Jumat, November 01, 2013

Penjelajah Sunyi



TIDAK ada yang kebetulan. Saya yakin itu. Seperti kata Einstein: Tuhan tidak melempar dadu. Semuanya sudah ditata dengan sangat teratur dan detail oleh kekuatan yang tidak kita lihat secara kasat mata. Saya sendiri tidak dapat membayangkan akhir bulan lalu dapat kembali bertemu dengan dosen sekaligus penguji magister di Pasca Sarjana Univ Hasanuddin Makassar, setelah 11 tahun berlalu. Kini beliau sudah menjadi guru besar: Prof. Hafied Cangara. Rasanya baru kemarin dia memberondong pertanyaan di ruang ber-AC yang tetap membuat saya terus dan terus menguras keringat. Beberapa teman yang menunggu di luar ruang ujian bahkan bertanya-tanya, mengapa saya selama itu ‘diinterogasi’? Hampir empat jam!

Masih ada yang lebih lama. Mentor jurnalisme radio saya, namanya Endang Nurdin. Dia reporter senior BBC London. Setahun lalu (entah bagaimana ceritanya) tiba-tiba muncul di ruang kerja saya di Kendari. Terakhir kami bertemu dalam sebuah pelatihan yang sangat mengesankan, 13 tahun sebelumnya di Makassar. Rasanya seperti penyu yang menemukan kembali pantai tempat ia dibesarkan. Haru. Bahagia. Tidak percaya. Banyak campuran perasaan yang ingin meledak seketika. Yang membuat saya makin terpesona, mereka masih tetap bersahaja. Waktu tidak mengubah mereka menjadi jemawa. Saya selalu merasa ‘ditekan’ untuk rendah hati saat bertemu orang yang tetap low profile di tengah suhu high narcissism hari ini.

Guru yang baik, bagi saya, mereka yang terus mengajar, menginspirasi meski tanpa kata. Mereka setia untuk menjadi teladan meski godaan kesementaraan banyak di sekitarnya. Menduduki posisi atau jabatan politis adalah satu dari godaan kesementaraan yang saya maksud. Berapa lama karir seseorang dapat bertahan di dunia politik? Guru tetaplah guru sampai akhir hayat mereka. Sama seperti seorang wartawan. Mereka juga sejatinya adalah guru meski tanpa ruang kelas. Dengan gelar guru besar, dengan status wartawan senior, tidak mudah bagi seseorang untuk menolak godaan kesementaraan itu. Ketenaran. Penghasilan yang berlipat ganda. Kekuasaan. Akses ke tingkat elit. Itu semua hanya beberapa bonus dari yang dijanjikan godaan kesementaraan.

Manusia tetaplah manusia. Peluang untuk menjadi oportunis selalu terbuka. Belum lagi orang, lingkungan, atau tingkat kompetisi di sekitarnya yang ikut mempengaruhi. Beberapa hal yang menggoda tadi akan tampak semakin indah, padahal sejatinya semu belaka. Dosen yang oportunis dan terjun ke dunia politik, anehnya, ketika tidak berhasil atau selesai meraih mimpinya, mereka kembali ke kampus. Saat kembali, saya melihat mereka seperti serdadu yang kalah perang. Setinggi apapun jabatan yang mungkin berhasil mereka raih. Mengapa? Profesionalisme bagi saya harga mati. Sekali seseorang menjadi politisi, ketika itu integritas keilmuan mereka luntur. Sama seperti wartawan. Mereka itu wakil publik untuk tahu segala hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Sulit mempercayai bagaimana cara mengakui kredibilitas mereka setelah selama pada kurun waktu tertentu partai atau kepentingan politik menjadi bagian dari habitat mereka. (baca juga: Jurnalis atau Politisi)

Tidak semuanya oportunis buruk. Ada saat di mana sebuah peluang harus segara kita ambil dengan cepat. Mungkin saja peluang itu ada di balik sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Kuncinya ada pada konsistensi menjaga integritas dan kredibilitas. Bagi saya, itulah mahkota paling berharga untuk seorang pengajar (dosen/guru) dan tokoh pembaharu seperti wartawan, tokoh masyarakat atau agama. Sejarah mengajari saya bahwa para guru bijak itu tampaknya harus mengambil jalan yang sunyi. Sunyi dari gempita ketenaran. Sunyi dari gemerincing uang. Sunyi dari pamrih dan pujian. Mereka tahu semua itu hanyalah keabadian yang semu, kesenangan yang melalaikan.***



Tidak ada komentar: