TOPIK pembatasan siaran langsung di televisi, khususnya saat meliput persidangan, kembali mengemuka. Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas keberatan dengan ide ini. Dalam pernyataan yang dipublikasikan banyak media, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara meminta agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) cukup menindak media penyiaran yang melakukan kesalahan. Jangan membatasi siaran langsungnya secara keseluruhan. Seperti ingin membunuh tikus di lumbung dengan cara membakar lumbung padinya.
Senada dengan Dewan Pers, rilis AJI yang dikeluarkan ketuanya Nezar Patria, juga menilai hal tersebut bertentangan dengan kebebasan pers dan kebebasan informasi. Memang, berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI diberi kewenangan mengatur isi siaran, namun ketentuan tersebut, hanya berlaku untuk program siaran selain program jurnalistik. Untuk program siaran jurnalistik, tetap berlaku UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (Vivanews: 13/11/2009).
Khas
Pool (1983) menggolongkankan regulasi media ke dalam tiga kelompok: cetak, siaran, dan telekomunikasi. Dengan mempertimbangkan aspek teknis, normatif, termasuk dampaknya, Pool menilai untuk media cetak, tidak perlu dilakukan pengetatan regulasi untuk infrastruktur dan isinya. Berbeda dengan media telekomunikasi, pengetatannya dikhususkan pada aspek infrastrukturnya saja. Tidak untuk isi (content) yang dibawanya. Sementara pada media siaran, baik infrastruktur maupun isinya, perlu dilakukan pembatasan.
Selain karena televisi dan radio menggunakan ranah publik (spektrum frekuensi), pengaturan khusus untuk media penyiaran disebabkan karena sifatnya yang mudah merembes (pervasiveness) dan dampak kuat yang secara potensial dapat ditimbulkannya. Karena sifatnya yang khas tersebut, televisi perlu mendapat perlakuan khusus. Di negara yang liberal seperti Amerika Serika, Inggris, Prancis, atau Australia, ranah penyiaran diatur lebih ketat daripada media cetak.
Konsep Pool ini dapat ditemukan dalam regulasi media. Kita juga memiliki UU Pers, UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999, dan UU Penyiaran. Jika ditilik, UU Pers kita sangat sederhana dan hanya berisi 21 pasal. Berbeda dengan UU Penyiaran yang memuat 64 pasal. Ia terasa begitu detail karena antara lain mengatur masalah perizinan (sesuatu yang tidak ditemukan dalam UU Pers). Sementara UU Telekomunikasi, substansi dan derajat pengetatan aturannya lebih terfokus pada infrastruktur.
Pagar
Dengan perspektif regulasi media tadi, kegiatan jurnalisme secara umum dapat dianggap cukup diatur oleh UU Pers. Namun ketika informasi tersebut disebarluaskan melalui ranah penyiaran, maka ia harus patuh pada aturan yang lebih khusus (UU Penyiaran). Meski demikian, perlu ada kriteria yang jelas tentang apa saja yang tidak dan dapat disiarkan secara langsung. Bahkan untuk informasi publik sekalipun. Perlu ada pertimbangan-pertimbangan tentang dampak yang mungkin akan ditimbulkan oleh informasi tadi.
Pengadilan jalanan atau pengadilan rakyat dapat saja terjadi karena publik sulit untuk mengikuti seluruh persidangan secara keseluruhan. Dari awal sampai akhir. Publik juga tidak memiliki pengatahuan yang cukup dalam menyikapi informasi yang mengemuka di ruang sidang. Tuntutan, kesaksian, dan pembelaan adalah penggalan-penggalan “fakta” yang perlu dirangkai secara utuh dan diuji kembali kebenarannya.
Kecenderungan media untuk memilih sesi tertentu dari segenap rangkaian persidangan, dapat menjadi bias. Belum lagi komentar atau simpulan dari sumber-sumber tertentu yang diwawancarai setelah persidangan. Pada akhirnya, televisi berpeluang membuka ruang “persidangan” baru di luar pengadilan. Media penyiaran mungkin saja akan berperan sebagai penuntut, pembela, dan hakim sekaligus. Pengaturan dibutuhkan bukan untuk membakar, tetapi memagar lumbung kebebasan pers.***
[versi lengkap]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar