Selasa, Januari 01, 2013

Ibnu Arabi (1165 – 1240 M): Ketika Tuhan “Menampakkan” Diri-Nya



MUNGKIN generasi saat ini tidak banyak yang mengenal Ibnu Arabi. Saya sendiri mengenal nama beliau saat masih kuliah (pertengahan era 90an). Namun tidak sempat berkenalan dengan ajarannya. Saat itu saya tidak menemukan satu pun karyanya. Muhammad Mojlum Khan tahun 2010 menulis buku The Muslim 100 The Lives, Thoughts and Achievements of The Most Influential Muslims in History. Ibnu Arabi termasuk satu di antaranya. Tulisan ini ingin mengulas secara singkat biografi dan pemikiran Ibnu Arabi yang oleh beberapa kalangan muslim sekalipun sering diaanggap kontroversi.

Ibnu Arabi lahir di Mursia, sebelah Tenggara Andalusia (Spanyol) pada 28 Juli 1165 M yang bertepatan dengan 17 Ramadhan 560 H. Muhammad Mojlum Khan menyebut nama lengkapnya: Muhyiuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Al-Arabi Al-Hatimi Al-Ta'i. Dalam buku terjemahan karya Ibnu Arabi Syajaratul-Kaun terbitan Risalah Gusti (2005) nama lengkapnya Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali al-Hatimi ath-Tha'i al-Andalusi. Ia dikenal dengan gelarnya Muhyiddin (Penghidup Agama). Juga gelar lain, asy-Syaikh al-Akbar (Maha Guru).

Ibnu Arabi mendalami ilmu Islam dari banyak guru. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Di Kordova (Spanyol) ia bertemu dengan Ibnu Rusyid (yang oleh orang Eropa dikenal dengan nama Averroes) pada usia yang masih muda: 15 tahun. Tercatat banyak kota yang pernah dikunjunginya, termasuk Tunisia, Aljazair, Baghdad, Mekkah, Madinah, Aleppo, Mosul dan beberapa wilayah di Asia Tengah. Tahun 1223 ia bersama kelompok kecil muridnya berkunjung ke Damaskus. Ibnu Arabi bermukim di kota ini hingga akhir hayatnya November 1240 M (638 H).

Selain memiliki wawasan keilmuan yang luas seperti di bidang tafsir, hadist, fiqih dan ilmu kalam, ia juga dikenal sebagai tokoh sufi yang menjalani laku hidup esoterisme (tasawwuf). Meski demikian, tidak seperti Abdul Qadir al-Jilani, Jalaluddin Rumi, atau Bahauddin Naqsybandi, Ibnu Arabi tidak memprakarsai tarekat sufi atau mendirikan mazhab pemikiran tertentu. Ia lebih fokus pada mencurahkan waktunya untuk mengajar dan menuliskan pemikiran-pemikiran baik yang terkait syariat maupun tarikat ke dalam sejumlah buku. Ada yang menyebutkan Ibnu Arabi telah menulis 800 buku dan risalah. Sebagian besar karyanya masih dalam bentuk manuskrip.

Karyanya yang terkenal antara lain al-Futuhat al-Makkiyah (Penaklukan Mekkah) yang ditulisnya selama bermukim di Mekkah. Karyanya yang lain seperti Fusus al-Hikam (Permata-permata Hikmah) ditulisnya saat berada di Damaskus. Kitab ini ditulis 10 tahun sebelum wafatnya. Meski tergolong ringkas, Fusus al-Hikam adalah karya Ibnu Arabi yang paling populer karena paling sering diulas. Bandingkan dengan al-Futuhat al-Makkiyah yang isinya lebih dari 500 bab. Kitab ini sering disebut sebagai ensiklopedi ilmu-ilmu keagamaan dan spiritual.

Teori metafisikanya yang paling menonjol dan kerap mengundang kontroversi terkait dengan Keesaan Segala Sesuatu (wahdat al-wujud). Keseluruhan filsafat Ibnu Arabi ini tidak dapat dipisahkan dari penjelasannya tentang konsep tajalli (pengejawantahan). Ia melihat Tuhan sebaga Sang Maha Pencipta yang Tunggal mewujudkan diri-Nya dalam bentuk yang jamak (alam semesta). Dengan cara yang serupa, konsep tajallli ini juga melihat, seluruh kejamakan alam semesta itu pada dasarnya adalah pengejawantahan dari yang Maha Tunggal. Meski tidak serupa, dalam teologi Barat, ini dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep panteisme.

Dalam panteisme, Tuhan dan Alam itu dianggap sebagai substansi yang satu. Jadi hukum alam itu adalah hukum Tuhan. Kehendak Tuhan itu terejawantah dalam kehendak alam. Dalam konsep panteisme Spinoza misalnya, ia menyebut alam dan Tuhan itu sebagai “tanda-tanda pada sehelai kertas”. Ini yang miliki kemiripan dengan teori Keesaan Segala Sesuatu (wahdat al-wujud). Saya sebut miliki kemiripan karena keduanya tidak sama. Sebab dalam teori Keesaan Segala Sesuatu (wahdat al-wujud) dibedakan pengejawantahan Tuhan dengan esensi Tuhan. Esensi Tuhan tetap tak akan pernah dapat disentuh oleh indera. Yang dapat kita amati dan alami hanyalah pengejawantahan diri-Nya.

Beberapa kritikus yang disebut-sebut gencar menyerang teori Ibnu Arabi adalah orang-orang yang juga terkenal integritas keilmuannya, seperti Ibnu Taimiyah, Al-Taftazani, Ibnu Umar al-Bika'i dan Syaikh Ahmad Sirhindi. Namun tidak sedikit pula yang terinspirasi dari teori Ibnu Arabi ini. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Sultan Muhammad II, bahkan  Syaikh Ahmad Sirhindi sendiri yang juga pernah mengkritiknya. Cendekiawan muslim modern seperti Martin Lings (Abu Bakar Sirajuddin) dan Sayyed Hossein Nasr juga dipengarhui oleh karya-karya Ibnu Arabi.***

Tidak ada komentar: