MATANYA lurus menghadap wajah saya. Sesekali dia menarik napas panjang mengambil jeda di sela-sela ceritanya. Menurut saya, dia termasuk anak yang pandai. Cuma mungkin kurang cerdas. Khususnya dalam menangani perseteruan idenya dengan seorang dosen penguji. Dia dongkol karena si dosen begitu menekan. Mengarahkan dia ke rute berpikir yang tidak sesuai dengan alur penelitian dalam skripsinya. Tampaknya si dosen tidak membaca dengan tuntas isi skripsi. Cuma melihat sepenggal, lalu menginterpretasi ke arah yang ia inginkan.
Lalu apa yang dapat saya bantu? Mendengarkan keluh kesahnya mungkin salah satu bantuan yang dia harapkan dari saya. Tetapi jujur saja, sejak kuliah hingga menjadi dosen seperti sekarang, saya kerap menemukan dosen yang mengambil posisi vis a vis (baca: berhadap-hadapan) dengan mahasiswanya. Dengan setting demikian, si dosen dapat merasa lebih hebat. Lebih cerdas. Lebih tahu segala daripada mahasiswanya. Padahal tanpa perlu vis a vis, status dosen sebenarnya secara formal (baca: de jure) telah menggambarkan “kelebihan” itu.
Ada mahasiswa yang merasa “terintimidasi” dengan posisi seperti ini. Mau melawan namun tidak berdaya. Ada juga yang berani melawan, tapi nasibnya akan seperti mahasiswa yang di hadapan saya ini: Bersiap untuk “digantung”! Nah, yang cerdas adalah mahasiswa yang mampu mengenali karakter setiap dosen, lalu melakukan pendekatan yang pas dengan dosen itu. Namun ini tidak selamanya saya rekomendasikan. Khususnya bagi dosen yang punya karakter dan keinginan yang “aneh-aneh”. Dosen kan manusia juga!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar