Jogja, 21 – 22 Agustus 2008. Kami berkumpul untuk sebuah diskusi di Hotel Jayakarta. Diskusi terbatas untuk mengevaluasi Radio Komunitas (rakom) itu, difasilitasi Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) bersama TIFA Foundation. Diskusi dihadiri oleh para pelaku rakom dan jaringannya dari beberapa daerah di Jawa, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Juga beberapa orang yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Balai Monitoring Frekuensi (Monfrek), serta akademisi.
Hari pertama dan separuh hari kedua, aspek internal rakom yang diperbincangkan. Mulai dari peran komunitas, proses pendirian, badan hukum dan struktur kelembagaan, pengelolaan dan pembiayaan, produksi acara dan hal-hal teknis. Sisanya hal-hal di luar rakom seperti regulasi dan lembaga di luar rakom. Seperti KPID, Balai Monfrek, LSM, serta lembaga donor. Sepanjang diskusi, saya tergiring untuk memikirkan cara agar rakom dapat survive dan mandiri.
Ada tiga kunci yang saya ajukan. Pertama, dibutuhkan sebuah komunitas riil sebelum mendirikan sebuah rakom. Kedua, koperasi adalah badan hukum yang tepat untuk mengatasi masalah keberlanjutan pendanaan operasional rakom. Ketiga, dibutuhkan kapasitas sumberdaya manusia dan pengelolaannya yang “lebih” agar dapat mengawal rakom dalam mencapai tujuan-tujuan komunitasnya.
[detail]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar