DALAM Pemilu 2009, (sedikitnya) ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan ikut bertarung dengan calon anggota legislatif lainnya. Begitu tulis Ignatius Haryanto dalam opininya yang dimuat harian Kompas (7/11/2008). Ini fenomena menarik. Berbeda dengan selebriti yang mengandalkan ketenaran dan citra dirinya, jurnalis memiliki keahlian dan peran yang signifikan dalam komunikasi politik. Seperti apakah peran dan “kekuasaan” mereka?
Disadari atau tidak, wartawan sebenarnya telah menjadi komunikator politik. Sama halnya dengan para politisi. Dengan profesi yang digelutinya, wartawan menjadi penyampai pesan-pesan politik dari elit kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Mereka bahkan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengarahkan opini publik. Sesuatu yang tidak dapat dimainkan secara langsung oleh para politisi.
Melalui instrumen berita, editorial, atau diskusi yang disiarkan melalui media elektronik (talk show), jurnalis memiliki andil dalam memilih dan menempatkan sejumlah isu ke dalam agenda media. Dengan kekuatan media massa, hal-hal yang awalnya (hanya) menjadi agenda media, kemudian menjadi agenda publik. Inilah yang lalu membentuk apa yang disebut sebagai opini publik.
Bagitu banyak isu politik yang berkembang di masyarakat, wartawan (dengan “kekuasaannya”) hanya memilih isu-isu tertentu. Konsekuensinya, beberapa isu lain terabaikan. Setelah memilih isu tersebut, mereka mengemasnya dalam format dan sudut pandang tertentu pula.
Tidak sampai di situ saja, mereka juga memberi derajat penekanan yang berbeda-beda atas setiap isu. Misalnya ada isu yang diangkat menjadi berita utama (headline) dan dipublikasikan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi. Sementara isu lain, disajikan secara moderat atau rendah.
Ilmuwan seperti Bernard C Cohen melihat para pelaku politik cenderung mempercayai bahwa media massa (tempat para jurnalis bekerja) mempunyai kemampuan untuk mengetahui “pikiran masyarakat” Dalam kenyataannya, banyak pejabat yang memperlakukan pers dan pendapat umum sebagai sesuatu yang sama (sinonim), baik secara terang-terangan mempersamakannya, atau menggunakannya secara bergantian.
Dengan sistem politik di mana oligarki partai politik begitu kuat seperti di Indonesia, ada kekhawatiran para jurnalis, seperti halnya selebriti, hanya akan menjadi pion-pion kekuasaan. Mereka akan masuk dan menjadi bagian dari sebuah kelompok elit eksklusif yang melihat segalanya dari kacamata kepentingan partai yang parsial. Ironi, namun ini sulit untuk dihindari.***
[versi detail]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar