Di masa lalu, matahari itu misterius, tidak dapat terpecahkan oleh pengetahuan yang ada. Tidak dapat terkalahkan karena tidak ada kekuatan yang mampu menandinginya. Meski demikian, ia tetap mempesona. Saat terbit, bersinar, hingga tenggelamnya. Kaum muslim dapat menemukan dalam Al Quran bagaimana kisah seorang nabi seperti Ibrahim (alaihi salam) nyaris memasukkan matahari, bulan dan bintang dalam daftar pencarian Tuhan yang ia lakukan. Ya, karena mereka mempesona, tak terkalahkan, sekaligus misterius. Meski kemudian Ibrahim pada akhirnya menyerahkan diri pada sesuatu yang menciptankan seluruh alam semesta yang mempesona itu. Bagi Ibrahim, Dialah yang lebih layak untuk disembah. Al Quran memperkenalkan Ibrahim sebagai seorang pencari Tuhan yang cerdas.

Dalam tradisi sufisme Islam, matahari sering disimbolkan sebagai 'cahaya' Tuhan. Sedangkan bulan sebagai 'cahaya' sang Nabi. Dalam sebuah hadist, Nabi bahkan dengan jelas mengumpamakan dirinya seperti bulan dan para sahabat dan pewarisnya seperti bintang-bintang di langit. Di shalawat Badar, Nabi bahkan dimuliakan sebagai cahaya matahari dan bulan. Islam selalu menyandingkan matahari dan bulan. Betul, penanggalan Islam merujuk pada gerak bulan. Tapi waktu shalat dirujukkan pada posisi matahari kan? Matahari sumber cahaya. Dengannya dunia menjadi nyata. Apa yang dapat kita lihat dengan mata, bukan karena dia ada, tapi karena ia memantulkan cahaya. Batas antara ada dan tiada kadang hanya berbatas pada apa sesuatu itu memantulkan atau tidak memantulkan cahaya. (Kadang lho, bukan selalu.)

Kembali pada cerita tentang matahari yang mempesona, entah berapa banyak karya yang lahir karenanya. Mulai dari yang sifatnya ilmiah seperti yang dikerjakan ilmuwan sejak masa Aristoteles hingga lukisan, foto dan film, atau karya sastra serupa roman. Ah, saya jadi ingat salah satu karya Shakespeare. Dia menjadikan matahari sebagai metafora cinta. Dalam drama Hamlet, Shakespeare menulis: “Ragukanlah kalau bintang itu berasal dari api. Ragukanlah matahari tak berputar melintasi langit. Kau beleh meragukan setiap kebenaran. Tapi jangan pernah ragukan cintaku.” Eh, masih nyambung kan dengan tema tulisan ini?! (Maksa).***

Catatan:
*Judul ini saya ambil dari status BBM teman akrab saya: Asnar Syarifuddin a.k.a. Lala. 

Tidak ada komentar: