“Padang gurun ini mengambil kaum pria kami, dan mereka tidak selalu kembali lagi,” kata Fatima. “Kami sudah tahu itu dan kami sudah terbiasa. Mereka yang tidak kembali, menjadi bagian dari awan-awan, binatang-binatang yang bersembunyi di jurang-jurang, dan air yang memancar dari dalam bumi. Mereka menjadi bagian dari segala sesuatu...” (h.126)
NOVEL ini bercerita tentang Santiago yang menempuh jalan untuk menemukan mimpinya. Melewati gurun dari Maroko menuju Mesir. Mengikuti mimpinya. Mimpi yang selalu hadir dengan rupa yang sama saat dia mengembalakan domba di padang rumput Andalusia (Spanyol). Mimpi ini yang memaksanya meninggalkan apa yang pernah dimilikinya. Termasuk cinta seorang wanita gurun.
“Jangan pikirkan yang tertinggal di belakang,” kata sang alkemis yang menemani perjalanan anak laki-laki itu.“Kalau emas yang kamu temukan itu terbuat dari unsur yang murni, maka dia tidak akan rusak. Dan kau bisa selalu kembali. Tapi kalau emas yang kau temukan itu hanya sepuhan belaka, seperti kilasan bintang jatuh, kau tidak akan menemukan apa-apa saat kau pulang nanti” (h.159). Sang alkemis berbicara dalam bahasa alkimia. Tetapi Santiago tahu yang dimaksudnya adalah Fatima.
Apakah Santiago pada akhirnya berhasil memperoleh harta karun di kaki pyramid yang selalu muncul dalam mimpinya? Paulo Coelho menjadikan itu sebagai magnet yang terus memaksa pembaca untuk mengikuti cerita hingga di akhir kisah. Namun bagi saya, dan mungkin yang lainnya, daya tarik novel Sang Alkemis (The Alchemist) ini sesungguhnya terletak pada dialog-dialog yang terjadi di antara para tokoh di dalamnya.
Coelho tidak menjadikan Santiago sebagai tokoh yang serba tahu. Atau serba tidak tahu. Kearifan kadang dimunculkan dari si anak laki-laki ini. Kadang pula dihadirkan dari orang-orang yang bertemu dengannya di sepanjang cerita. Mengikuti perjalanan si anak, seolah mengikuti sebuah perjalan spritual. Tanpa detail deskripsi suasana atau karakter setiap tokoh. Coelho mengajarkan filsafat dengan bertutur yang ringan. Tentang hidup, kematian, takdir, cinta, dunia, kesabaran dan perjuangan dalam mencapai sesuatu yang diimpikan.
Mereka yang pernah membaca literatur sufistik Islam tentu telah terbiasa dengan ide yang mendasari dalam novel ini. Ide tentang kemanunggalan penciptaan. Kesatuan antara makro kosmos dan mikro kosmos. “...Di dalam diriku ada angin, padang pasir, samudra, bintang-bintang, dan segala ciptaan lainnya di alam semesta. Kita semua diciptakan oleh tangan yang sama, dan kita memiliki jiwa yang sama” (h.188).
Meski terasa akrab dengan tradisi Islam, sedikitnya, ada dua kekeliruan yang dibuat Coelho saat menggambarkan ritual shalat dan kitab Al Quran. Ketika Santiago berada di Tangier (Maroko), terkesan orang-orang di pasar langsung bersujud (ke tanah) begitu mendengarkan suara azan, panggilan untuk shalat (h.51). Begitu pula saat menyebut Nabi (Muhammad) yang telah menurunkan Al Quran kepada umatnya (h.70). Dia seperti mengulangi kembali bias cara pandang Barat atas Islam.
Terlepas dari bias tersebut, Coelho berhasil membuat dunia terkesan dengan novel Sang Alkemis yang dibuatnya tahun 1988 ini. Sang Alkemis sampai-sampai disebut sebagai fenomena sastra yang sangat penting di abad-20. Ia menduduki posisi best seller di 74 negara dan telah dicetak sebanyak 35 juta kopi. Tahun 2008 Guiness World Record mencatatnya sebagai buku yang paling banyak dialihbahasakan hingga ke 67 bahasa dunia. Penghargaan seperti “Best Fiction Corine International” (Jerman tahun 2002) dan “Nielsen Gold Book Award” (Inggris tahun 2004) juga diraihnya.
Novel ini berhasil mengingatkan kita kembali pada potensi spritual manusia yang terabaikan yaitu hati. Suara hati yang membimbing. Ia tidak bisa dibungkam meski kita berusaha untuk tidak mau mendengarkannya. Dan bila ingin menyederhanakan, mungkin ada satu kalimat yang dapat menggambarkan semangat Santiago yang ingin ditunjukkan novel ini. “Kalau kau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagad raya pasti akan bersatu padu untuk membantumu”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar