SEORANG teman pernah menulis di status
BlackBerry Messenger (BBM) miliknya. “Mengapa hari makin panas? Karena
Matahari membuka cabang di mana-mana!” Status ini bisa saja
nyinggung Matahari Department Store yang memang sudah buka dua cabang
di Kendari. Tapi bisa juga digunakan untuk menggambarkan kondisi hari
yang begitu panas. Pekan itu, suhu di Kendari sampai 31 bahkan 32
derajat celcius. Saya yang sering beraktifitas di luar ruangan dengan
motor (baca: ngojek) rasanya seperti gosong. Tetapi semua kisah “hot”
tadi berubah drastis saat seminggu kemudian Kendari diguyur hujan.
Matahari tidak terlihat karena tertutup
mendung nyaris lebih dari sepekan. Bau lembab tidak dapat dikeluarkan
dari dalam rumah. Maklum, semua pakaian yang dicuci tak kunjung
kering dan harus dijemur di dalam rumah. Tiba-tiba saya merindukan
matahari. Cahanyanya yang masuk di sela-sela jendela. Kehangatan,
bahkan panasnya. Sebelumnya saya lebih suka memilih untuk melihat
matahari terbit daripada saat matahari tenggelam. Bagi saya, matahari
terbit lebih menggambarkan optimisme. Matahari tenggelam itu gambaran
duka. Senjakala. Tetapi kali ini tidak. Kapan saja ia muncul, saya
siap menjemputnya.
Jumat sore itu saya berada di depan tempat les anak saya. Sengaja memilih berdiri di luar, karena di dalam ruangannya ber-AC. Sambil memandang awan yang masih tebal. Saat saya memalingkan wajah ke arah Barat, tiba-tiba sekumpulan awan bergerak (malu kali karena diliatin). Tiba-tiba matahari tampak: bercahaya bulat tapi tidak menyilaukan. Indah sekali. Saya sampai terpaku. Tidak sampai semenit, kumpulan awan kembali menyelimutinya. Seperti seorang anak yang sedang bermain petak umpet dengan matahari. Seperti seorang pecinta yang lagi jatuh hati. Matahari terlihat begitu mempesona. Begitu indah. Dengan nalar yang sederhana ini, meskipun salah, saya dapat memaklumi mengapa hampir setiap peradaban mendewakan matahari. Sedikitnya dua puluh sembilan peradaban kuno mendewakannya.
Segala hal yang misterius, tak
terkalahkan, tetapi mempesona biasanya menjadi ciri utama sesuai yang
menjadi obyek pemujaan sebagai dewa/dewi. Tidak terkecuali matahari.
Di masa lalu, matahari itu misterius, tidak dapat terpecahkan oleh
pengetahuan yang ada. Tidak dapat terkalahkan karena tidak ada
kekuatan yang mampu menandinginya. Meski demikian, ia tetap
mempesona. Saat terbit, bersinar, hingga tenggelamnya. Kaum muslim
dapat menemukan dalam Al Quran bagaimana kisah seorang nabi seperti
Ibrahim (alaihi salam) nyaris memasukkan matahari, bulan dan bintang
dalam daftar pencarian Tuhan yang ia lakukan. Ya, karena mereka
mempesona, tak terkalahkan, sekaligus misterius. Meski kemudian
Ibrahim pada akhirnya menyerahkan diri pada sesuatu yang menciptankan
seluruh alam semesta yang mempesona itu. Bagi Ibrahim, Dialah yang
lebih layak untuk disembah. Al Quran memperkenalkan Ibrahim sebagai
seorang pencari Tuhan yang cerdas.
Dalam tradisi sufisme Islam, matahari
sering disimbolkan sebagai 'cahaya' Tuhan. Sedangkan bulan sebagai
'cahaya' sang Nabi. Dalam sebuah hadist, Nabi bahkan dengan jelas
mengumpamakan dirinya seperti bulan dan para sahabat dan pewarisnya
seperti bintang-bintang di langit. Di shalawat Badar, Nabi bahkan
dimuliakan sebagai cahaya matahari dan bulan. Islam selalu
menyandingkan matahari dan bulan. Betul, penanggalan Islam merujuk
pada gerak bulan. Tapi waktu shalat dirujukkan pada posisi matahari
kan? Matahari sumber cahaya. Dengannya dunia menjadi nyata. Apa yang
dapat kita lihat dengan mata, bukan karena dia ada, tapi karena ia
memantulkan cahaya. Batas antara ada dan tiada kadang hanya berbatas
pada apa sesuatu itu memantulkan atau tidak memantulkan cahaya.
(Kadang lho, bukan selalu.)
Kembali pada cerita tentang matahari
yang mempesona, entah berapa banyak karya yang lahir karenanya. Mulai
dari yang sifatnya ilmiah seperti yang dikerjakan ilmuwan sejak masa
Aristoteles hingga lukisan, foto dan film, atau karya sastra serupa
roman. Ah, saya jadi ingat salah satu karya Shakespeare. Dia
menjadikan matahari sebagai metafora cinta. Dalam drama Hamlet,
Shakespeare menulis: “Ragukanlah kalau bintang itu berasal dari
api. Ragukanlah matahari tak berputar melintasi langit. Kau beleh
meragukan setiap kebenaran. Tapi jangan pernah ragukan cintaku.”
Eh, masih nyambung kan dengan tema tulisan ini?! (Maksa).***
Catatan:
*Judul ini saya ambil dari status BBM teman akrab saya: Asnar Syarifuddin a.k.a. Lala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar