SIAPA saja bisa terkena Post Power Syndrome (PPS). Termasuk saya dan Anda. Jamaknya orang berpikir, PPS disebabkan oleh hilangnya jabatan seseorang. Hilangnya “sesuatu” itulah yang menyebabkan seseorang stress. Merasa diri tidak berharga (lagi). Kehilangan semangat hidup. (Mudah) marah. Dan seterusnya… Apakah “sesuatu” itu hanyalah jabatan semata? Lalu sindrom yang ditimbulkan juga semata-mata karena hilangnya “sesuatu” tadi?
Istilah “kekuasaan” (power) sangat tepat digunakan untuk menggambarkan “sesuatu” tadi. Jadi tidak hanya jabatan. Mungkin karena dalam pakaian jabatan, melekat sebentuk kekuasaan. Pada akhirnya orang menganggap jabatanlah sebagai penyebab. Padahal hilangnya kekuasaan yang sesungguhnya menjadi kunci pemicu. Orang tua bisa mengalami PPS ketika anaknya telah beranjak dewasa. Ketika merasa tidak berkuasa lagi mengarahkan si anak. Si anak juga tentu dapat mengalami PPS ketika suatu saat ia merasa tidak berkuasa lagi meminta ini dan itu kepada orang tuanya.
Saya pernah menemukan suami yang setiap hari harus mengecup sang isteri. Kata si istri: memberi kecupan adalah salah satu kewajiban suami. Tentu itu lebih baik. Daripada, misalnya, si istri mencantumkan: “memberikan tambahan uang belanja” dalam daftar kewajiban suami. Tetapi ini menjadi masalah, ketika di saat sibuk, si suami suatu hari lupa memberi kecupan. Istrinya pun marah. Kecewa. Sedih. Katanya karena merasa tidak disayang lagi. Padahal sesungguhnya karena kekuasaannya telah memudar atas orang yang ia cintai.
Supaya terkesan adil dan tidak bias gender, saya juga punya bukti suami yang mengalami PPS. Tidak jarang berakhir dengan kekerasan. Kasusnya sering muncul di media massa. Si suami biasanya dapat menciptakan sejuta alasan di depan polisi. Namun kalau diurai ke dasar yang paling dalam, akan berujung pada muara yang sama: kekuasaan! Hmm… sepertinya, apa saja yang bersentuhan dengan kekuasaan, dapat mengalami PPS. By the way, apakah ada manusia yang dapat terbebas dari naluri untuk berkuasa?
Tidak berhenti di situ saja. Bagaimana cara kekuasaan itu dihilangkan, dikurangi, bisa menjadi pemicu PPS. Si Bos di kantor kenalan saya, marah-marah karena merasa bendahara tidak dapat diajak “kerjasama”. Sepintas itulah masalahnya. Padahal pemicunya terletak pada pengangkatan bendahara yang langsung ditunjuk oleh Big Bos. Si Bos (Kecil) merasa kewenangannya dipreteli. Merasa kekuasaannya dikebiri. Ia merasa tidak berdaya. Dan supaya kelihatan tetap berdaya, makanya dia marah-marah!
Mungkin kita juga pernah (atau akan) mengalami kehilangan kekuasaan. Sialnya, ini disebabkan oleh laporan buruk yang diciptakan oleh teman atau orang pernah dekat dengan kita. Entah karena kelihaiannya meyakinkan “si penentu nasib kita”. Atau karena akses khusus yang ia miliki. Boleh jadi awalnya kita tidak mempersoalkan kekuasaan yang hilang. Namun kemudian itu terasa begitu menyakitkan saat kita tahu ia disebabkan oleh kawan yang selama ini jalan bersama kita. Tampaknya ada saat di mana melangkah dengan seekor anjing jauh lebih baik daripada dengan manusia. Mungkin karena anjing tidak menggigit kawan seperjalanannya.***
Inspired by “A”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar