Senin, Juni 03, 2013
Denpasar: Lessons and Blessings
SAYA ingin berguru pada orang yang perjalanannya sama seperti yang ia bayangkan, yang ia rencanakan. Lala (teman yang beken karena keahlian MC-nya) yang tahu rencana saya ke Bali justru membayangkan saya akan berselancar dengan banana boat. Iya sih, itu suka-suka dia. Kalau saya, sederhana saja: bisa berenang di pantai dan menonton pagelaran tari. Tapi apa lacur, perjalanan ke Denpasar akhir Mei lalu tidak seperti yang saya bayangkan. Enam hari yang porak-poranda. Jadi mohon maaf jika tulisan ini mungkin akan berisi beberapa keluhan. Boleh kan?!
Jadi begini, sebelum tinggalkan bandara Haluoleo Kendari, pesawat yang harusnya menerbangkan kami ke Makassar sudah delay sejam. Di Makassar, pesawat yang akan membawa kami ke Denpasar juga terlambat dengan waktu yang lebih fantastis: nyaris dua jam. Note #1: persiapkan diri (lahir-batin, materil-spiritual) untuk penerbangan yang tertunda. Setiba di Denpasar, saya tidak tega lihat wajah Pak Agus yang tampak berusaha untuk tetap ramah meski menunggu lama di bandara Ngurah Rai. Saat itu, bandara sedang dalam renovasi. Waktu pertama kali ke Bali 6 tahun lalu, bandara itu menurutku sangat kecil dan (maaf) kumuh untuk ukuran sebuah bandara internasional.
Kami melewati pesisir daerah Kuta dalam perjalan ke hotel di Jalan Gatot Subroto. Orang Denpasar menyingkat nama itu dengan sebutan “gatsu”. Keren ya?! Pesisir Kuta di waktu malam tidak jauh berbeda dengan saat pertama kali saya ke sana (2007). Hanya sedikit lebih ramai. Dengan otak yang pas-pasan, saya bersyukur masih bisa mengenali beberapa tempat yang pernah saya lewati. Dan masih seperti dulu: tidak ada toko buku! Hehehe...itu yang membuat saya tidak betah nginap di Kuta. Kami juga melintasi pos polisi yang kemarin ramai jadi pergunjingan di internet. Di tempat itu, seorang turis menyogok polisi dan mengajaknya mabuk. Gambarnya diunggah ke Youtube.
Oh ya, ini bukan perjalanan libur. Ini perjalanan dinas dengan biaya sendiri. Hiks! Pelatihan. Jadwal acara padat merayap. Saya sampai ngesot dibuatnya. Materi kelas dari pukul 9 pagi sampai 5 sore. Malam ada tugas. Tiga hari materi, tiga pula tugas yang harus dikerjakan tiap malam. Kejam! Seperti tahanan hotel, kami memang dikondisikan untuk tidak keluar malam. Apalagi lokasi hotel yang memang di pinggiran kota. Satu lagi, di Denpasar tidak ada angkutan umum (yang lebih murah). Adanya yaa taxi dengan argo minimum Rp25.000,- Walau argo menunjukkan angka Rp15.000, tetap saja harus banyar Rp25.000,- Jelas kan?! Note #2: jangan berharap akan ada sesi senang-senang dalam perjalanan dinas.
Jadi tidak penting yaa saya melanjutkan cerita memelas dari perjalanan kali ini. Yang indah-indahnya saja: bisa sarapan pagi dengan kentang favorit saya, mandi air hangat, free wi-fi di mana saja (asal masih dalam hotel), berenang di kolam renang, dengarkan radio fm yang lagunya klik di telinga, dan bertemu dengan dua orang yang menarik. Satu yang paling tua di antara peserta: Pak Bram. Satunya lagi yang paling muda, namanya Gordong. Wajahnya culun, lugu, dan karena itu paling sering saya kerjai. Sekali dua kali, dia pernah balas kerjain saya juga.
Saya selalu termotivasi jika lihat orang tua yang masih punya semangat, totalitas, dan kebugaran fisik. Itu ada dalam diri Pak Bram. Usianya sudah 63 tahun tapi masih kuat jalan kaki sejam setiap pagi. Badannya kokoh. Giginya putih dan tampak utuh. Tidak ada makanan yang menjadi pantangannya selain bawang. Dia alergi. Tapi selain itu, semuanya dilahapnya. Rahasianya: jangan berlebihan. Pak Bram juga rajin mengkonsumsi vitamin herbal, khususnya vitamin E (hmmm...pantas jauh dari keriput). Sejak tahun 1978 pak Bram sudah bekerja untuk UNICEF, padahal modalnya hanya ijazah SMA. Ckckck..
Dedikasi pak tua tadi tidak jauh beda dengan Gordon. Usianya mungkin sekitar 25 tahun. Dia pernah bekerja di bagian keuangan sebuah perusahan media penyiaran besar di Indonesia tapi meminta keluar. Ia memilih untuk bekerja di bidang pembedayaan masyarakat. Ini soal hati, katanya. Meski bekerja di Jakarta, dia punya sebuah taman baca di satu desa kecil di Jawa. Lupa nama desanya. Desa itu dipilih karena keterpencilannya. Tidak ada kenalannya di sana. Ia terpanggil karena perihatin dengan anak-anak yang kurang miliki akses pada buku sementara sumber daya alam daerah itu melimpah. “Jika anak-anak di desa itu cerdas, suatu saat mereka akan lakukan perubahan besar dalam mengelola apa yang mereka punya, tanpa perlu bantuan orang lain,” begitu yang tersirat dari obrolan santai kami di ruang makan.
Well, some people come in your life as blessings, others come out as lessons. Tuhan, terima kasih untuk pertemuan ini.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar