SIANG menjelang sore itu handphone
saya berdering. Nomor yang menghubungi tidak saya kenali. Normalnya
sih diabaikan. Tapi tidak untuk saat itu. Eh, ternyata di seberang
telepon seorang teman. Dia produser di Sindo TV Kendari, meminta
untuk jadi narasumber sebuah acara dialog tentang media dan kampanye
politik jelang 2014. Wah serius lagi, pikirku. “Live atau
direkam?” tanya saya. “Live,” jawabnya. Jleb. Kulit
yang gelap. Wajah tua dan kuyu. Pakaian dan cara berbusana yang jauh
di bawah standar enak dipandang, membuat saya berencana menolak.
Tapi tunggu dulu,
“Siapa narasumber lain yang akan hadir?” tanya saya lagi. Dia
menyebut beberapa nama. Sedikit lega rasanya. Orang-orang itu tidak
jauh berbeda dengan saya. Setidaknya, kalau penampilan saya hancur,
saya tidak sendiri. Hehehe... Televisi memang media yang memaksa
siapa saja untuk tampil penuh dengan polesan di sana-sini. Televisi
itu teater. Hanya yang dapat mementas dengan totalitas perannya yang
bisa bertahan di kotak kaca itu. Di televisi urusan pakaian plus
perfoma fisik lainnya sangat penting. Itu yang bikin saya putar cari
akal.
Awalnya sih mencoba
bersikap biasa saja. Tapi frekuensi konfirmasi yang tidak biasa, yang
membuat jurus cuek saya luntur. Baru kali ini saya diminta untuk
menjadi narasumber dan mendapat konfirmasi kesiapan lebih dari dua
kali. Saya lalu berpikir, wah ini betul-betul serius rupanya. Iya
dong serius. Yang dibahas kan masalah politik. Kepalaku mulai
berkicau. Orang awam melihat politik itu serius ya? Atau setidaknya
publik diajarkan untuk melihat politik itu secara serius. Meskipun
bagi saya sebenarnya politik itu “main-main”. Mungkin terlihat
serius karena elit yang memainkannya. Orang awam cukup duduk manis
dan menyaksikan. Sesekali memberi sorak. Sesekali mau dimobilisasi,
seperti kawanan bebek yang digiring bermain ke sungai.
Kamera on!
Saya melirik penampilan di layar monitor. Oww..rasanya tidak layak
untuk diceritakan. Timpang dengan host yang putih, gagah
berdasi. Sebenarnya layar monitor ini tidak ada dalam ruang studio.
Saya yang memintanya. Permintaan ini awalnya mereporkan beberapa kru.
Belakangan, sayalah yang justru kerepotan. Repot meratapi penampilan
yang terpampang nyata tadi. Mudah-mudah penonton yakin kalau saya
akademisi. Oh ya, jadi ingat seorang peneliti yang pernah menjadikan
saya narasumber. Setelah kembali ke Jakarta, dia lupa memotret sesi
wawancara kami. Mungkin karena antusias (atau kebingunan) dengan
jawaban saya waktu itu. Saat meminta CV dan foto saya via email, dia
memberi catatan: “tolong fotonya yang berkemeja dan menunjukkan
Bapak seorang akademisi yaa”. Eh maksudnya apa nih?
Saya
banyak tertolong oleh jeda iklan/promo selama wawancara live.
Jeda untuk mengatur napas. Jeda untuk mengatur penampilan. Jeda untuk
menata jawaban biar terlihat cerdas. Jeda untuk mengingat siapa saja
yang mengenali wajah saya di televisi. Yang pasti bukan anak-anak dan
istri di rumah. Kepada mereka, saya hanya pamit untuk wawancara.
Titik. Tidak sedetail sebelumnya. Sebelumnya?! Iya, sebelumnya saya
pernah jadi narasumber dalam sebuah wawancara tv lokal juga. Live.
Anak-anak dan istri saya wanti-wanti untuk nonton. Saat pulang ke
rumah, si sulung (Anhar) langsung saya sapa, “Bagaimana penapilan
Papa tadi di televisi, Nak?” Santai dia menjawab: “Kok tidak
mirip Papa?” Stop! Saya menahan diri untuk menyodori dia kata
“kenapa”. Khawatir dia akan menjawab penampilan saya terlihat
tidak seburuk dari yang seharusnya. Hehehe..
Sejam berlalu.
Tidak terasa dialog usai. Handphone sudah boleh diaktifkan.
Beberapa komentar masuk via sms dan BlackBerry Messenger dari
orang-orang yang saya kenali dan menonton acara tadi. Tante saya yang
bawel berkomentar: “Sebaiknya pake baju putih, biar kelihatan
muda”. Bingo!!! Risiko tampil di depan kamera memang
seperti itu. Beberapa di antaranya terus melanjutkan diskusi via
pesan teks bahkan twitter hingga tiba di rumah. Saat masuk pintu
ruang tengah, si sulung sudah senyum-senyum menyambut. “Kenapa?
Blum pernah lihat Papa segagah ini?!” Sembari membalikkan wajah dan
menonton acara kesukaannya di televisi, dia bersuara dengan nada
datar tapi terasa sok menggurui. “Kali lain, baju Papa dikancing
sampai ke atas. Lengan kemeja dipanjangkan, lalu dikancing juga.
Jangan digulung seperti itu. Trus kalau bisa... Papa pake kacamata.
Biar cupu-nya lebih meyakinkan!” What?! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar