Sabtu, Juni 01, 2013
Langit: Kearifan untuk Tidak Memiliki
APA yang Anda rasakan saat pagi hari duduk di beranda dan melihat langit yang biru dengan dandanan awan-awan putih yang imut? Atau melalui jendela kamar, menatap rinai hujan yang menetes dari langit abu-abu? Rasanya tidak mudah menggambarkan beberapa perasaan dalam bahasa yang lugas dan sekaligus mewakili perasaan kita. Mingkin sama sulitnya saat kita diminta untuk menggambarkan indahnya bulan purnama, bintang yang berkedip, matahari pagi yang terbit, atau hamparan laut yang berujung di ujung cakrawala. Langit seperti menjajikan kebahagiaan tetapi di saat yang bersamaan juga menyimpan hal yang sebaliknya, seperti yang baru saja saya alami.
Sebelum akhir Mei lalu, saya lupa kapan terakhir kali bepergian dengan pesawat. Mungkin karena tidak menyenangkan, jadi tidak penting untuk diingat. Hehehe..tapi benar, setiap penerbangan selalu memberi ruang ketakutan dalam diri saya. Ruang itu tertutup begitu pesawat mendarat dan akan terbuka secara otomatis lagi pada saat pesawat mengangkasa. Saya tidak dapat bayangkan perasaan mereka yang menghabiskan (mungkin) separuh waktu hidupnya dalam sehari di angkasa, seperti pilot dan pramugari. Mati rasa, tidak peduli, pasrah, berani atau nekat?! Entah.
Dari darat, langit terlihat indah. Awan tampak menggoda. Tapi tidak selamanya perasaan itu muncul saat saya berada di atas pesawat. Cantiknya langit tiba-tiba bisa hilang saat pesawat mengalami guncangan (turbulensi). Awan yang awalnya menggemaskan, menjadi horor saat pesawat masuk ke dalamnya, seperti masuk ke alam lain. Putih. Misterius. Tak tahu dimana akan berujung. Tidak tahu apa yang akan terjadi. Berbeda dengan pilot yang punya alat untuk mendeteksi berapa lama buncangan akan terjadi dan pada menit keberapa teror horor itu akan berakhir. Mereka juga tahu kapan ketakutan berikutnya akan muncul dalam benak orang seperti saya. Penumpang hanya bisa duduk (tak) manis. Asyik dengan diri mereka, pikiran mereka. Sesekali atau bahkan tidak sama sekali berbincang dengan orang yang duduk di sebelahnya.
Masalahnya mungkin pada kendali kita atas hidup. Atas apa yang dapat kita lakukan. Di darat, misalnya saat jadi penumpang bis, saya masih bisa memilih langkah apa yang mungkin bisa kita lakukan jika hal buruk terjadi. Ada andil atas kendali keselamatan saya sendiri. Sedikit mirip saat berada di atas kapal. Melihat keluar, memperkirakan jarak laut dengan tepi pantai atau setidaknya tidak beranjak jauh dari pelampung. Bahkan kalau perlu, ketika tidur pelampung jadi gulingnya. Nah saat berada di langit (maksudnya terbang) sama sekali tidak ada peluang untuk fight to survive seperti itu. Semuanya diambil alih oleh dua orang: pilot dan co-pilot. Batas antar hidup dan mati seolah berada di garis landas pacu.
Langit dan awan yang awalnya terlihat indah pada akhirnya tidak akan tetap menjadi 100 persen indah saat saya bersamanya dari jarak yang sangat dekat. Tuhan seolah mengajarkan bahwa ada hal-hal tertentu yang lebih indah dan akan tetap indah jika tak diraih, jika tidak dimiliki. Cukup dinikmati dari jauh: pada saat tertentu dengan kualitas tertentu. Langit yang biru. Awan yang putih. Matahari yang bersinar. Bulan yang teduh. Bintang yang berkedip. Semuanya indah dan akan tetap indah jika dinikmati dari jauh. Keserakahanlah yang membuat manusia merasa akan bahagia jika dapat memiliki apa yang mereka anggap indah. (Menangkap dan menyangkarkan burung atau hewan lain yang dianggap indah menurut saya bagian dari keserakahan itu).
Sudah jadi tabiat manusia untuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Bagi saya itu alamiah. Karena itulah dunia menjadi semarak. Manusia bekerja, belanja, bepergian, berinteraksi, menikah, berketurunan, dan seterusnya. Yang perlu dikoreksi adalah keserakahan tadi. Kemaruk untuk selalu ingin memiliki semuanya. Bukan karena tidak mampu, tetapi justru karena kita mampu untuk memilikinya. Agar tetap senang, kadang dibutuhkan kearifan untuk tidak memiliki. Sebab tidak jarang apa yang kita pandang indah justru menjadi tidak indah saat kita miliki.
Kearifan untuk tidak memiliki juga dibutuhkan karena mungkin saja apa yang kita inginkan itu sebenarnya tidak ada. Ilusi imajinatif. Hanya hasil konstruski harapan-harapan bawah sadar kita yang tak terpenuhi di dunia nyata. Seperti pelangi yang tercipta dari bias cahaya saat hujan, orang berilmu pasti tahu bahwa seindah apapun warna yang dipancarkannya, ia tetap mustahil untuk diraih. Ada hal yang akan tetap indah jika kita dengan senang hati menikmatinya dari jauh. Ya, dari jauh. Tanpa hasrat meraih apalagi memiliki.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar