JIKA sedikit jeli, Anda pasti pernah melihat di televisi, Thaksin Shinawatra memakai gelang karet berwarna oranye. Saat mengunjungi Bangkok beberapa waktu lalu, saya juga kerap bertemu dengan orang yang mengenakan gelang oranye. Apa hubungannya gelang oranye dengan Pak Harto?
Pada mulanya saya berpikir, mengenakan gelang karet oranye adalah semacam mode di Thailand. Sampai-sampai seorang sekelas (mantan) perdana menteri seperti Thaksin pun memakainya. Saya pun mencoba mencarinya kesana-kemari. (Maksudnya supaya tidak terlihat ketinggalan mode, he..he..he…). Tapi hasilnya nihil.
Logika saya, benda yang tampaknya sederhana tapi menarik bak souvenir itu harusnya dapat ditemukan bebas. Apalagi untuk ukuran kota pariwisata sekelas Bangkok. Sampai pada akhirnya saya mengetahui ternyata gelang karet oranye bagi orang Thailand merupakan simbol kesetiaan pada raja. (Hmm…pantas tidak diobral sampai ke kaki lima.)
Bhumibol Adulyadej. Raja Thailand yang bergelar Rama IX ini lahir tahun 1927. Hampir di setiap jalan yang dilewati di kota Bangkok terpampang potret besarnya. Seukuran billboard. Sama dengan teks doa agar raja panjang umur. Ukuran jumbo yang sudah dapat terlihat dari saat kita mendarat di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Jika raja sakit, seluruh rakyat mendoakan kesembuhannya.
Waktu mengunjungi Bangkok, Thailand sedang berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan di gedung-gedung pemerintah dan swasta. Saudari raja baru saja mangkat. Hampir di setiap tempat umum ada tempat berdoa. Kayu dupa Cina diletakkan di atas meja di depan potret saudari raja yang seukuran poster. Setiap orang yang melintas, dapat langsung berdoa. Begitu besar kecintaan rakyat Thailand kepada raja dan keluarganya.
Bagaimana dengan “raja” Indonesia? Pada saat Pak Harto sedang bertarung menghadang maut, siaran langsung televisi digelar dari kompleks pemakaman Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Seolah mendoakan kematiannya. Catatan medis yang seharusnya menjadi rahasia Pak Harto (sebagai pasien), diumbar ke ruang publik. Infotainment televisi yang sehari-hari menampilkan kehidupan aktor dan aktris, bahkan menjadikan Pak Harto sebagai obyek gosip!
Betul, Pak Harto pernah besalah. Tetapi bukan berarti media dapat melakukan apa saja. Tetap ada batas etika. Tampaknya ketokohan dan ketenaran beliau telah membuat segala hal dari diri Pak Harto seolah mendapat legitimasi untuk diumbar ke publik. Media berdalih, publik punya hak untuk tahu. Padahal tidak semua hal dari seorang ternama harus diketahui publik. Tetap ada yang namanya batas privacy.
Bukan pengkultusan. Tapi penghormatan yang sepantasnya. Sebagai (mantan) pemimpin, Pak Harto pasti punya jasa. Sama seperi Bung Karno. Tidak ada pemimpin yang tangannya bersih dari lumuran darah dan lumpur nista. Tapi mereka juga punya karya. Biarlah Tuhan yang mengganjar mereka dengan adil. Dan kalau kita memiliki kemauan, hukum kita pun dapat mengadili setiap kesalahan yang mereka lakukan. (Yang menjadi masalah, kita kan tidak pernah memiliki kemauan untuk itu.)
Lalu lahirlah drama seperti ini. Drama dimana sikap “kurang ajar” dianggap sebagai sesuatu yang “wajar”. Tidak ada pemimpin yang menjadi panutan. Mantan “raja” saja bisa diperlakukan seperti itu. Presiden dan wakilnya, menteri, gubernur, walikota dan bupati, camat dan lurah, begitu mudah dicaci-maki. Apalagi hanya pemimpin sekelas wasit di tengah lapangan bola. Ia dapat dikeroyok seperti maling ayam. Ah sudahlah, mungkin karena di Indonesia tidak ada gelang oranye! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar