PADA 16 Mei 2013 Mahkama Konstitusi
(MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Pemohon yang berasal dari Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian
Kuntu, dan Kasepuhan Cisitu, menguji Pasal 1 Ayat 6, Pasal 4 Ayat
(3), Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), serta Pasal
67 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU kehutanan atas UUD 1945. Dalam
Putusan tersebut, MK mengharuskan pengaturan berbeda antara hutan
negara dan hutan adat.
Terhadap hutan negara, negara memilik
kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum di
wilayah hutan negara. Sementara hutan adat, wewenang negara dibatasi
sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat
dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, hutan
terbagi menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Untuk hutan,
hak dibedakan menjadi dua yaitu hutan adat (hak ulayat) dan hutan
perseorangan atau badan hukum. Pembagian itu untuk mencegah tumpang
tindihnya kepemilikan suatu hutan, atau tidak dimungkinkan hutan
negara berada di wilayah hutan hak dan begitu juga sebaliknya.
Wimar Witoelar (Konsultan Komunikasi
Ekologi Hijau) menyebut ini sebagai “kejutan positif”. Sebagai
respon dari putusan tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) mendeklarasikan petisi untuk ditandatangani masyarakat
Indonesia. Tiga titik berat petisi tersebut. Pertama, mendesak
Pemerintah Indonesia untuk segara melaksanakan putusan MK, termasuk
penyelesaian konflik hutan adat dan sumber daya alam di
wilayah-wilayah milik masyarakat adat. Kedua, mendesak Presiden
memberikan amnesti kepada masyarakat adat yang terlibat proses hukum
atau diputuskan bersalam menurut UU No 41/1999 mengenai Hutan.
Ketiga, mendesak ditertibkannya undang-undang perlindungan dan
pengakuan hak masyarakat adat (Kompas, 7 Juni 2013).
Jika putusan MK ini diindahkan, AMAN
memperkirakan terdapat 40 juta masyarakat adat akan kembali menjadi
pemilik sah atas hutan-hutan adat mereka. Sangat diharapkan
pemerintah daerah juga memberikan perhatian serius atas putusan MK
ini, khususnya terkait dengan petisi di butir pertama dan ketiga.
Konflik hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah milik
masyarakat adat dapat didudukkan kembali dan dicari solusi hukum yang
adil. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dan sangat mendesak saat
ini adalah pengakuan hukum atas masyarakat dan wilayah adat dalam
bentuk Peraturan Daerah (Perda). Ini sejalan dengan item ketiga dari
petisi yang diajukan AMAN.
Petisi AMAN tadi, khususnya terkait
dengan penegakan hukum, cukup beralasan merujuk pada kebijakan yang
sebelumnya diambil oleh pemerintah. Teguh Surya dari Greenpeace
Indonesia menilai Presiden tidak pernah mengawasi kebijakan menteri
yang menghacurkan hutan. Pada tahun 2011 diterbitkan Instruksi
Presiden Nomor 10 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Setahun
setelah itu (2012) Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan
Nomor 458 alih fungsi 800 ribu hektar hutan di Papua dengan dalih
revisi tata ruang (Kompas, 19 April 2013). SK Menteri Kehutanan ini
dikeluarkan masih dalam rentang waktu moratorium (yang menurut Inpres
akan berakhir pada 20 Mei 2013). Jika regulasi dalam bentuk Inpres
saja masih dapat dilanggar, bagaimana pula jika aturan itu tidak ada.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar