TAHUN 2011 Indeks Persepsi Korupsi
(CPI) Indonesia 3,0. Makin kecil nilai indeksnya, makin besar tingkat
korupsi di negara itu. Sekedar membandingkannya dengan CPI
negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura
(9,2); Brunei (5,2); Malaysia (4,3); dan Thailand (3,4). Indeks
Indonesia masih lebih baik daripada Vietnam (2,9); Philipina (2,6);
Laos (2,2); Kamboja (2,1); dan Myanmar (1,5).
Dengan keadaan ini, naif jika kita
menganggap pemberantas korupsi itu tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), jaksa, polisi, atau para hakim. Keliru kalau kita selalu
berpikir untuk melawan harus dengan turun ke jalan. Meneriakkan
yel-yel anti-korupsi atau ganyang para koruptor. Siapapun kita,
sebenarnya dapat menjadi pahlawan anti-korupsi. Setidaknya untuk
keluarga kita. Untuk hidup kita sendiri.
Omnibus
PADA 29 dan 30 Juni lalu, film “Kita
versus Korupsi” tayang di Kendari. Kendari adalah kota ke-10 dari
17 kota yang menjadi tujuan road show kampanye film anti-korupsi ini.
“Kita versus Korupsi” adalah film omnibus yang berisi gabungan
empat film pendek. Meski bukan dokumenter, film fiksi ini terasa
seperti potret keseharian kita. Bertutur lugas tanpa menggurui.
Meski berjudul bertajuk “korupsi”,
film ini tidak melulu bercerita secara gamblang tentang praktik
mencuri uang (yang secara halus kita sebut dengan nama korupsi).
Kisah pertama dibuka dengan “Rumah Perkara” (± 20 menit).
Seorang tokoh lurah yang ditekan membebaskan lahan warga untuk
pembangunan sebuah real estate dan lapangan golf. Berikutnya film
“Aku Padamu” (± 16 menit). Sepasang kekasih yang sangat
bergelora ingin segera menikah tapi menolak jika harus menyogok
petugas Kantor Urusan Agama (KUA).
Di film ketiga, “Selamat Siang Rissa”
(± 18 menit), ada kisah seorang wanita yang tidak mau disuap.
Pengalaman masa kecil yang membuatnya berani melakukan itu. Pada film
terakhir “Psttt… Jangan bilang siapa-siapa!” (± 12 menit),
remaja yang menjadi obyek ceritanya. Korupsi ternyata bisa
dipraktikkan sejak di bangku sekolah.
Saya tidak ingin melanjutkan cerita di
setiap film. Karena sebaik-baik penutur yang berkisah tentang sebuah
film, tetap akan lebih baik jika Anda menikmatinya sendiri. Meski
begitu, sepenggal dialog dalam film “Kita versus Korupsi” rasanya
patut untuk digarisbawahi: Jika ingin memperoleh sesuatu yang baik,
lakukanlah dengan cara yang baik, … (karena) … kebaikan lahir
dari kebaikan sebelumnya.
Film
MUNGKIN banyak yang meragukan kekuatan
film sebagai alat untuk melawan korupsi. Berapa koruptor yang dapat
ditangkap dengan sebuah film? Tetapi intinya bukan di situ. Sebagai
medium komunikasi massa, film memiliki kekuatan potensial untuk
mempengaruhi cara publik berpikir, bersikap, dan berperilaku atas isu
tertentu. Film dapat bersinergi dengan televisi, radio, atau
suratkabar yang secara frontal terbiasa menunjuk hidung para
koruptor.
Dengan berita aktualnya, media massa
non-film menginformasikan pada publik hampir setiap kasus korupsi.
Mengawal perkembangannya atau bahkan ikut melupakannya (seperti kasus
Bank Century). Media massa non-film cenderung lebih menstimuli sisi
kognitif publik. Pengetahuan kita. Ingatan kolektif publik.
Sebaliknya, film lebih membidik sisi
manusiawi kita. Perasaan kita. Tidak mesti dengan fakta seperti yang
dikabarkan dalam berita. Tapi cukup dengan cerita sehari-hari, karena
korupsi itu nyata. Pendekatan berita mungkin sudah membosankan bahkan
membuat publik frustasi. Kasus korupsi tidak kunjung berkurang.
Koruptor tetap tidak jera dan seperti tidak punya rasa malu lagi.
Film menghadirkan pendekatan baru dalam
kampanye anti-korupsi. Dengan kemasannya yang estetis, kita coba
disadarkan bahwa korupsi ada di sekitar kita. Bukan di kantor
pemerintah saja. Di perusahaan. Di jalan atau di sekolah. Bahkan di
rumah kita sendiri. Pelakunya bukan orang lain. Kita pun berpeluang
untuk melakukannya dengan peran kita masing-masing dalam masyarakat.
Dengan daya kreatifnya, film sanggup menghadirkan banyak ragam wajah
praktik korupsi di masyarakat yang karena kelazimannya mungkin sudah
dianggap hal yang wajar atau bahkan harus untuk dilakukan.
Berbeda dengan pesan yang tersebar
melalui televisi, suratkabar, atau radio, kekuatan film ada pada daya
repetitifnya. Pesannya dapat diulang untuk ditonton kembali. Kapan
saja tanpa kehilangan nilai aktualitas pesan di dalamnya. Bisa
digandakan. Bisa disebarluaskan dengan mudah. Film mungkin seperti
foto. Kaya makna dan nilainya abadi.
Tapi film kan mahal? Tidak juga. Memang
film “Kita verus Korupsi” menghabiskan dana Rp 1,2 miliar (jika
dibagi empat, masing-masing film menghabiskan Rp 300 juta). Dana
sebesar ini bersumber dari bantuan sejumlah lembaga donor. Namun jika
melihat hasil dan dampak yang mungkin diciptakannya, nilai miliaran
rupiah itu rasional. Solusi pendanaan film ke depan bisa dimulai
dengan membangun kerjasama antarlembaga untuk gerakan anti-korupsi.
Di tingkat lokal, para pembuat film
kita dapat berkontribusi dalam gerakan anti-korupsi. Tentu tidak
perlu dengan biaya mahal. Film-film indie dapat dibuat dan
disebarluaskan sendiri oleh mereka. Teknologi produksi film saaat ini
dan distribusi mendunia via internet sangat memungkinkan untuk itu.
Hanya dibutuhkan sedikit keinginan, keterampilan dan daya kreasi
untuk bertutur dalam bahasa visual yang menarik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar