SAAT media massa mengangkat tema Seabad Kebangkitan Nasional, ada baiknya mendengarkan album Tohpati: It’s Time (2008). Di sini tidak ada cemoohan, hujatan, apalagi tudingan. Tidak ada analisis yang mencari biang tak kunjung bangkitnya kita setelah seratus tahun waktu berlalu. Yang ada hanyalah kepedulian dalam “bahasa yang lain”. Indah dan santun.
Apalah arti nasionalisme kalau kita tak pernah merasa menjadi bagian dari saudara kita yang berbudaya lain? Tohpati menghadirkan Indonesia. Ada bunyi melankolis dalam komposisi Song for Aceh. Ia mengingatkan kita (kembali) pada gamelan, suling , dan suara latar tari Kecak melalui Dewata. Aroma Bali yang dinamis. Aransemen Cenderawasih seolah mengumandangkan suara peri dari surga hutan tropis Papua. Permata hijau yang sebentar lagi tinggal cerita.
Lebih dari satu dekade silam, ada kelompok Karimata dengan album bertajuk Jezz (1991). Semangat back to ethnic yang menggema dalam setiap komposisi mereka. Karimata menyuguhkan Jawa Barat dalam komposisi Paddy Field. Ada giring-giring khas Kalimantan dalam Apokayan. Koor penari Kecak Bali dalam Seng Ken Ken. Sedangkan aransemen Take off to Padang menghadirkan bunyi kendang dan talempong (gitar tradisional Sumatera Barat).
Suara-suara itu bagai mantra leluhur yang datang dari jauh menuju kekinian. Sama seperti lagu daerah yang dulu masih dapat kita dengarkan di ruang publik. Membangunkan dan menunjukkan jati diri kita yang sesungguhnya. Meski tidak dapat merepresentasikan Indonesia, setidaknya itu semua telah mewakili semangat rupa budaya nusantara. Menjadi pengingat kepada siapa yang lupa. Menyampaikan pesan kepada generasi yang baru.
Kita butuh “bahasa lain” untuk terus mengingatkan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang satu. Musik yang membawa kesadaran identitas kita sebagai bangsa adalah satu dari sekian “bahasa lain” itu. Karena setelah (sepuluh tahun) rezim berganti, kita begitu cepat bergerak menjadi bangsa yang low context. Mengabaikan sopan santun. Dengan terbuka, leluasa menyalahkan atau menghujat orang lain.
Angin kebebasan berpendapat lahir dari rahim budaya Barat yang sekuler. Saat ingin meniru, kita gagap dan kelimpungan. Apalagi berharap akan memetik hasil dalam waktu satu dekade. Karena darah Timur yang menaruh hormat kepada sopan santun (high context) masih kental dalam diri kita. Secara kimiawi, emosional kita sebagai bangsa mudah tersulut oleh kelancangan orang lain.
Hentikan debat dan hujat yang tak bermartabat. Itu hanya membuat kita menjadi bangsa yang tidak kompak. Terus saling menyalahkan dan lalai untuk memperbaiki. Sekarang waktunya untuk berbenah. Mungkin itu yang dimaksud Tohpati dalam komposisi It’s Time.
Dari belakang, bunyi perkusi Adji Rao mengikuti ritme gitar Tohpati yang lincah dan memimpin aransemen ini. Seolah dia berkata, “Untuk melakukan perubahan tidak boleh sendiri.” Harus ada pemimpin yang memberi inspirasi sekaligus anutan. Juga harus ada pengikut yang seirama mendukung dari belakang.
Selain It’s Time, ada kesan yang tak terbahasakan dalam komposisi My Dream dan Untuk Diingat. Andai boleh, saya ingin mengubah judul komposisi Untuk Diingat menjadi Untuk Dikenang. Mungkin karena kata “dikenang” lebih puitis. Tapi sudahlah, apalah arti sebuah nama? Bukankah setiap aransemen memiliki daya magis tersendiri? Dan terlepas dari itu semua, Indonesia (harus) bangga memiliki gitaris sekelas Tohpati. Luar biasa!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar